Jakarta – Refleksi Reflective Structur Dialog (RSD) bersama 18 fasilitator asal Sulawesi Tengah dan Jawa Barat di Jakarta, Senin dan Selasa (27-28 Mei 2024) berhasil menggali praktik baik dan skenario baru pelaksaan RSD untuk rekonsiliasi. Dalam agenda tersebut dibahas sejumlah indikator sukses, indikator gagal, situasi yang mendukung dialog sukses, faktor sukses dan gagal, hingga tantangan besar digelarnya RSD.
Melalui tools RSD, AMAN Indonesia ingin membangun komunitas yang tangguh dan inklusif di mana pelaku keagamaan menjadi advokat yang berkelanjutan bagi kebebasan beragama dan kepercayaan serta perdamaian lintas keyakinan. 18 fasilitator tersebut menggunakan RSD untuk masuk ruang-ruang rekonsiliasi. Misalkan, di Bandung digunakan untuk rekonsiliasi pembatasan penggunaan Gereja Dayeuh Kolot, di Tasikmalaya digunakan untuk rekonsiliasi masjid yang disegel. Di Poso, digunakan untuk rekonsiliasi hubungan kohesi sosial yang terputus. Terakhir, di Sigi, digunakan untuk rekonsiliasi korban terorisme.
November hingga Maret 2024 telah digelar RSD dengan menyasar kelompok kecil, seperti kelompok perempuan, masyarakat desa, anak muda, penyintas dan lainnya. Di Tasikmalaya sudah terlaksana dua circle. Kemudian, dua circle kecil di Bandung. Lalu, empat circle di Sigi dan sebanyak empat circle di Poso, Masing-masing wilayah memiliki tantangan dalam pelaksanaan RSD mulai dari faktor geografis, kondisi alam, situasi politik sekitar, keengganan bicara dari hati ke hati, hingga waktu yang kurang pas.
”Untuk itu, RSD membantu menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi peserta untuk berbicara tanpa merasa tidak nyaman atau terhakimi,” ungkap Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah pada agenda pembukaan.
Diungkap olehnya, tujuan utama RSD adalah membantu peserta memahami perspektif orang lain dengan menempatkan diri dalam posisi mereka. Ini mengurangi kecenderungan untuk menghakimi dan meningkatkan empati, memungkinkan percakapan yang lebih konstruktif dan inklusif. AMAN Indonesia menggunakan Reflective Structured Dialogue (RSD) untuk memfasilitasi percakapan di wilayah-wilayah yang sensitif. Meskipun tampaknya sederhana, berbicara secara efektif tentang isu-isu yang sensitif ternyata sulit dilakukan.
Di Indonesia, menurutnya RSD telah digunakan untuk menangani isu-isu sosial yang kompleks dan membantu membahas isu-isu sensitif, memperluas pemahaman, dan merancang skenario penyelesaian konflik dengan menekankan pentingnya prosedur yang tepat untuk mencapai kesuksesan. Di tempat yang sama, Koordinator The Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) Indonesia Mutiara Pasaribu menyambut para peserta yang hadir dari berbagai daerah. Dia menekankan pentingnya dialog dalam proses fasilitasi dan rekonsiliasi, khususnya di komunitas yang mengalami konflik lintas etnis atau agama.
”Dialog dianggap sebagai alat penting untuk mendudukkan perasaan dan perspektif pihak yang berkonflik, sehingga tercipta rasa saling memahami dan menghindari penghakiman,” tekannya.
Dirinya mengungkapkan, pentingnya kepercayaan dalam dialog juga ditekankan sebagai syarat utama, terutama di komunitas yang belum pernah mengalami interaksi seperti itu. Dialog tidak bisa dipaksakan dari luar, tetapi harus dibangun dari dalam komunitas dengan pendekatan yang tepat dan memahami konteks lokal.
”Pekerjaan perdamaian dan rekonsiliasi diakui sebagai kerja jangka panjang yang membutuhkan banyak energi, waktu, dan sumber daya. Ini bukan proses yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, melainkan memerlukan upaya berkelanjutan dan ketekunan,” pungkasnya.