Peran Aktor Agama dalam Mempromosikan Keadilan dan Perdamaian

Geneva– Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI), bekerja sama dengan Pemerintah Pakistan dan Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA), menyelenggarakan side event pada sidang Dewan HAM sesi ke-57, Kamis (3 Oktober 2024). Tujuan acara ini adalah mempromosikan praktik baik Indonesia terkait peran tokoh agama dalam mempromosikan keadilan dan perdamaian. Dalam sambutannya, Stephani Jubert dari Mensen Met een Missie, membagikan pengalaman kerja JISRA di tingkat internasional dan Indonesia, khususnya terkait keragaman intervensi yang dikembangkan oleh para mitra, yang semuanya berfokus pada perlindungan Freedom of Religion and Belief (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan).

Acara ini dibuka oleh Dubes PTRI Indonesia, Febrian A. Ruddyard, dan ditutup oleh Bilal Ahmad dari perwakilan tetap Pakistan. Dihadiri oleh 100 perwakilan negara-negara anggota Dewan HAM, tiga narasumber memberikan paparan praktik baik selama tujuh menit. Zamir Akram, Ketua Pelapor UN Working Group on the Rights to Development, menekankan pentingnya acara ini sebagai bentuk komitmen negara-negara terhadap Resolusi 16/18 tentang “Combating Intolerance, Negative Stereotyping and Stigmatization of, and Discrimination, Incitement to Violence,” yang diterbitkan oleh Dewan HAM pada April 2011. Resolusi ini merespons maraknya islamofobia di beberapa negara. Menurut Zamir, acara Indonesia ini memberikan contoh konkret bagaimana penguatan masyarakat sipil dapat dilakukan. Oleh karena itu, peran ulama perempuan dan anak-anak muda dalam mempromosikan perdamaian sangatlah penting.

Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia), Dwi Rubiyanti Kholifah memaparkan, peran ulama perempuan dari KUPI dalam mereformasi studi keislaman. Sebagai gerakan sosial, intelektual, dan spiritual, KUPI telah berhasil menjadi “game changer” dalam kerja advokasi. ”Revisi UU Pernikahan, khususnya terkait usia menikah yang menjadi 19 tahun, serta pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sebagian besar berkat intervensi ulama perempuan KUPI yang memberikan argumentasi kuat mengenai pentingnya perlindungan hak-hak perempuan,” teranngnya.

Perempuan yang akrab disapa Ruby tersebut mengungkapkan, Paradigma baru ini menempatkan pengalaman dan pengetahuan perempuan sebagai dasar dalam tafsir agama, yang menghasilkan pandangan keislaman yang lebih ramah dan memenuhi standar keadilan bagi perempuan. Di tempat yang sama, pendiri sekaligus ketua Institute Mosintuwu Lian Gogali menjelaskan pentingnya belajar dari memori kolektif orang-orang yang pernah mengalami konflik, termasuk anak-anak muda, tokoh agama lokal, dan perempuan, untuk membangun masa depan yang lebih baik.

”Melalui pendekatan lingkungan, Mosintuwu berhasil membuka ruang pertemuan di kalangan lintas aktor dan generasi, serta memastikan komitmen untuk menjaga lingkungan tetap kuat. Tantangan utamanya adalah kerusakan lingkungan yang justru didukung oleh beberapa aktor besar,” terangnya.

Diskusi ditutup dengan analisis dari Dr. Fatimah Azmiyaa Badurdeen, profesor di Faculty of Religion, Culture, and Society, University of Groningen, yang membahas tingginya kasus islamofobia di berbagai belahan dunia. Ia menekankan pentingnya respons yang kreatif dan inovatif, di mana masyarakat sipil, baik yang berbasis ajaran agama maupun hak asasi manusia, selalu menemukan cara unik untuk membangun kekuatan komunitas. Contoh dari ulama perempuan di KUPI dan gerakan akar rumput di Poso menjadi bukti nyata bahwa kekuatan rakyat adalah hal yang nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published.