Poso, ingatan tentang konflik masih belum sepenuhnya usai. Kurang lebih tiga tahun konflik terjadi di Poso, dari 25 Desember 1998 sampai 20 Desember 2001. Sebelum konflik, budaya mempertemukan kedua agama dalam harmoni. Namun, pasca konflik, budaya tersebut mulai berubah. Tradisi memasak dan makan bersama yang dulunya riuh keakraban tanpa sekat, kini mulai terbelah. Warga Muslim khawatir makanan yang dimasak oleh warga Kristen haram, sehingga mereka mulai memasak secara terpisah. Hal ini menimbulkan kekecewaan di pihak Kristen.
Meskipun pandangan luas menunjukkan kemajuan dalam kondisi pasca-konflik, realitas yang tersembunyi adalah adanya trauma yang masih berkepanjangan dan belum sepenuhnya sembuh. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak akan rekonsiliasi antara umat Kristen dan Muslim. Salah satu korban sekaligus saksi mata dari konflik Poso adalah Roswin Wuri. Dia merupakan pendeta sekaligus fasilitator Sekolah Perempuan Perdamaian. Bersama dengan Sekolah Perempuan, dirinya kembali membangun kohesi sosial di wilayah tersebut.
Wuri, sapaan akrabnya, mengikuti Training Reflektif Structur Dialog (RSD) yang digelar oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia pada 2023. AMAN Indonesia tengah mengembangkan RSD sejak 2019 dengan dimulai bersama Ulama Perempuan. Saat ini, 105 orang fasilitator RSD yang sudah dilatih dari tujuh provinsi di Indonesia. Menurut Wuri, 23 tahun paska konflik Poso sudah membaik, namun masih ada trauma yang belum sembuh.
”Kita tidak boleh mengabaikan dampak psikologis yang masih menghantui masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut. Trauma ini tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga menimbulkan ketegangan antar komunitas,” ungkapnya.
Dengan fakta tersebut, akhir Desember 2023, Wuri bersama fasilitator lainnya asal Poso menggelar dua RSD bersama perangkat desa dan tokoh agama Desa Malei. Ada harapan besar dari terselenggaranya RSD di Desa Malei, yaitu memperkuat perdamaian di wilayah paska konflik. Dirinya mengakui jika RSD menjadi alat untuk memperkuat kohesi sosial atau daya rekat untuk kesatuan masyarakat.
”Awalnya, saya masih bingung dengan RSD. Tapi, saya memiliki keyakinan jika RSD bisa menjadi alat untuk merekatkan kerenggangan yang sempat terjadi di antara Muslim dan Kristen,” terangnya.
Dalam menanggapi kompleksitas pasca-konflik, pendekatan RSD muncul sebagai alat yang sangat efektif untuk membuka dialog antara komunitas Muslim dan Kristen. Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami dan menghargai keadaan masing-masing pihak, yang pada gilirannya dapat membantu memperkuat ikatan antaragama, menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih aman, dan lebih damai.
Setelah dua kali pelaksnaaan RSD, masyarakat diberikan kesempatan untuk saling bertemu, berbagi pengalaman, dan menciptakan pemahaman bersama. Ini bukan hanya tentang menyelesaikan konflik masa lalu, tetapi juga tentang membangun dasar yang kokoh untuk masa depan yang lebih harmonis. Dalam prosesnya, saling penghargaan dan pemahaman terhadap perbedaan menjadi kunci utama.
”Dengan mengambil pendekatan RSD, kita dapat mengukuhkan komitmen untuk menjembatani kesenjangan antar agama dan memperkuat kerja sama lintasagama. Ini bukan hanya tentang mengatasi konflik, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang saling menghormati dan saling mendukung,” pungkasnya.
Salah satu peserta RSD, Mardiana salah satu tokoh agama perempuan dari Desa Malei mengakui senang karena bisa mengetahui perasaan peserta lain, bisa berpendapat dan tukar pikiran serta bertambah ilmu. Dalam kesempatan tersebut, dirinya juga membagikan pengalaman tentang interaksi Muslim dan Nasrasi.
Selama ini, interaksi antara kelompok Muslim dan Nasrani terbatas hanya pada tetangga di lingkungan sekitar. Namun, setelah konflik, terutama dengan hadirnya Sekolah Perempuan, komunikasi dan hubungan antaragama pun semakin terbuka. Mardiana membagikan pengalamannya yang menginspirasi. Saat ini, dia memiliki banyak teman dan menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang Nasrani.
”Sekolah Perempuan menjadi jembatan yang menghubungkan kedua komunitas, memperluas jaringan sosial, dan memungkinkan pemahaman yang lebih dalam antaragama,” terangnya.
Cerita Singkat dari Mardiana, kita perlu belajar pendidikan memiliki peranan penting dalam memperkuat rekonsiliasi antaragama. Sekolah Perempuan, bukan hanya pengetahuan yang diperoleh, tetapi juga nilai-nilai toleransi, penghargaan, dan saling pengertian terhadap perbedaan. Ini adalah langkah konkret dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis di tengah-tengah konflik dan ketegangan yang ada.
Sekolah Perempuan tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pembelajaran bagi perdamaian dan rekonsiliasi. Dengan membuka ruang untuk dialog dan kolaborasi antaragama, Sekolah Perempuan menjadi lokus perubahan positif dalam masyarakat yang terbagi. Mardiana adalah bukti nyata bahwa pendidikan dapat menjadi kekuatan yang mendorong transformasi sosial yang signifikan.
Kisah Mardiana mengilhami kita semua untuk terus mendukung inisiatif pendidikan yang mempromosikan persaudaraan, keberagaman, dan kedamaian. Dengan terus membangun jembatan antaragama melalui pendidikan, kita dapat merangkul masa depan yang lebih cerah, di mana perdamaian dan harmoni merajai, melebihi bayang-bayang konflik masa lalu.