Pada 18 Mei 2024, saya berkesempatan hadir dalam acara ‘Rujak Pare Sambal Kecombrang’. Acara tersebut merupakan diinisiasi oleh Boen Hian Tong untuk merawat ingatan dan menolak lupa tragedi kekerasan seksual yang dialami kelompok Tionghoa pada Mei 1998.
Pahit, segar, pedas, manis, dan asam menyapa lidah. Pare berasa pahit, dan bunga kecombrang menjadi simbol perempuan yang diperkosa. Para jurnalis, aktivis, masyarakat umum, kelompok agama, perwakilan pemerintah turut hadir dalam acara tersebut.
Gedung Rasa Darma menjadi tempat berdialog lintas iman, mempertemukan orang dari beragam komunitas melalui kegiatan Rujak Pare Sambal Kecombrang, acara latihan musik Lam Koan, dan sebagainya.
Adanya pertemuan dengan orang-orang yang berbeda membuat masyarakat lebih akrab, jauh dari prasangka, dan bisa melakukan kolaborasi untuk kegiatan kemanusiaan. Acara ini juga membuka ruang aman untuk siapapun bercerita.
Kisah korban tak pernah ditulis secara lengkap dari sudut pandang mereka dalam buku sejarah Indonesia. Malah, baru-baru ini Menteri Kebudayaan justru ingin menghapus fakta terkait tragedi Mei 1998.
Tragedi ini benar-benar nyata, bahkan korban sampai sekarang masih merasakan trauma dalam hidupnya. Perkumpulan Tionghoa Rasa Dharma (Boen Hian Tong) memberikan kesempatan untuk korban berbicara melalui ruang ini.
“Jantung saya agak sakit kalau dengar suara keras, sampai sekarang sering terkaget-kaget. Saya juga takut berada di tempat gelap. Saya nggak berani,” ucap Bu Luna (bukan nama sebenarnya) dengan tatapan menyelami kembali peristiwa Mei 1998 yang menyisakan trauma mendalam.
“Saya waktu itu kerja di Jakarta. Saya sedang menyetel musik keras-keras, hiburan saya kalau sudah pulang kerja,” lanjutnya. Tiba-tiba, satpam kosnya menghampiri ke lantai 4 tempatnya.
“Cik-cik, Ini ada kerusuhan. Ini nanti dibakar. Cik, cepat keluar!” satpam berteriak dari luar pintu kamar Bu Luna. Sebenarnya, Bu Luna tidak terlalu kenal dengan satpam itu.
“Saya melayang (berjalan) di atas genteng (cari jalan keluar). Lalu saya dibonceng satpam dengan motor dan dibawa ke rumahnya selama 4 hari,” tutur Bu Luna. Saat perjalanan, satpam itu menyuruh Bu Luna memakai selendang agar tidak ketahuan dari etnis Tionghoa.
“Itu Cina, ya?” bentak petugas di jalan. “Bukan, ini istri saya,” jawab satpam dengan tegas. Kemudian, ia ditanya oleh petugas tentang siapa nama yang menyetir. “Martono!” jawab Bu Luna dengan mantap.
Tak ia sangka, ternyata satpam yang belum diketahui itu bernama Martono! “Ini merupakan mukjizat!” beliau bercerita kepada para hadirin di ruangan Boen Hian Tong dengan mata berkaca-kaca masih tidak menyangka.
Kebaikan Pak Martono, satpam kos tersebut membuat Bu Luna makin yakin dan bersyukur tiada henti bahwa ada orang yang benar-benar ingin menolong dengan tulus tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, dan latar belakangnya.
Ia menyelamatkan Bu Luna sejak dari memberi tahu kalau ada kerusuhan, membonceng dan melindunginya dengan selendang, hingga tinggal dengan keluarga Pak Martono selama beberapa hari.
Saya dan seisi ruangan merinding menyimak cerita korban. Dengan bercerita, korban perlahan berdamai dan pulih. Berangkat dari pengalaman personal, perkumpulan Boen Hian Tong peduli terhadap pencegahan kekerasan dengan memberikan ruang aman bagi korban bercerita.
