“Jujur saya hopeless dengan dialog di sana. Tapi bersyukur, ada perwakilan dari desa yang bisa diajak berdialog.” Begitu tutur Nita kala menceritakan proses menyelenggarakan dialog Reflective Structured Dialogue di Citeureup, Bandung. Nita sempat merasa buntu. Seakan-akan berada di tengah labirin tanpa petunjuk. Tak tahu arah keluar. Tak tahu seberapa jauh lagi harus ditempuh.
Bagaimana tidak. Ungkapan seperti “Kalau mau bahas gereja, saya tidak mau tahu,” atau stigma kristenisasi, seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ernita kala melakukan profiling peserta dialog. Namun, sesulit apapun, ia tidak menyerah. Karena ini sudah menjadi pilihan perempuan bernama lengkap Yeni Ernita Kusuma Wardhani ini. Setapak demi setapak pendekatan ia lalui untuk membuka ruang dialog, sebagai uluran tangan pada sesama saudaranya di GKP Dayeuh Kolot, Bandung.
Bandung: Tempat Pengabdian
Nita bukan perempuan asli Bandung. Ia perantauan dari kabupaten di ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Di sana, ia tinggal di daerah yang mayoritasnya adalah pemeluk Hindu. Meski begitu, keluarga besarnya memiliki bermacam keyakinan. Sudah biasa bagi Nita untuk merayakan hari raya agama di luar Hindu. “Apalagi kalau terima angpau. Ya senang kita,” kelakarnya mengenang masa kecil yang bahagia itu. Nita mengenal Banyuwangi dan masa kecilnya penuh dengan keindahan toleransi. Tak pernah ia menemui sikap yang tidak menghormati keberagaman identitas, suku, dan agama di sana.
Nita menjalani kuliahnya di Telkom University sembari aktif di organisasi keagamaan Hindu. Seperti Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia dan PERADAH (Perhimpunan Pemuda Hindu). Berkat itu, ia bisa terhubung dengan jaringan lintas iman. Setiap ada agenda di luar organisasi, Nita dengan sukarela bersedia hadir.
Sampai Nita terlibat dalam salah satu agenda yang diadakan oleh Sekodi (Sekolah Damai Indonesia). “Di situlah aku baru tahu, oh perundungan yang aku alami dulu itu masuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB),” sebut Nita. Nita juga semakin terbuka akan berbagai fenomena intoleransi di Bandung.
Namun, bukannya berniat pergi, fenomena intoleransi yang ia temui justru semakin mendorongnya untuk aktif di isu KBB. Interaksinya bersama kawan-kawan lintas iman justru membuatnya berintrospeksi mengenai keimanannya sendiri. Ia bersyukur bahwa ia dilahirkan sebagai seorang Hindu, bukan agama lain. “Aku sih mikirnya gitu ya. Bukan berarti agama lain itu salah enggak. Malah justru aku karena mempelajari semua agama. Tetapi di keyakinan aku, di pikiran aku, di hatinya aku. Adalah kayak aku hindu,” kata Nita.
Ini hal menarik menurut saya. Biasanya, orang takut berinteraksi dengan yang berbeda karena takut terpengaruh oleh keimanan orang lain. Tapi, Nita membuktikan sebaliknya. Sejak berdiskusi dengan kawan-kawan lintas iman di Bandung, ia bahkan mengerti bermacam aliran dan organisasi dari agama lain. Islam ada NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, PERSIS. Buddha ada Theravada, Mahayana, Kristen ada Katolik, Protestan. Ia menyebutkan semuanya seakan sudah di luar kepala.
Nita mendapatkan panggilan hati untuk menetap. Ia pun mendaftar sebagai guru agama Hindu di Pasraman (lembaga pendidikan non-formal agama Hindu). Padahal, pilihan ini berseberangan jauh dengan jurusan kuliahnya. Seorang lulusan teknik dari Universitas Telkom. Jauh, ya. Tadinya saya juga menanyakan, apakah memang di kampusnya dulu ia berkuliah keguruan. Ternyata, ia memilih area perjuangannya tanpa perduli kesinambungan jurusan.
