AMAN Indonesia Latih Fasilitator Sekolah Perempuan untuk Perkuat Kepemimpinan Perempuan dalam Membangun Komunitas

Dalam rangka memperkuat peran perempuan sebagai pemimpin komunitas dan agen perdamaian, AMAN Indonesia menggelar pelatihan fasilitator Sekolah Perempuan Perdamaian pada 20–22 Juni 2025 di kantor AMAN Indonesia, Pasar Minggu, Jakarta. Pelatihan ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fasilitator lokal agar mampu mengoptimalkan kapasitas dan peran perempuan dalam menggerakkan transformasi di tingkat individu, komunitas, struktural, hingga kultural untuk mewujudkan resiliensi di komunitas.

Sekolah Perempuan Perdamaian merupakan inisiatif AMAN Indonesia yang telah tersebar di 7 provinsi dan mencakup 46 komunitas perempuan dengan total anggota mencapai 669 orang. Program ini menjadi ruang belajar kritis dan aktualisasi kepemimpinan perempuan di akar rumput, dengan pendekatan Women, Peace and Security (WPS) sebagai kerangka utama yang melandasi modul pembelajaran.

Dalam sambutannya, Country Representative AMAN Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah menegaskan bahwa Sekolah Perempuan merupakan affirmative action dan memiliki tujuan jangka panjang untuk membangun budaya keberagamaan yang non kekerasan dan adil gender. “Fasilitator bukan sekadar pengajar, tetapi pemimpin komunitas yang menjadi teladan dan penggerak perubahan di tengah kompleksitas tantangan sosial yang dihadapi perempuan di komunitas,” ujarnya.

“Pelatihan fasilitator ini bukan sekadar forum belajar, tetapi juga momen konsolidasi gerakan perempuan akar rumput agar semakin solid, berjejaring, dan strategis. Sehingga, SP ke depannya bisa membangun kemandirian dalam membangun komunitasnya,” lanjut Raudlatun Odax dari  Sekolah Perempuan Kobher, Sumenep, Madura, Jawa Timur, mewakili Presidium Sekolah Perempuan dalam sambutannya.

Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini diikuti oleh 21 peserta dari berbagai wilayah, termasuk perwakilan Presidium Persatuan Sekolah Perempuan Perdamaian (PSPP), fasilitator SP, dan tim AMAN Indonesia. Pada hari pertama, peserta diajak merefleksikan capaian dan tantangan yang dihadapi Perkumpulan Sekolah Perempuan Perdamaian (PSPP) pasca kongres serta menyusun strategi keberlanjutan gerakan. Diskusi berlangsung aktif dalam kelompok, menghasilkan berbagai gagasan konkret untuk memperkuat keanggotaan, memperluas jaringan antarwilayah, serta memastikan keberlanjutan program di tingkat komunitas.

Hari kedua dan ketiga difokuskan pada praktik langsung fasilitasi modul. Para peserta tidak hanya memahami substansi modul tetapi juga melatih keterampilan fasilitasi melalui simulasi yang dikembangkan secara partisipatif. Pendekatan ini bertujuan memastikan bahwa fasilitator mampu menghidupkan kelas Sekolah Perempuan di komunitas masing-masing secara kreatif, substantif, dan kontekstual.

“Pelatihan ini mempertajam pengetahuan dan pengalaman kami di komunitas. Dengan adanya materi tambahan terkait instrumen global seperti Resolusi 1325 tentang Women, Peace, and Security, kebijakan turunannya di nasional maupun lokal seperti RAN/RAD P3AKS, serta tools analisis konflik berupa Three Boxes Analysis, memperkaya pengetahuan kami dalam menyampaikan modul ke komunitas,” tutur Leny Palase, Fasilitator Sekolah Perempuan asal Poso, Sulawesi Tengah. 

Selain sebagai capacity building fasilitator Sekolah Perempuan, pelatihan ini juga menjadi ruang pertukaran pengetahuan dan pengalaman lintas daerah. Peserta dari Poso, Tasikmalaya, Bima hingga Yogyakarta berbagi cerita tentang dinamika lokal, praktik baik, hingga tantangan besar dalam membangun gerakan perempuan yang damai dan berdaya. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *