Bagaimana Pemuda Merefleksikan Damai dan Memprosikan Religius Inklusi

Generasi muda tumbuh dengan perkembangan teknologi. Bahkan, generasi muda menggunakan media sebagai gerakan perubahan. Hal tersebut terjadi di berbagai negara. Dalam Plenary empat di Konferensi Internasional dan AMAN Assembly mengeksplorasi motivasi dan aspirasi pemuda dalam menggerakkan perubahan sosial dengan pendekatan anti kekerasan.

Dalam sesi bernama Open Mic “Message of Solidarity” yang menjadi ruang refleksi dan pesan damai untuk memprosikan religius pluralisme serta inklusi membuka dialog intergenerasional dan memberikan kesempatan bagi pemuda-pemuda untuk membagikan ide, gagasan termasuk harapan mereka dan pengalaman baik yang telah mereka lakukan dalam melakukan kerja-kerja anti kekerasan. Difasilitasi oleh Hisham Muhaimi, Project Coordinator Initiate.My. dan menghadirkan 10 pemuda dari negara-negara di Asia.

Pembicara pertama, Khalida Zia membuka dengan sebuah cerita dimana ia merasa sedih ketika salah seorang temannya menyampaikan bahwa ia pergi meninggalkan Aceh bukan karena keinginannya. Namun karena mereka merasa tidak diterima karena dia berbeda dan merupakan minoritas.

Pengalaman itu yang menggerakkan Zia dan kawan-kawannya di The Leader untuk menyediakan ruang bertumbuh bagi pemuda dimana mereka diterima, apapun latar belakangnya.  Baginya, Aceh harus menjadi rumah bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Tahun lalu, Zia dan kawan-kawan menginisiasi program “Aku Berani Cerita” atau dalam bahasa inggris “I Dare Tell my Story” di antara kaum muda Aceh yang berjuang dengan diskriminasi gender, kekerasan seksual,  inklusi keberagamaan dan rasisme. Zia mengajak kaum muda untuk berani bersuara tentang apa yang mereka perjuangkan.

Pembicara kedua, Muhammad Ayatullah Rahaman dari Nepal menyampaikan bahwa Non Violent Civil resistance adalah ruang gerak yang nyaman bagi anak muda. Nepal Unites Movement, menggerakkan anak-anak muda dan memberdayakan satu sama lain, tidak memandang etnisitas, suku, gender dan orientasi seksual. Menurutnya, teknologi bisa menjadi instrumen dalam membangun perdamaian karena ia membantu pemuda untuk berjejaring, memperluas jangkauan dengan kampanye dan menyebarkan pesan damai secara cepat dan masif melalyui berbagai situs dan patform.

Menegaskan  tentang pentingnya negara melibatkan anak muda dalam konteks berbicara tentang inklusi beragama, pembicara ketiga, Redi Saputro dari Peace Leader Indonesia telah bekerja di akar rumput sejak tahun 2014. Mendorong kolaborasi semua pihak, termasuk mereka yang bekerja di lokal, nasional dan global. Melalui Peace Leader, anak-anak muda interfaith ini mempromosikan nilai-nilai gender, anti kekerasan dan bullying serta mendorong toleransi di kalangan anak muda, tidak hanya di sekolah tapi juga di ruang digital.

Pembicara keempat, Haya Hareem menyuarakan tantangan yang dihadapi oleh perempuan Pakistan terkait dengan mindset, dimana perempuan hanya boleh belajar dengan kurikulum keagamaan dan tidak diperkenankan melakukan aktifitas sosial. Lima tahun lalu, Rehana memulai Al Hareem Centre dengan 4 perempuan dan saat ini berkembang menjadi 2000 perempuan. Mereka melakukan pemberdayaan, mendorong perempuan punya pendidikan tinggi termasuk memberikan pelatihan tentang bagaimana fatwa keagamaan dilahirkan. Haya juga bekerja untuk perempuan yang berada di dalam penjara melalui amal dengan menyalurkan kebutuhan dasar bagi mereka termasuk hygine kit.

Menceritakan Saroong Movement di Myanmar, pembicara kelima, Nadi Moe Htet menggaris bawahi bagaimana gerakan perempuan dengan pendekatan anti kekerasan dilakukan untuk menggerakkan perubahan. Mereka mengambil garis depan dalam protes anti-kudeta di Myanmar dengan menggantungkan sarung tradisional, pakaian dalam dan bahkan pembalut perempuan di jalan untuk menakuti para militer dan polisi yang percaya bahwa laki-laki yang berjalan di balik pakaian perempuan dapat menemui kesialan.

