Jelang UPR, CWGI Soroti Kondisi dan Situasi Kebijakan Hukum Perempuan di Indonesia

Sejumlah masyarakat sipil hadir dalam agenda Pre-session Universal Periodic Review (UPR), akhir Agustus lalu. Salah satunya kelompok masyarakat sipil yang hadir dalam agenda tersebut adalah CEDAW Working Group Indonesia (CWGI). Perwakilan CWGI yang hadir adalah Agustina Elga, Ruby Kholifah dan Listyowati. Menurut Listyowati, dalam agenda UPR kali ini, pemerintah Indonesia telah melakukan progress terhadap di dalam isu dan hak perempuan.

”Ada 3 progress yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pertama, telah meningkatnya batas usia minimalnya perkawinan. Kedua, Kementerian Kesehatan telah menegaskan jika sunat perempuan bukan lagi tindakan medis. Ketiga, telah disahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” terang perempuan yang juga menjadi Ketua Kalyanamitra dalam konfrensi pers, Jumat (9 September 2022).

Diungkap olehnya, masyarakat sipil mengapresiasi hal-hal baik yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menangani masalah perempuan di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, dia mengungkapnya CWGI menyoroti 8 isu perempuan yang masuk dalam laporan UPR CWGI. Mulai dari kesehatan perempuan, perempuan dan konflik, kekerasan berbasis gender online, perempuan desa dan adat, perkawinan anak, sunat perempuan, perempuan dalam kondisi bencana. Terakhir tentang kerangka legislasi.

Dalam kesempatan tersebut, dirinya menjelaskan jika Indonesia menempati posisi ketiga dalam praktik sunat perempuan. Artinya, praktik sunat perempuan masih tinggi di Indonesia. Untuk itu, dirinya menegaskan agar pemerintah Indonesia dengan masyarakat sipil bisa berkolaborasi untuk menangani hal itu.

”Bulan November nanti, akan dilaksanakan UPR dan pemerintah akan mendapatkan rekomendasi dari negera lainnya. Untuk itu, kita perlu mengawal bersama hasil dari UPR dan rekomendasinya. Sehingga, bisa dilaksankan oleh pemerintah Indonesia,” ucapnya.

Ditempat yang sama, Ruby Kholifah menegaskan jika dalam agenda UPR menjadi ruang agar pemerintah Indonesia bisa menjaga civic space. Serta menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Sehingga, perlu dibangun ruang dialog antara masyarakat sipil dengan pemerintah untuk menuntaskan isu-isu perempuan yang masih ada.

”Selain itu, masyarakat sipil memiliki kekuatan besar untuk membangun kolaborasi dengan pemerintah Indonesia untuk menuntaskan isu-isu perempuan yang masih kerap terjadi,” ungkap perempuan yang juga menjadi Direktur AMAN Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, dia menjelaskan masih ada beberapa hal yang perlu direspon dengan cepat oleh pemerintah terkait isu-isu perempuan. Di antaranya, pengesahan undang-undang tentang para pembela HAM human right defender, Pengesahkan Undang-undang Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan masalah kesehatan perempuan.

Dia menegaskan jika hingga saat ini masih ada 421 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. lalu, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8-9 tahun 2006 menjadi penghambat hak kelompok minoritas untuk beribadah. Dari peraturan bersama tersebut menimbulkan serangkaian penganiayaan terhadap kelompok minoritas, termasuk penghancuran Masjid Ahmadiyah di Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupaten Sintang mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Masjid Miftahul Huda September 2021.

”Belum lama ini, pemeritah daerah atau sekolah yang mewajibkan seragam sekolah berhijab di sekolah negeri. Terakhir, kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah konflik yang belum berpihak pada korban,” terangnya.

Lalu, dalam pengesahan undang-undang lainnya, pihaknya menegaskan jika pemerintah perlu membuka keterbukaan dengan masyarakat sipil. Sehingga, masyarakat sipil bisa terlibat dalam pembuatan aturan di Indonesia. Menjaga ruang keterbukaan tersebut telah dilakuan oleh pemerintah Indonesia dalam pengesahan Undang-Undangn TPKS. Pihaknya mengapresiasi hal tersebut. Akan tetapi, ruang keterbukaan tersebut perlu dibangun kembali dan dijaga.

Dirinya mengungkapkan jika agenda UPR yang diselenggarakan 4 tahunan ini menjadi ruang demokrasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Serta menjadi momentum untuk melakukan kerja kolaborasi antara pemerintah dengan masyakat sipil. ”Untuk itu, kita semua perlu mengawal proses ini,” ungkapnya.

Dalam konfrensi Press tersebut dimoderatori oleh Pimpinan Redaksi Konde,co Luviana. Lalu, Turut hadir juga mantan ketua komnas perempuan Yuniyanti Chuzaifah, LBH Apik Dwi Novita, perwakilan dari CWGI Atashendartini Habsjah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.