Yogyakarta – The Asian Muslim Action (AMAN) Indonesia dan Gusdurian menggelar JISRA Learning & Knowledge ”Meningkatkan Peran Pemuda dan Perempuan dalam Mempromosikan Inklusi Beragama dan Perdamaian” di Kampus Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Sabtu (5 Oktober 2024). Forum menghadirkan 16 panelis dari mitra JISRA Indonesia dan praktisi dari berbagai komunitas dan lembaga untuk berbagi pengetahuan dan pembelajaran gerakan anak muda dan perempuan dalam berbagai upaya mendorong toleransi, menciptakan ruang dialog dan inisiasi rekonsilitif. Forum ini terbagi dalam tiga sesi, mengeksplorasi pengalaman pemuda dan perempuan yang terlibat dalam advokasi kebebasan beragama serta mendiskusikan strategi bersama, bertukar pembelajaran, serta memperkuat kolaborasi dalam upaya menjaga dan merawat perdamaian.
Pertama, sharing tentang praktek baik toleransi, inklusivitas dan resiliensi anak muda. Kedua, agensi dan gerakan perempuan dalam resolusi konflik. Terakhir, institusionalisasi agenda Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (KBB). Dalam kesempatan ini, perwakilan AMAN Indonesia, Ghufron, menyajikan makalah terkait integrasi gender dan KBB dalam resolusi konflik melalui Indonesia Berdialog #ReflektiveStructureDialog yang memberi peluang penguatan leadership dan pemberdayaan perempuan.
”Dialog dan resolusi konflik menjadi pendekatan penting dalam mengatasi berbagai permasalahan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan (FoRB) di Indonesia,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ghufron mengungkapkan, beberapa isu utama yang dihadapi meliputi interpretasi teks keagamaan yang eksklusif, hukum yang diskriminatif, penegakan hukum yang lemah, serta berbagai bentuk persekusi terhadap kelompok minoritas. Untuk mengatasi hal tersebut, pendekatan Reflective Structured Dialogue (RSD) digunakan sebagai alat resolusi konflik yang menekankan pada komunikasi terstruktur, reflektif, dan berbasis pengalaman pribadi.
Program-program resolusi konflik telah dilaksanakan di berbagai wilayah seperti Bogor, Makassar, Tasikmalaya, Bandung, Poso, dan Sigi, dengan fokus pada isu-isu seperti ekstremisme kekerasan, penyegelan rumah ibadah, dan relasi antar-umat beragama. Melalui program ini, sebanyak 121 fasilitator perempuan telah dilatih untuk memfasilitasi 71 seri dialog yang melibatkan 642 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk tokoh agama, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan korban kekerasan.
”Pendekatan yang digunakan menekankan pentingnya perspektif gender dalam resolusi konflik, menggeser paradigma dari pendekatan keamanan-militeristik-maskulin menuju pendekatan yang lebih sensitif gender,” terangnya.
Para perempuan berperan sebagai peacebuilders yang genuine dalam membangun kohesi sosial, dengan fokus khusus pada dampak kekerasan terhadap perempuan. Indonesia Berdialog juga mengintegrasikan isu kebebasan beragama dengan resolusi konflik, mengakui bahwa meski tidak semua konflik bersifat religius, namun dimensi agama seringkali menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan untuk mencegah eskalasi konflik yang lebih besar.