AMAN Indonesia, WGWC dan Rahima Terbitkan Buku Saku

Proses deradikalisasi narapidana terorisme nampaknya tidak mudah. Hal itu dirasakan oleh para petugas lapas di Bandung. Para petugas, seringkali mendapatkan obrolan tentang tafsir sejumlah ayat Al-Quran yang berkaitan dengan ekstremis. Hal tersebut membuat para petugas gelisah. Para petugas lapas merasa tidak siap dengan obrolan tersebut.

Dari latarbelakang tersebut, Rahima, AMAN Indonesia dan WGWC membuat buku saku kontra narasi agama untuk para petugas lapas.  Dalam buku saku tersebut terdapat tiga pembahasan strategis. Pertama, pengetahuan petugas lapas untuk membedakan jenis-jenis napiter, dan cara napiter membangun kepercayaan dirinya terhadap petugas lapas, sehingga petugas lapas memiliki kemampuan menganalisa apakah mampu berdialog dengan napiter tersebut atau tidak.

Kedua pembahasan dari sisi ideologi menyasar isu-isu yang kerap diangkat oleh napiter, yakni tauhid, kafir, Islam kaffah, musyrik thagut, hijrah, jihad, dan tawasul. Ketiga dari sisi sikap untuk tidak mengkafirkan orang lain, menghormati sesama manusia, dan bergaul dengan non muslim.

Namun, terdapat beberapa hal yang diperlukan untuk melakukan pendekatan dengan para napiter. Hal tersebut disampaikan oleh Ulama Perempuan Simpul Rahima, Neng Hannah. Salah satunya yang diperlukan adalah pendekatan personal.

”Tujuan personal ini dapat membangun kepercayaan diri. pendekatan humanistik adalah pendekatan yang berfokus dengan memperlakukan sebagai teman pada umumnya. Yakni, dengan cara menempatkan napiter sebagai manusia,” ungkapnya dalam agenda WGWC, belum lama ini.

Petugas lapas perlu mendengarkan cerita pengalamannya sebagai manusia dan dengan membangun empatinya.  Misalnya kepada teroris laki-laki, petugas bisa mengingatkannya akan perannya sebagai ayah. Begitu juga kepada napiter perempuan mengingatkan, bagaimana  perannya sebagai. Serta mengaitkan perasaan napiter melihat anak yang ditinggal terlantar lantaran orang tua yang disergap polisi dan dipidana, atau meninggal karena bom bunuh diri.

Pendekatan orang dewasa juga perlu diajarkan. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan relasi yang setara agar bisa saling menghormati dan menghargai. Bahasa yang digunakan saat mengobrol juga dapat disesuaikan menggunakan bahasa-bahasa yang menimbulkan kesan akrab.

Tentunya, untuk membangun pertemanan petugas bisa juga merajutnya dengan membawa makanan kesukaan napiter. ”Hingga napiter terbuka dan mulai membahas terkait tindakan dan gerakan yang dilakukan bersama kelompoknya, baru secara perlahan memasuki kontra narasi,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.