Unseen Threats, Unheard Voices: Menggali Konsep Keamanan Perempuan yang Berkembang di ASEAN

Jakarta –  Pada Juli, lalu, Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan WPS (Women, Peace and Security) Summit. Forum tersebut menyoroti pentingnya dialog tingkat tinggi untuk memajukan implementasi Rencana Tindakan Regional tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace, and Security) di wilayah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, dalam WPS Summit hadir pandangan dan rekomendasi yaitu pentingnya menggeser fokus dari keamanan tradisional ke keamanan manusia dalam konteks WPS. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diberi tantangan untuk memastikan keterkaitan dan keterpaduan antara Rencana Tindakan Regional WPS dengan berbagai kerangka kerja hak asasi manusia yang telah ada di ASEAN.

”Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dan keamanan mereka menjadi prioritas dalam berbagai konteks,” ungkapnya dalam agenda Expert Group Meeting on Women, Peace, and Security at the Side Event of ASEAN People Forum 2023 di Universitas Atmajaya, Minggu (3 September 2023).

Dalam agenda Expert Group Meeting on Women, Peace, and Security at the Side Event of ASEAN People Forum 2023, hadir 15 ahli yang menyoroti isu terkini dari agenda Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, baik yang hadir secara online atau offline. Mulai dari konflik Myanmar, kebebasan beragama, ekstremisme kekerasan, keamanan Siber hingga perubahan iklim. 

Dalam sambutannya, Ruby Kholifah menegaskan pentingnya Indonesia dalam memimpin ASEAN menuju peran yang lebih besar dalam memastikan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan perempuan di seluruh wilayah tersebut. Keberhasilan dalam mengintegrasikan isu-isu WPS dengan agenda-agenda lain di ASEAN akan menjadi tonggak penting dalam memajukan hak-hak perempuan di kawasan ini.

Country Coordinator JISRA, Mutiara Pasaribu menggarisbawahi bahwa suara perempuan di wilayah ini seringkali belum terdengar dan diabaikan, sementara tantangan dan ancaman yang ada semakin kompleks. ”Dalam konteks ini, konsep keamanan perempuan akan dianalisis ulang untuk memahami cara terbaik melindungi perempuan dalam wilayah ASEAN,” tekannya. 

Selain itu, Mutiara menjelaskan jika pertemuan ini sangat penting dan berfungsi sebagai forum diskusi dalam rangka memahami peran perempuan dalam menciptakan perdamaian dan keamanan di wilayah ASEAN. “JISRA sangat berperan dalam menyelenggarakan pertemuan ini dan berharap pertemuan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam dan solusi konkret terkait isu-isu tersebut,” tegasnya.

 

Diskusi kemudian dimulai dengan pemaparan empat orang ahli sebagai pemantik diskusi yaitu Direktur Gender Equality Network (GEN), May Sabe Phyu, SC WGWC, Debbie Affianty, Akademisi dari Universitas Padjajaran, Ifa Hanifah Misbach, Koordinator Keamanan Digital SAFEnet Indonesia, Imal. dan dimoderatori oleh Irine H. Gayatri, peneliti BRIN.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Gender Equality Network (GEN), May Sabe Phyu menyampaikan pandangannya tentang situasi perdamaian dan keamanan perempuan di ASEAN, dengan fokus pada krisis di Myanmar. Dia mengindikasikan bahwa situasi keamanan perempuan di Myanmar memburuk dengan cepat, dengan pengecilan ruang demokratis, peningkatan kekerasan berbasis gender.

”Bahkan, saat ini kekerasan seksual terkait konflik menjadi hambatan utama bagi partisipasi perempuan dalam politik di Myanmar. Saya khawatir terkait perlindungan dan kebutuhan perempuan yang semakin meningkat akibat menurunnya mekanisme keamanan dan ketidakadilan dalam sistem hukum,” terangnya.

Dalam kesempatan tersebut juga dirinya menjelaskan jika selama periode Januari hingga Juli 2023, May Sabe mencatat lebih dari 10 kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan di bawah usia 10 tahun yang pelakunya belum diadili. Organisasi mitra mereka juga mendokumentasikan lebih dari 100 kasus kekerasan seksual terkait konflik dan ribuan perempuan mengalami pemerkosaan dan pembunuhan.

May Sabe menekankan pentingnya ASEAN mengambil tindakan nyata dalam menangani situasi ini, termasuk pemecatan militer dari politik, pembentukan negara demokratis federal, dan penuntasan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dia juga menyerukan pembuatan rencana implementasi yang konkret dalam kerja sama dengan pemangku kepentingan Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan di ASEAN.

Selain itu, hadir pula Ifa Hanifah Misbach dari Universitas Padjadjaran (UNPAD). Dirinya menyampaikan keprihatinannya terkait intimidasi, pelecehan, dan kekerasan yang dialami akibat regulasi tentang penggunaan hijab di Indonesia. Dia menjelaskan bahwa dalam dua dekade terakhir, perempuan dan gadis di Indonesia telah dihadapkan pada tuntutan hukum dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengenakan pakaian yang dianggap sebagai pakaian Islam.

