AMAN Indonesia Gelar Open MIC Solidaritas Iran

AMAN Indonesia Gelar Open MIC Solidaritas Iran, Selasa (4 Oktober 2022). Agenda digelar sebagai solidaritas rakyat Iran atas meninggalnya Mahsa Amini, belum lama ini. Open mic yang menghadirkan aktivis perempuan dari berbagai pelosok Tanah Air ini menjadi cermin keresahan para aktivis perempuan menyikapi fenomena pemaksaan jilbab yang ditemukan di banyak daerah di Indonesia.

AMAN Indonesia mencatat sebanyak 50 ribu sekolah di 24 provinsi yang siswanya mayoritas muslim mewajibkan penggunaan Jilbab. Demikian juga dengan Mereka yang tidak mengenakan jilbab dikucilkan, sehingga menimbulkan tidak nyaman, dan sebagian korban ingin bunuh diri. Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah menegaskan bahwa pengaturan ini bertentangan konstitusi Negara dan esensi ajaran agama. Karena, ujarnya, tidak ada satu pun agama di dunia yang membenarkan pemaksaan dalam penyebaran ajaran agama.

“Saya meyakini ajaran agama harus mengutamakan kemanusiaan di atas segalanya,” ujarnya.

Dirinya meyakini dengan sepenuh hati bahwa Islam hadir di muka bumi yaitu keselamatan untuk semua orang, tanpa membedakan identitas.  Dalam kesempatan tersebut juga dirinya menjelaskan tentang kejadian yang menimpa dirinya. Di mana terdapat seorang pria yang menegur dirinya atas hijab yang dirinya pakai. Dari kejadian tersebut, dirinya mengungkapkan jika masyarakat biasa telah menjadi polisi untuk mendisiplinkan memakai jilbab yang sesuai dengan standar Syariah.

Saat ini, terdapat sekolah yang mewajibkan muridnya untuk menggunakan hijab di sekolah. Sebenarnya, mewajibkan untuk mengenakan jilbab Sekolah Dasar peraturan tersebut tidak ada peraturan. Aturan tersebut bisa dipakai untuk menekan anak perempuan dan orang tua mereka agar membuat himbauan atau teguran dan pengucilan pada anak-anak atau teman sebayanya anak-anak itu sendiri.

Cerita masalah hijab juga dialami oleh berbagai anak muda di Indonesia. Di antaranya di Aceh dan Sumatra Barat. Aktivis muda Aceh, Khalida Zia bagaimana ‘kerja-kerja’ di Aceh tak bisa lepas dari penilaian atas baju dan tubuh perempuan. Lihat saja yang terjadi pada aktivis lingkungan, Farwiza Farhan yang kesehariannya bekerja untuk merawat kelestarian alam Leuser, Aceh. Ia pernah dicaci maki karena tidak mengenakan jilbab.

“Cacian yang diterimanya melebihi cacian terhadap mereka yang melakukan korupsi atau bahkan kekerasan seksual.”

Khalida Zia menceritakan tentang kondisi perempuan di Aceh. Serta sejumlah aturan mencoba mengatur semua lini kehidupannya. Mulai dari cara berpakaian, tapi juga cara membonceng kendaraan pun diatur, waktu berkegiatan yang diatur, dan masih banyak lagi.

Di tempat lainnya, Sumatera Barat Ebriska Sagala yang non muslim dipaksa mengenakan jilbab sejak duduk di bangku SMP hingga SMK.

“Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup karena merasa tertekan akibat diskriminasi yang dialaminya sebagai minoritas,” kata Ebriska.

Dari Bima Nusa Tenggara Barat, Profesor Atun Wardatun mengaku resah melihat penggunaan jilbab sudah diwajibkan sejak bangku sekolah dasar. Meski di daerah itu sejak lama mengenal tradisi rimpu yang diterapkan pada perempuan dewasa.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.