Keterangan: Nita tengah mempresentasikan refleksi pelaksanaan Reflective Structured Dialogue dalam agenda Refreshment of RSD Facilitator yang diadakan AMAN Indonesia pada 16-17 November 2023. Sumber: dokumentasi AMAN Indonesia.
Minoritas Agama yang Terpinggirkan
Bukan hal mudah untuk menjadi penganut agama minoritas. Hak dan kebutuhan seringkali tidak terakomodir sebagaimana yang dinikmati penganut agama mayoritas. Tahun 2022, Provinsi Jawa Barat menduduki posisi kedua pada laporan Kondisi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) terbanyak yang dikeluarkan oleh Setara Institute dengan 25 peristiwa. Bukan hal yang mengagetkan, mengingat Jawa Barat selalu masuk 10 besar dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, pada tahun 2023 tercatat ada 47 kasus pelanggaran KBB, membawa Jawa Barat pada posisi teratas.
Hal ini juga tercermin di Bandung. Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuh Kolot ada di Citeureup, Bandung telah berdiri sejak tahun 1954. Di tahun 2005-2007, mereka mendapatkan diskriminasi beruntun dari Gerakan Anti Pemurtadan (GAP). Salib dikeluarkan. Begitupun kursi dan alat ibadah. Alkitab dibuang. Ricuh dan tidak terkendali. Semuanya dilakukan dengan alasan mereka ‘mengganggu’ masyarakat.
Oleh karena itu, sejak tahun 2008 hingga 2020, jemaat GKP Dayeuhkolot melakukan ibadah Minggu di Kapel Rehuel Rumah Sakit Immanuel yang berjarak delapan kilometer jauhnya. Gedung GKP Dayeuhkolot digunakan untuk kebaktian kecil selain hari Minggu. Ibadah bagi Jemaat GKP Dayeuh Kolot semakin sulit dan mahal.
Dilansir dari Bandungbergerak.id, izin GKP Dayeuhkolot sudah diurus sejak 1993, namun hingga kini izin belum dikantongi. Pihak Gereja berusaha memenuhi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pada Januari 2023, Pendeta Cliff kembali berdiskusi dengan pengurus RT dan RW terkait rencana pembangunan gereja. Pihak gereja berjanji akan mematuhi aturan, salah satunya mengumpulkan 90 nama pengguna gereja yang disertai KTP dan mendapatkan dukungan dari 60 warga sekitar, serta rekomendasi dari pejabat terkait. Namun, hingga saat ini, Cliff belum menerima perkembangan lebih lanjut mengenai izin tersebut.
RW 13 Desa Citeureup, tempat GKP Dayeuhkolot berada, menyatakan bahwa mereka tidak melarang kegiatan ibadah. Ketua RW, Agus Beni Gunadi, menjelaskan bahwa bangunan gereja masih tercatat sebagai rumah tinggal sesuai dengan keputusan pemerintah. Agus menegaskan bahwa mereka hanya menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan memastikan ketentuan tersebut diterapkan dengan baik.
Pengurus RW juga menyampaikan ketidaksetujuan mereka terkait pembahasan ulang izin gereja. Mereka merasa bahwa persoalan ini sudah selesai dan tidak perlu diungkit lagi agar tidak menimbulkan ketegangan sosial, baik di RW 13 maupun di Kabupaten Bandung secara keseluruhan.
Nita dan tim Jaka Tarub lainnya terpanggil untuk mengulurkan bantuan kepada Jemaat GKP Dayeuh Kolot. Mereka melihat, penerimaan bagi Jemaat masih bisa didorong. Toh dalam hal berkegiatan di masyarakat maupun dalam keadaan bencana, GKP Dayeuh Kolot turut membantu dan diterima.
Prasangka dan kecurigaan terhadap mereka tidak sepatutnya dipelihara dan membuat para Jemaat kesulitan melangsungkan ibadah yang diyakininya. Niat baik ini bertemu kesempatan baik lain kala Nita dan kawan lainnya menjadi peserta pelatihan Reflective Structured Dialogue (RSD) oleh AMAN Indonesia dalam program “Indonesia Berdialog”.