”Seperti rok panjang dan baju lengan panjang, sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk menerapkan hukum syariah Islam. Contoh ekstrem yang dia berikan adalah kasus seorang guru perempuan Muslim di sebuah sekolah menengah negara di Lamongan, Jawa Timur, yang memotong rambut 19 siswi perempuan. Hal ini diakibatkan oleh regulasi wajib berhijab,” terangnya.

Regulasi wajib berhijab ini telah memicu intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap anak-anak sekolah dan perempuan dewasa dengan lebih dari 1500 korban yang tercatat. Peraturan ini memiliki berbagai sanksi, termasuk pengurangan nilai siswa, tekanan dari guru senior, dan paksaan terhadap non-Muslim untuk mengenakan hijab. Ini menciptakan ekosistem represif yang merasuki kehidupan perempuan Muslim di Indonesia.

Selain itu, kondisi tersebut menekan mereka secara psikologis untuk mengenakan hijab, dan menciptakan stigma negatif bagi mereka yang memilih untuk tidak mengenakan hijab. ”Regulasi ini mengkriminalisasi perempuan yang tidak mengenakan hijab, mengasosiasikan tubuh perempuan dengan dosa, dan memberikan tekanan moral yang besar. Sehingga, penting memahami dampak psikologis dan sosial dari regulasi wajib berhijab ini dan perlunya melindungi kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia,” tegasnya.

Di tempat yang sama, SC WGWC, Debbie Affianty membahas isu perempuan dan terorisme dalam konteks Women Peace and Security (WPS). Dia menyoroti pergeseran ancaman terorisme dalam lima tahun terakhir di Indonesia, di mana peran perempuan dan anak-anak dalam terorisme semakin meningkat, terutama melalui pemanfaatan internet untuk rekrutmen dan radikalisasi daring. Debbie juga mengkritik pendekatan yang lebih fokus pada keamanan negara daripada keamanan manusia dalam konsep WPS, serta menyoroti perlunya mengintegrasikan peran perempuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan.

”Sehingga sangat penting menggandeng Indonesia, yang saat ini menjabat sebagai Ketua ASEAN, untuk lebih memprioritaskan penerapan konsep WPS dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan di kawasan tersebut,” ucapnya.

Upaya diusulkan mencakup pendirian sistem manajemen informasi terpadu, kolaborasi dengan korban terorisme dan tokoh agama, serta organisasi masyarakat sipil dalam rangka membentuk program ketahanan komunitas. Debbie juga menyoroti peran penting korban terorisme sebagai narator yang dapat memberikan kontra-narasi terhadap ideologi ekstremisme.

Dalam kesempatan tersebut juga diberikan waktu untuk mendengarkan penyampaian ahli lainnya. Seperti Koordinator Koalisi Anti-Gender-Based Violence, Dr. Adriana Venny, Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, Akademisi dari Universitas Thammasat Thailand, Dr. Amporn Marddent, Pendiri Grup Duay Jai,  Anchana Heemima, Perwakilan Alliance for Gender Inclusion in Peace Process (AGIPP), Kay Soe, Perwakilan dari Kamboja, Sotheavy, ALTSEAN Burma, Debby Stothard, Aktivis Rohingya, Nurhayati Sultan dan Nisa Ul Haqq Filipina, Yasmin Bushran Lao.

Dalam agenda tersebut, dihasilkan dua dua poin utama terkait dengan mekanisme keamanan perempuan di ASEAN. Pertama, pentingnya memiliki instrumen atau parameter indikator yang jelas yang dapat mengakomodasi berbagai isu. Termasuk konflik perbatasan dan represi oleh rezim negara tertentu. Hal ini memerlukan koordinasi yang berkelanjutan dan pemahaman bersama di antara negara-negara anggota ASEAN.

Kedua, pentingnya menciptakan platform bersama di bawah kepemimpinan ASEAN untuk mengangkat isu-isu yang selama ini diabaikan atau kurang diperhatikan. Ini mencerminkan kebutuhan untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang mungkin belum mendapat fokus yang cukup dalam konteks keamanan perempuan di ASEAN.

Sebagai penutup agenda tersebut, Direktur AMAN Indonesia Ruby Kholifah menegaskan sangat  penting bagi Indonesia untuk mendengarkan suara masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses setiap langkah dari pengembangan, implementasi, dan pemantauannya. ”Saya pikir tantangan besar bagi masyarakat sipil adalah bagaimana kita dapat berkontribusi pada pengembangan visi ASEAN setelah tahun 2025. Hasil dari diskusi ini akan dibuatkan sebuah rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah Indonesia,” pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.