Berkat KUPI, Saya Tahu Islam Ramah Perempuan Bukan Bualan

Sebagai perempuan dan muslim, saya berterima kasih atas kehangatan Islam yang diberikan oleh KUPI. Saya sangat bangga bisa hadir dan mengikuti rangkaian agendanya. Di KUPI, saya merasakan Islam yang tidak mendiskriminasi perempuan dengan umpatan ataupun ancaman dosa. Islam yang saya lihat dari KUPI adalah Islam yang ramah, bahkan melindungi perempuan dengan keputusan keagamaan dan gerakannya. 

Ternyata, kebanggaan ini tidak saya rasakan sendirian. Hal tersebut diungkap oleh University of Lyon France, Samia Kotele  dan Executive Director of Allamin Foundation for Peace and Development Nigeria,  Hamsatu Allamin. Keduanya menyebutkan hadir dalam KUPI II merupakan sebuah privilege. Hal tersebut disampaikan pada International Webinar – Dissemination on KUPI’s Fatwa and Recommendation, 15 Desember 2023, lalu. Dan itu, membuat saya semakin bangga. 

Dalam forum tersebut co-founder of Mobaderoon Building Network Abir Hajibrahim menyebutkan sejumlah negara yang berlatarbelakang Islam tidak memiliki waktu, konteks dan lingkungan pendukung seperti Indonesia. Kita semua mengetahui, negera-negara Timur-Tengah merupakan negara penutur bahasa Arab dan memiliki bahasa Al-Qur’an. 

Saya merasa KUPI  mengisi kekosongan fatwa agama atas berbagai permasalahan sosial khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Terutama dalam KUPI kedua, terdapat fatwa mengenai ekstremisme, pembiaran sampah, pemaksaan perkawinan, serta perlindungan jiwa perempuan. Dalam fatwa keagamaan atau bahtsul masail yang lain, seringkali tidak melibatkan perempuan, dan tidak mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai landasan fatwa. Dalam kenyataan tersebut, KUPI mampu melewati batasan. 

Setahun berlalu, fatwa dan rekomendasi KUPI II terus disosialisasikan. AMAN Indonesia sebagai bagian dari konsorsium gerakan KUPI, memfasilitasi sosialisasi fatwa dan rekomendasi KUPI secara global. Pesan kebaikan Islam dengan legitimasi fatwa, prinsip-prinsip mubadalah, ma’ruf, serta gerakan KUPI sangat perlu disebarkan secara internasional. 

Tidak Ada Islam tanpa Perempuan

Ada pesan penting dari KUPI yang patut menjadi pembelajaran bagi aktivis Muslim di manapun. Majelis Pembina KUPI Faqihuddin Abdul Qadir menjelaskan bahwa KUPI memposisikan perempuan sebagai subjek dalam perumusan fatwa. Artinya, perempuan tidak hanya menjadi objek dari keputusan keagamaan. Konsistensi KUPI dalam hal ini mengundang apresiasi dari peserta mancanegara. 

Association of British Muslims United Kingdom Paul Salahudin menyebut semua yang dilakukan dalam agenda KUPI II sebagai pemberdayaan perempuan dan mengakomodir perspektif mereka dalam pengambilan keputusan. Dari fatwa KUPI, saya membaca, wajah fatwa yang tadinya ditafsirkan berdasarkan ‘kebaikan’ dari kacamata laki-laki turut berubah. Karena perempuan bisa memberikan pertimbangan melalui konteks pengalaman dan kemaslahatan perempuan, keputusan yang dihasilkan tidak lagi bias gender.

Prinsip KUPI tersebut diejawantahkan dalam gerakan nyata, termasuk dalam advokasi regulasi negara yang melindungi perempuan. Fatwa mengenai kekerasan seksual dan kampanye yang dilakukan KUPI menjadi pendukung untuk mengadvokasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia. Pada tahun 2019-2020 ramai perbincangan miskonsepsi bahwa RUU PKS mendukung seks bebas, agenda Barat, dan berpotensi menghancurkan Islam dan generasi masa depan. Anggapan tersebut menghambat RUU PKS untuk disahkan.

Sebelum berdiskusi mengenai kekerasan seksual atau RUU PKS dengan kawan-kawan yang cenderung agamis, fatwa KUPI dan pendapat Ulama Perempuan menjadi referensi yang sering saya baca.  Pencapaian serupa juga ada dalam isu pernikahan anak. Fatwa KUPI pertama pada tahun 2017 menyuarakan perlindungan anak dari bahaya pernikahan anak. Fatwa ini turut mendukung kampanye anti pernikahan anak, hingga regulasi yang menaikkan batas usia minimum anak untuk menikah menjadi 19 tahun.

Gerakan KUPI yang sedemikian rupa juga menginspirasi aktivis dari Afrika, Shamsa Abubakar Fadil Mombasa (Women of Faith Network) untuk berkolaborasi. Shamsa bilang, “Saya siap bekerja sama dengan KUPI dan memastikan fatwa KUPI bisa tersampaikan di Afrika dengan melibatkan banyak pihak,” ucapnya sangat bersemangat membius seisi zoom.

Meskipun datang dari negara yang berbeda, konteks narasi Islam yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan juga diceritakan oleh pembicara. Rozana Isa dari Malaysia bertutur, mereka juga menghadapi narasi perintah ‘Islam’ untuk Female Genital Mutilation dengan kata lain sunat perempuan yang membahayakan kesehatan perempuan. Abir Hajibrahim juga menceritakan gerakan radikalisme di Syiria yang melibatkan perempuan. Jadi, saya pikir, fatwa KUPI sangat relevan untuk dibawa dan disebarkan secara global. Pola konservatisme agama yang disampaikan oleh pembicara dari luar negeri memiliki benang merah dengan konteks di Indonesia.

Dari webinar ini, saya mendapatkan pelajaran, bahwa Islam yang ramah perempuan bukan hanya angan siang bolong. KUPI telah membuktikannya. Mitra-mitra KUPI di berbagai negara juga. Meskipun melalui teks, kata-kata Imam Bukuru Elie dari Burundi membekas di ingatan saya. Dia menyebutkan, tidak ada Islam tanpa Perempuan. Maka keadilan untuk perempuan perlu diperjuangkan dan diraih, dimulai dari pemaknaan atas Islam dan dalil-dalilnya. 

Jika tafsir atas teks Islam menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan, kebaikan Islam tidak akan bisa dirasakan oleh seluruh umat. Maqashid syariah yang semestinya dirasakan oleh perempuan dan laki-laki tidak bisa tercapai. Maka pilihannya adalah menyebarkan narasi Islam yang mendukung keadilan gender, dan berkolaborasi lebih luas untuk mewujudkannya. Saya berdoa semoga semua pihak yang terlibat di KUPI diberi keluasan waktu dan kekuatan untuk terus menularkan semangat ini pada dunia. 

 

Tulisan ini ditulis oleh

Adzka Haniina, Staf Magang AMAN Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published.