Tasikmalaya – Berdasarkan riset yang dilakukan Setara Institute, Jawa Barat ditempatkan sebagai provinsi yang paling intoleran di Indonesia. Temuan ini menyoroti keberadaan peristiwa-peristiwa yang menghambat kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang sebagian besar dipicu oleh kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dan tidak berpihak terhadap kelompok rentan. Jenis konflik yang muncul juga beragam, meskipun terdapat perubahan pola dan tren. Selain kasus kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok intoleran, saat ini menyaksikan intoleransi yang dilakukan oleh pihak negara melalui kebijakan diskriminatif.
Mulai dari penutupan rumah ibadah, konflik antar agama telah bergeser menjadi konflik intra agama hingga pelarangan kegiatan keagamaan karena perbedaan mazhab. Situasi ini memerlukan respons yang serius untuk menjamin terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pemerintah telah mencatat kemajuan dalam upaya memastikan kerukunan umat beragama dan keberagaman berkeyakinan di Indonesia, misalnya melalui Renstra 2020-2024 dengan fokus pada peningkatan moderasi beragama dan kerukunan.
Dalam konteks ini, orang muda menjadi kelompok yang memiliki peran penting. Pemuda di Indonesia memiliki jumlah yang signifikan, mencapai 64,92 juta jiwa atau sekitar 23% dari total penduduk pada tahun 2021 menurut data BPS. Mereka juga telah menunjukkan peran aktif dalam upaya membangun perdamaian di Indonesia.
Dari data yang tersebut, dibutuhkan sebuah dialog memperkuat peran orang muda dalam melawan prasangka terhadap kelompok agama. Sejak 2019, AMAN Indonesia tengah mengembangkan teknik berdialog ini menggunakan Reflektive Strukture Dialoge (RSD) yang mana Teknik ini telah banyak dikembangkan untuk resolusi konflik. Dialog dengan menggunakan Teknik RSD digelar di Tasikmalaya dengan tema ”Penguatan Isu Kebebasan Beragama dan Bekepercayaan di Kalangan Orang Muda” dengan melibatkan 15 pemuda intrafaith, Rabu (21 Juni 2023). Dengan melibatkan anak muda diharapkan dapat memperkuat kerjasama antar agama untuk memajukan perdamaian dan kerukunan antar agama dan kepercayaan. Hal tersebut diungkap oleh Koordinator Wilayah Jawa Timur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Yeni Lutfiana.
”Orang muda memiliki potensi untuk menjadi penjaga keberagaman. Mereka terlibat dalam berbagai organisasi agama, organisasi mahasiswa, kelompok kesenian, dan organisasi adat, yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan beragam kelompok masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, orang muda mampu menerima keunikan setiap kelompok dan membangun hubungan yang baik. Kemampuan ini perlu dikembangkan, diperluas, dan disebarluaskan agar mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam mewujudkan budaya damai di masyarakat. Peran strategis orang muda dalam membangun perdamaian sangatlah penting. Untuk memperkuat upaya pembangunan perdamaian yang dilakukan oleh orang muda, diperlukan penguatan kapasitas mereka dalam membangun kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Salah satu cara untuk mencapainya adalah melalui penyelenggaraan dialog yang intensif di kalangan orang muda, terutama di Tasikmalaya dan daerah lainnya yang menghadapi tantangan intoleransi agama. Diungkap olehnya, dialog ini dapat menciptakan ruang bagi pemuda untuk berbagi pengalaman, pemahaman, dan perspektif mereka tentang agama dan keyakinan. Sehingga, mendorong terciptanya pemahaman yang lebih luas dan menerima perbedaan. ”Dengan digunakannya di kalangan anak muda, harapannya bisa membangun penerimaan akan perbedaan,” tegasnya.
Di saat yang bersamaan, salah satu fasilitator agenda tersebut, Usama Ahmad Rizal mengungkapkan jika dialog kali ini menggali kebebasan beragama di kalangan orang muda Tasikmalaya. Peserta yang hadir berbeda latar belakang organisasi agama. ”Walaupun dalam satu agama, para peserta memiliki beragam perspektif yang mengenai dengan kebebasan beragama ini. Dalam konteks Tasikmalaya, pada awal tahun ini sudah ada sekitar empat kasus,” terangnya sebagai alumni pelatihan RSD yang diselenggarakan oleh AMAN Indonesia.
Dialog dengan menggunakan teknik ini, lanjutnya, para peserta memerlukan adaptasi. Akan tetapi, teknik RSD ini memberikan porsi yang sama antara berbicara dan mendengarkan. Sehingga lebih jernih dalam melihat sebuah dialog itu dan memahami perspektif masing -masing orang. Serta, menghindari dominasi sejumlah orang. Semua orang memiliki hak yang sama dan waktu yang sama untuk berbicara dan juga mendengarkan.
“Terkait dengan tema yang diambil, menjadi sebuah refleksi bersama bagi para peserta yang hadir. Para peserta juga dapat mendengarkan kasus-kasus yang selama ini didengar dan berdekatan dengan masing-masing orang,” pungkasnya.