Sinergi LiBu Perempuan dan AMAN Indonesia dengan dukungan UN Women, menggelar rangkaian peningkatan kapasitas untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Sulawesi Tengah dalam mengawal Implementasi agenda Women, Peace and Security (WPS). Diselenggarakan di Kabupaten Sigi dan Poso, kegiatan ini bertujuan memperkuat peran masyarakat sipil, khususnya perempuan, dalam menciptakan perdamaian dan keamanan di komunitas pascakonflik.
Kegiatan ini melibatkan total 42 peserta, mayoritas perempuan, dari berbagai latar belakang seperti lembaga adat, organisasi keagamaan, komunitas desa, dan kelompok advokasi. Di Poso, pelatihan berlangsung pada 28 April 2025, sementara di Sigi dilaksanakan dua hari sebelumnya, 26 April 2025.
Direktur Libu Perempuan, Dewi Rana, dalam sambutannya mengingat kembali bahwa WPS bukan hanya konsep global, tapi dapat diterapkan langsung di tingkat komunitas. “Perempuan di desa sebenarnya telah lama mempraktikkan prinsip WPS, hanya belum disebut demikian. Perannya dalam pencegahan konflik, perlindungan, dan pemulihan sangat nyata,” ujarnya.
Di sesi pertama, para peserta menonton video edukatif terkait WPS yang disampaikan oleh Ruby Kholifah, country representative AMAN Indonesia sekaligus WPS Expert. Kemudian para peserta berdiskusi dan menelusuri relevansinya dalam konteks Poso, begitupun SIgi.
Setelah menonton video edukatif, peserta juga menonton film dokumenter Pray the Devil Back to Hell, yang menggambarkan perjuangan perempuan Liberia dalam menghentikan perang di negaranya. Dari film tersebut, para peserta merefleksikan gambaran gerakan perempuan perdamaian dan mendiskusikan relevansi praktik baik tersebut dengan kondisi lokal, serta mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat perdamaian di wilayah masing-masing.
Dari hasil refleksi di Sigi, para peserta menguatkan ingatan bahwa di komunitas adat ada tokoh-tokoh lokal seperti Ratu Hangkalea dan Tinangata sebagai bentuk kepemimpinan perempuan yang berakar kuat di budaya lokal.
Diskusi-diskusi kelompok juga mengungkap berbagai tantangan yang dihadapi, termasuk minimnya pemahaman WPS di tingkat kabupaten dan lemahnya integrasi kebijakan perlindungan perempuan dan anak dalam program pemerintah daerah. Namun, para peserta juga melihat peluang kolaborasi, terutama dengan dukungan Ketua PKK Kabupaten Sigi yang menyatakan komitmen untuk memasukkan kerangka WPS dalam pelatihan kepemimpinan perempuan.
Kegiatan ini memperlihatkan bahwa WPS bukan konsep asing bagi perempuan akar rumput. Mereka telah mempraktekkannya dalam bentuk advokasi, mediasi konflik, dan perlindungan komunitas. Sayangnya, kebijakan dan struktur pendukung belum sepenuhnya hadir. Oleh karena itu, peserta merekomendasikan agar hasil pelatihan ini dijadikan masukan resmi bagi Pemda, termasuk untuk integrasi ke dalam RAD PE atau kebijakan lain yang fokus pada pemenuhan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“WPS adalah tentang keberanian perempuan untuk bicara, memimpin, dan menjaga komunitasnya. Kita butuh pengakuan dan dukungan agar suara perempuan tak lagi terpinggirkan,” tegas Maya Safira dari Libu Perempuan.
Dengan keterlibatan masyarakat sipil dan dorongan dari perempuan akar rumput, agenda WPS diharapkan tidak hanya menjadi wacana, tapi benar-benar membumi dalam praktik pembangunan perdamaian di Sulawesi Tengah.