RSD adalah sebuah metode dialog yang menggunakan tahapan terstruktur mulai dari pembuatan portofolio peserta, pertanyaan reflektif yang mengutamakan suara hati sebagai individu tanpa membawa identitas, serta penghormatan waktu bicara yang sama pada semua suara peserta. Nita dan beberapa teman JAKATARUB adalah Fasilitator lulusan pelatihan fasilitator RSD yang diadakan oleh AMAN Indonesia melalui program “Indonesia Berdialog”. Tools ini diharapkan bisa membuka penerimaan pada jemaat GKP, sehingga mereka bisa mendapatkan hak mereka untuk beribadah kembali.
Kembali ke Tempat Traumatis
Dua belas tahun lalu. Pada suatu malam di tahun 2012, Nita berjalan kaki menyusuri gang. Ia mengenakan kebaya dan rok lilit batik, lengkap dengan kain yang diikat di pinggang. Rambutnya juga ditata dengan baik. Pelan tapi pasti, ia sedang menuju ke Pura terdekat untuk beribadah.
“Malam-malam mau kondangan ya.” Tak tahu dari mana asalnya, ada segerombol orang yang tiba-tiba merundungnya karena memakai kebaya. Perempuan ini marah. Ia merasa pakaiannya untuk beribadah tidak dihargai. Sejak itu, pandangannya tentang Bandung tidak pernah sama lagi.
Perundungan yang dialami olehnya membuat saya tertegun. Selama ini, perundungan perihal busana lebih rentan dialami oleh perempuan. Coba kita pikir, apakah jika yang lewat di depan gerombolan itu laki-laki, mereka juga akan memberikan komentar serupa? Kalau dalam konteks Islam, biasanya jilbab perempuan yang dikomentari. Terlalu besar, terlalu kecil, terlalu terlihat rambutnya, tidak menutup dada, dan lain sebagainya.
Siapa sangka, 12 kemudian ia kembali ke Citeureup lagi. Dulu, ia mengalami diskriminasi di sekitar sini. Hari ini, ia akan membantu rekonsiliasi konflik di sana. Setelah mendengarkan cerita dari warga setempat mengenai GKP Dayeuh Kolot, ia berdecak. “Oh, pantes saya dulu mengalami diskriminasi di sini.”
Nita bercerita, ia kurang nyaman berada di sekitar desa ini. Kos-kosan biasanya dibuat dengan membatasi agama tertentu. Maka, saat berkuliah dulu tidak ada pilihan selain mengontrak rumah bersama temannya yang sesama Hindu. Kini ia kembali ke daerah itu dengan kondisi yang sudah berdamai dan memaafkan orang-orang di masa lalu. Ia juga membawa misi baru untuk menyelenggarakan Reflective Structured Dialogue (RSD) yang membahas mengenai GKP Dayeuh Kolot.
Keterangan: Nita sedang menjadi Fasilitator RSD di Dayeuh Kolot dengan tema “Kerukunan Antar Umat Beragama di Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung”, Desember 2020. Sumber: dokumentasi Nita.
Mengetuk Hati Masyarakat lewat Dialog
Dialog untuk GKP Dayeuh Kolot direncanakan terdiri dari dua gelombang. Gelombang pertama di akhir tahun 2023, gelombang kedua di pertengahan tahun 2024. Tim pelaksana sudah mengidentifikasi dan menyadari tingkat kesulitan dari dialog di Dayeuh Kolot. Berbagai intervensi sudah pernah diberikan oleh beragam organisasi masyarakat sipil dan komunitas. Namun, hingga kini penerimaan belum juga kunjung terasa. Sehingga, langkah ini sengaja diambil sebagai langkah kehati-hatian dan strategi.
(Bersambung…)
NB: Anda bisa membaca selengkapnya tulisan ini dalam buku “Perempuan-Perempuan Penggerak Perdamaian” yang diterbitkan oleh Fatayat NU Jawa Barat & JISRA Indonesia pada Desember 2024.