Jakarta – The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyoroti sejumlah isu perempuan dan keamanan dalam audiensi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof. Dr. Mohammad Mahfud, MD di Jakarta, Senin (22/01/2024).
Staf Design Monitoring & Evaluation (DME) AMAN Indonesia, Fina Nihayatul Mazziyyah mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk menjalankan Resolusi DK PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, melalui Peraturan Presiden No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Namun, sejumlah tantangan masih ditemui, seperti penanganan konflik sosial yang tidak tuntas, perspektif gender belum banyak terintegrasi di dalam operasi keamanan, hingga keterlibatan pemimpin lokal dalam melanggengkan diskriminasi pada kelompok minoritas.
Hal serupa juga terjadi dalam penanganan kasus terorisme, di mana perspektif gender tidak digunakan dalam perlindungan dan pemulihan korban. Layanan yang tidak berkelanjutan mengakibatkan pengabaian kebutuhan dan membuka peluang hambatan baru bagi korban. ”Oleh karena itu, penting bagi negara untuk melihat dimensi keamanan manusia lebih dalam dibandingkan sekadar keamanan teritori,” kata Fina.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam tersebut, 20 aktivis perempuan dan perwakilan dari Kalyanamitra, Kemitraan, Sekolah Perempuan Jakarta, Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), ICT Watch, Migrant Care, Jaringan Buruh Migran, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Yayasan Pulih, Mitra Perempuan, Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berspektif Gender Indonesia (APPHGI) dan AMAN Indonesia.
Ditegaskan juga sejumlah masukan kepada Menkopolhukam terkait keberpihakan pemerintah terhadap perempuan, khususnya dalam implementasi kebijakan yang berkaitan dengan isu kesehatan, pendidikan, penyediaan layanan dasar, inklusi, masyarakat adat, konflik, terorisme, ketenagakerjaan, lingkungan, dan migrasi.
Di akhir sesi, Menkopolhukam, Prof. Dr. Mohammad Mahfud, MD, merespon hal penting yang menjadi catatan terkait dengan pengambilan keputusan dan infrastruktur kebijakan di Indonesia. Diakui olehnya, sejumlah implementasi kebijakan masih lemah, termasuk pengaruh aspek politis dan aspek sosiologis dalam pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan.
Dalam kesempatan dirinya mencontohkan, kekosongan sejumlah peraturan pelaksana undang-undang, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berpengaruh pada implementasinya di lapangan. Atau sejumlah penyelesaian kasus intoleransi yang kental dipengaruhi aspek sosiologis.