Makna dan Keberagaman dalam Ritual Nyadran Perdamaian: Menyatu dalam Syukur Bersama di Desa Krecek-Glethuk

”Dua tangan di dada ini seperti bentuk kuncup Teratai, simbol kerendah hatian,”kata salah satu bhante/bhikhu Borobudur yang santai dan bijak.

Obrolan santai tersebut ada sebelum nyadran. Ritual nyadran ini lebih besar dari hari raya, karena berbagai agama, bahkan bersama-sama leluhur bisa menyatu bersyukur di makam. Melalui nyadran, masyarakat Krecek (Budha) dan Glethuk (Muslim) dan yang hadir berbagai pejabat nasional hingga desa, saling ingat pesan luhur para leluhur, harus jaga alam, jaga rukun, jangan hanya ingin menang tapi tanamkan kerjasama, dll.

Makanan yang dibawa tiap rumah, dipikul dan digendong berarak naik turun bukit, lezat tak terkira. Saya pikir, dengan nyadran ini, seperti memuseumkan makanan yang mulai langka. Favorit saya serundeng daging, persis rasa warung Mak Mbisok jaman kecil. Hampir semua bawa ingkung, ditemani lauk variatif, ada krecek, pecel, kupat tahu, ikan pete, sambel, bacem, semur, dst. Snack khasnya adalah Sengkulun, merah putih dari ketan rasa manis, jadah, wajik, rengginang, kue moho, dll. Ritual ini sudah ratusan tahun.

Nyadran perdamaian adalah melengkapi rangkaian acara nyadran makam, pra dan pasca acara. Saat diminta ucapan terima kasih dalam ritual tersebut, salah satu yang saya sampaikan, waktu kecil berjarak dari sesaji. Tapi melalui ritual ini, yang saya pelajari, bahwa sesaji disiapkan ragam rupa untuk hargai keunikan leluhur, karena masing-masing unik, punya selera. Sesaji juga alarm untuk kesehatan alam, apakah bahan-bahan sesaji masih lengkap dengan tanaman-tanaman yang ada. Sesaji rupanya kadang diletakkan di sungai dll, juga untuk dibagi pada makhluk hidup/binatang lain, dari semut, serangga, dan lain-lainnya.

Siapa tahu binatang-binatang sekitar kita sedang susah pangan. Mereka perlu dirawat sebagai penjaga ekosistem. Menarik. Pasca nyadran makam, sebagai rangkaian nyadran perdamaian (melanjutkan postingan sebelumnya) adalah tutur perempuan, tentang kearifan moyang khususnya pengetahuan perempuan dari yang live in (tinggal di warga) hingga kawan-kawan perempuan dari dua desa.

Dari Toraja cerita bahwa perempuan Toraja harus lebih awal gerak gesit sebelum yang lain gerak. Yang Tionghoa cerita tentang pentingnya kelekatan keluarga. Suhu/Bhikhuni cerita tentang dewi Naga yang dihormati Budha walau dia binatang perempuan. Dari Madura cerita tentang perjodohan sejak bayi dan carok yang sejarahnya untuk kehormatan perempuan. Ada yang berkisah tentang tradisi saat cethik geni/nyalakan api buat masak, minta api ke tetangga sebagai detektor tetangganya punya makanan tidak, obat-obatan moyang, menjaga air buat anak cucu, dan lain-lainnya.

Lingkaran diakhiri dengan menari bersama tari Warok, yang biasa penarinya laki-laki, tapi di desa ini perempuan yang menarikan. Berulang ucap terima kasih pada induk semang dan warga, yang kemelimpahan kebaikan dan keramahan tak bisa digantikan di hotel-hotel. ”Aku suka, nginep di warga sini, jadi tahu berbagai binatang piaraan, seru. Aku tadi waktu nyadran baru pertama kali coba buah sawo,” kata kawan muda dari Jakarta.  ”Mana ada tiap lewat depan rumah diminta mampir makan?” sahut yang lainnya.

Hari-hari berharga. Selamat Aman Indonesia (Asian Muslim Action Network). Tahun depan mudah-mudahan tambah banyak yang gabung Nyadran Perdamaian, di Temanggung.

 

Artikel ditulis oleh

Yuniyanti Chuzaifah, Board AMAN Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.