Pembicara keenam, Sageer dari Asian Humanity Foundation, mengeksplorasi bagaimana lembaganya melakukan pembanguan perdamaian dengan konteks keamanan insani di India Utara. Mereka mendorong pelaksanaan good governance, teknologi dan pendidikan, serta bekerjasama dengan sektor kesehatan. Dalam konteks pemuda, mereka memberdayakan pemuda, mengenalkan konsep ko-eksistensi dan promosi perdamaian melalui berbagai peningkatan kapasitas untuk menghindari konflik komunal.

Pembicara ketujuh, Fairoz Humayra Tanzim memulai dengan memberikan pernyataan bahwa Non Violence civil resistance bukanlah simbol kelemahan, namun ini adalah manifestasi dari kekuatan dan keinginan untuk tidak bergulat. Sebagai legacy dari Mahatma Gandhi dan Dr. Martin Luther. Baginya, interkonektivitas dan perkembangan teknologi digital menjadi alat yang sangat berguna dalam berjejaring dan berkomunikasi. Lebih lagi, ia memberikan kesempatan bersuara untuk mereka yang tidak didengar.

Gerakan anak muda adalah katalis perubahan sosial. Salah satu contohnya, adalah Gerakan yang dilakukan oleh pelajar pada tahun 2018 yang dilatarbelakangi oleh solidaritas atas meninggalnya 2 anak muda karena mismanagement sektor transpoertasi, yang kemudian meluas dan menuntut, mengadvokasi akuntabilitas serta  jaminan keamanaan di sektor transportasi.  Dalam hal ini sosial media memberikan peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat dan menggalang solidaritas dengan sangat cepat. Tahun 2019, lebih dari 300 anak muda terinspirasi dari gerakan global yang dimotori Gretta Turnberg, menuntut aksi nyata dan kebijakan pemerintah atas perubahan iklim termasuk hak mendapatkan udara bersih bagi seluruh warga negara.

Pembicara kedelapan, Yasmin Tohmeena, menginisiasi gerakan Peacebuilding in Pattani, bersama dengan teman-temannya “lari bersama sejauh 4 KM” di Pattani. Aksi tersebut  sebagai aksi simbolis dengan pendekatan non-kekerasan dan bentuk protes terhadap oposisi. Beberapa hari menjelang aksi, ia mendapatkan ancaman, menghadapi masalah keamanan data pribadi dan tidak mendapatkan hak untuk berbicara melalui media sosialnya.

Dua pembicara terakhir merupakan mahasiwa UIN Ar Raniry yang memberikan. Alliyul Himam, mengeksplorasi tentang pentingnya memorialisasi dalam konteks pemulihan paska konflik. Ia mengingatkan kita tentang beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang saat ini masih menunggu keadilan, Rumah Gedong hingga Pembakaran gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Banda Aceh. Baginya, masyarakat harus memonitoring kasus pelanggaran HAM dan menempatkan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk para korban sebagai hal utama. Di akhir pidatonya, Alliyul mengajak para generasi muda untuk mempertahankan perdamaian di Aceh meskipun tidak mudah.

Pembicara kesepuluh, Latifanny Yulanar mengelaborasi bagaimana pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan perdamaian dengan merefleksikan dalam konteks Aceh. Tidak hanya semasa konflik, namun juga dalam konteks pencegahan keberulangan konflik dan bahkan pemulihan. Baginya kolaborasi antar pemuda Aceh saat ini, meskipun bukan sebagai generasi yang terdampak langsung atas konflik, dalam berkontribusi untuk pemulihan demi perdamaian berkelanjutan penting didukung dan diberikan ruang.

Setelah sesi presentasi, fasilitator membuka sesi tanggapan kepada para peserta forum. Penanggap pertama dari Bangkok, menyampaikan tentang impresinya atas pidato anak muda Aceh yang mengklarifikasi tone negaif yang sering ia dengar tentang Aceh sebagai daerah paska konflik dan implementasi Sharia yang restriktif. Ia melihat secara langsung bagaimana interaksi pemuda dan orang-orang di Aceh, di department store, di ruang terbuka, yang mengindikasikan bahwa ternyata Aceh bukan lagi area konflik. Ia sangat senang mendengar bagaimana anak muda Aceh berkontribusi mempertahankan perdamaian melalui pengalaman yang dibagi oleh para pembicara.

Sebanyak 500 orang akan berkumpul dalam agenda Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi, 14-17 Oktober 2023. Agenda yang digelar selama empat hari tersebut, akan dihadiri perwakilan dari 20 negara di dunia. Mulai dari Afghanistan, Australia, Bangladesh, Burundi, India, Indonesia, Iran, Kenya, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Swedia, Thailand, United Kingdom dan Amerika Serikat. 

 

One response to “Bagaimana Pemuda Merefleksikan Damai dan Memprosikan Religius Inklusi

Leave a Reply

Your email address will not be published.