Membongkar Prasangka Melalui Dialog Reflektif Terstruktur

Jakarta – Konflik horizontal di Poso yang terjadi selama 3 tahun (1993-2001) telah menyebabkan korban jiwa dan harta benda yang besar, serta trauma mendalam bagi masyarakat. Perjanjian Malino 2001 telah berhasil menghentikan kekerasan, namun masih menyisakan pekerjaan rumah untuk menjahit kembali relasi yang terkoyak.

Salah satu potret yang terdampak konflik adalah desa Malei Lage. Sebelum konflik, Malei Lage bermayoritas Kristen. Namun, saat konflik banyak warga Kristen yang mengungsi ke Tentana, sehingga saat ini desa tersebut didominasi oleh warga Muslim. Segregasi terlihat dari perkampungan yang terpisah, dengan warga Muslim tinggal di wilayah pesisir dan warga Kristen di daerah dataran tinggi.

Sebelum konflik, budaya mempertemukan kedua agama dalam harmoni. Namun, pasca konflik, budaya tersebut mulai berubah. Tradisi memasak dan makan bersama yang dulunya riuh keakraban tanpa sekat, kini mulai terbelah. Warga Muslim khawatir makanan yang dimasak oleh warga Kristen haram, sehingga mereka mulai memasak secara terpisah. Hal ini menimbulkan kekecewaan di pihak Kristen.

Situasi ini bila tidak disikapi bisa mengancam harmonisasi kehidupan bertetangga Muslim-Kristen di desa Malei Lage. Salah satu pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk membangun perdamaian adalah Dialog Reflektif Terstruktur (RSD). RSD adalah dialog yang diarahkan untuk membangun pengertian antar peserta terhadap isu tertentu, tidak terpaku pada dalil-dalil keagamaan. RSD dapat menjadi alternatif sebagai pembuka jalan perdamaian dalam upaya menjahit relasi yang sempat terkoyak. 

RSD di Malei Lage yang mempertemukan berbagai pihak terkait diharapkan bisa menjadi jembatan komunikasi yang dapat menghapus prasangka dan kecurigaan antar pihak. Dengan alasan tersebut, empat fasilitator menggelar RSD bersama aparat Desa Malei, Poso. Selain itu, dilibatkan juga Anggota Sekolah Perempuan Malei sebagai peserta dalam agenda tersebut. Salah satu fasilitator RSD Mega Priyanti mengungkapkan, jika kedua kelompok hanya perlu mendengarkan satu dengan lainnya. Serta saling memahami satu dengannya. 

“Dengan RSD, saya merasa warga yang terlibat bisa menghilangkan prasangka satu dengan lainnya. Pada peserta saling mendengarkan satu dengan lainnya dan memahami,” terangnya.

Paska agenda, terdapat salah satu sesi yang membahas tentang perasan dari masing-masing peserta yang menjadi peserta RSD. Salah satunya, Kepala Desa Markus Lasirimamenyampaikan bahwa RSD adalah pengetahuan baru yang sangat bermanfaat. ”Selama ini dialog yang dilakukan sering berujung pada perdebatan, justru tidak menghasilkan solusi,” terangnya. 

Namun dalam RSD ada kesepakatan komunikasi yang disepakati bersama, hal inilah yang membuat RSD menjadi berbeda dengan proses dialog yang lain. Dirinya menanggapi dialog yang biasa dilakukan, iasanya peserta selalu ingin didengarkan pendapatnya, kurang mendengarkan pendapat orang lain. Melalui RSD ini, semua peserta belajar utk mendengarkan hingga akhirnya memahami arti perbedaan Dan tumbuh empati. 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.