Membongkar Persepsi dalam Sesi RSD melalui Film The Imam and The Pastor

Pada hari pertama pelatihan fasilitator Dialog Reflektif Terstruktur (RSD) untuk Pemimpin Perempuan Intra dan Antar Iman, peserta diperkenalkan tentang sejarah, kerangka berpikir, prinsip-prinsip RSD, serta relevansinya untuk Indonesia melalui film ”The Imam and The Pastor’, Selasa (1 Agustus 2023). Sesi menonton film ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan wawasan peserta bahwa RSD dapat berkontribusi pada penyelesaian konflik, memperkuat penerimaan terhadap kelompok berbeda, dan berdamai dengan trauma pasca konflik.  

Melalui film yang diputar selama 40 menit, para peserta belajar menyikapi perbedaan dan membangun perdamaian melalui dialog serta kerjasama lintas agama di komunitas. Film ”The Imam and the Pastor” adalah sebuah dokumenter yang menggambarkan perjalanan dua pemimpin agama -Islam dan Kristen- yang akhirnya bersatu dan bekerjasama dalam mewujudkan perdamaian setelah konflik dan permusuhan terjadi di Nigeria. Sebelumnya, dikisahkan Imam Muhammad Ashafa dan Pendeta James Wuye adalah musuh bebuyutan karena konflik etnis dan agama di Kota Kaduna, Nigeria.

Keduanya pernah terlibat dalam kekerasan antar umat Islam dan Kristen, yang mengakibatkan banyak penderitaan dan kerugian. Namun, setelah mengalami perjalanan spiritual dan mengalami proses rekonsiliasi, mereka menyadari bahwa pada dasarnya agama mengajarkan untuk saling menghormati dan mengasihi antar sesama manusia, sekalipun berbeda. Dengan pemahaman yang sama terkait pentingnya perdamaian dan kerukunan, mereka bersatu dan berkomitmen untuk membangun jembatan antara komunitas Islam dan Kristen. Mereka mendirikan organisasi ”Interfaith Mediation Centre” yang bekerja untuk mempromosikan perdamaian, dialog, dan toleransi antarumat beragama di Nigeria.

Melalui film ini, fasilitator memantik peserta memahami konsep dan proses dialog serta mengidentifikasi prinsip dan nilai-nilai dalam membangun perdamaian dari pengalaman Imam dan Pendeta. Bagaimana mereka berusaha untuk mengatasi kesalahpahaman, mengurai prasangka di masyarakat yang terpecah-belah, melakukan sejumlah pendekatan untuk mendapatkan kepercayaan komunitas, hingga melibatkan pihak pemangku kepentingan untuk mendapatkan dukungan yang lebih besar.

Salah satu peserta pelatihan asal Jawa Timur dari Sekolah Perempuan Khober Raudlatun Odax melihat tiga perbedaan di antara dua tokoh, yakni, perbedaan agama, latar belakang, dan karakter. ”Perbedaan lainnya yang saya lihat dari film tersebut, Pendeta James Wuye suka minum dan menggoda perempuan semasa mudanya. Sedangkan, Imam Muhammad Ashafa dididik dari keluarga agamis dan fanatik. Perbedaan terakhir adalah pendidikan. Imam Muhammad Ashafa hanya mendapatkan pendidikan dari keluarganya, sementara Pendeta James Wuye menerima pendidikan barat,” ucapnya. 

Peserta lainnya berasal dari Bandung dari Gereja Kristen Pasundan (GKP), Obertina menekankan jika keduanya memiliki persamaan yaitu sebagai tokoh agama dan memiliki jamaat.”Keduanya, sama-sama militant,” tekannya.

Selama proses pelatihan, peserta juga memahami bahaya atau dampak buruk dari stereotipe, prasangka, dan asumsi yang menyebabkan konflik di Nigeria. Salah satu peserta asal (sebutkan daerahnya) dari (sebutkan lembaganya), Sri menjelaskan bahwa kepentingan seringkali dikaitkan dengan identitas. ”Dalam film yang baru ditonton tadi,digambarkan juga tentang kondisi pasar. Di mana keberadaan pasar dikelilingi muslim dan diasumsikan  pasar tersebut dikuasai oleh kelompok muslim,” terangnya.

Selanjutnya, peserta melakukan identifikasi kondisi persepsi-persepsi yang digunakan Imam Muhammad Ashafa dan Pendeta James Wuya sebelum melakukan rekonsiliasi. Ummah, salah satu peserta asal Sigi perwakilan dari komunitas, menjelaskan bahwa mulanya Pendeta James Wuye memiliki persepsi yang buruk kepada kelompok Imam Muhammad Ashafa ketika menjenguk ibunya yang sakit.

”Pendeta James beranggapan kelompok Islam akan menyerangnya ketika Imam Muhammad Ashafa menjenguk ibunya yang sakit. Karena Imam Muhammad Ashafa punya kebencian terhadap umat Kristen karena keluarganya menjadi korban pembantaian saat konflik. Tetapi, ternyata asumsi itu salah” ujarnya.

Tidak lagi ada prasangka dan asumsi di antara Pendeta James dan Imam Ashafa. Hubungan keduanya terjalin sebagai saudara dalam kemanusiaan. Tentu prosesnya tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang panjang. Namun, proses itu sukses dilewati bersama. Setelah proses rekonsiliasi, keduanya menunjukkan kepada pengikutnya masing-masing bahwa agama hadir untuk mewujudkan perdamaian. 

”Semua agama sejatinya mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian,” pungkas Wuri, peserta asal Poso dari Presidium Sekolah Perempuan Perempuan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.