Orde Baru dan Kriminalisasi terhadap Etnis Tionghoa
Saat Orde Baru, diskriminasi terhadap orang Tionghoa sangat terasa dan menjadi ingatan abadi bagi mereka. Tidak ada yang benar-benar aman saat terjadi kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa. Setiap hari ketakutan, kekacauan, dan kekhawatiran menghantui mereka.
Saya jadi teringat dengan sebuah film berjudul “Pengepungan di Bukit Duri” yang menggambarkan tragedi Mei 1998. Ada adegan simbolis yang menunjukkan perempuan Tionghoa secara acak diperkosa dan dibunuh di depan keluarganya sendiri
Saat kerusuhan kerusuhan Mei 1998, perkosaan dengan sasaran tubuh perempuan menjadi taktik untuk meneror masyarakat untuk melemahkan lawan. Perempuan Tionghoa diperkosa, vagina serta payudara mereka dirusak sehingga mengalami pendarahan hebat.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Korban dianggap aib oleh keluarga dan lingkungannya. Kekerasan seksual terjadi di beberapa wilayah seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Solo, dan kota lainnya.
Kami mengawali kegiatan dengan memanjatkan doa lintas agama, memasuki ruangan Rasa Darma, menuju sinci-sinci (papan leluhur) yang ada di sana. Sinci Ita Martadinata diletakkan di altar khusus leluhur yang dihormati, bentuk penghormatan kepada para perempuan pembela HAM. Kami melingkarkan pita hitam di pergelangan tangan sebagai tanda mengenang dan berkabung.
Selain itu, ada sinci Gus Dur selaku bapak keberagaman yang pada masa pemerintahannya mengakui Tionghoa sebagai salah satu agama resmi negara. Karena Gus Dur merupakan seorang muslim, sajian di altar diganti. Sebelumnya, di kalangan Tionghoa ada ikan, ayam, dan babi. Lalu, daging babi diganti dengan kambing sebagai wujud toleransi kepada muslim yang tidak mengkonsumsi babi.
Boen Hian Tong penuh perhatian dengan generasi penerusnya dengan terus mengawal kasus kekerasan seksual di zaman sekarang, salah satunya adalah tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada anak.
Pada acara Rujak Pare Sambal Kecombrang, Pak Harjanto Halim, tokoh masyarakat dan pengurus Boen Hian Tong, memberikan pengarahan kepada orang tua agar selalu mengedukasi diri dan tidak menyalahkan anak apabila kekerasan seksual terjadi kepada mereka, karena anak adalah korban.
“Kalau di-dm (direct message) orang nggak dikenal, jangan dijawab. Kalau kadung kirim gambar, jangan sampai kirim duit. Gunakan kata ‘itu photoshop’,” ujar Pak Harjanto menjelaskan tentang salah satu kasus KBGO.
Acara menolak lupa Tragedi Mei 1998 ini menjadi refleksi untuk masyarakat untuk pentingnya mencegah kekerasan seksual dan berempati pada korban. Selain itu, acara ini juga membuka ruang perjumpaan dengan kelompok berbeda.
Rujak Pare Sambal Kecombrang penting selalu hadir untuk merawat ingatan, melawan lupa, dan memperjuangkan hak-hak korban.
Referensi:
Kresna, Mawa. 2017, “Perkosaan Massal 1998 Itu Terjadi”, tirto.id
Lestari, Sri. 2018, “Perkosaan Mei 1998 ‘Tak Pernah Terungkap, Tak Pernah Dituntaskan’”, bbc.com
Winarnita, Monika. 2018, “Perempuan Keturunan Tionghoa Memecah Pembungkaman Pemerkosaan Massal pada Mei ‘98”, theconversation.com
Wargadiredja, Arzia. 2017, “Keadilan Tak Kunjung Datang bagi Korban Pemerkosaan Massal Mei 98”, vice.com