Indonesia Roundtable Discussion tentang pencegahan kejahatan berat berbasis gender di Indonesia

The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia,  APPAP (Gender Working Group of the Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention) dan APCR2P (Asia Pacific Centre for the Responsibility) menyelenggarakan Indonesia Roundtable Discussion tentang pencegahan kejahatan berat berbasis gender di Indonesia pada 11 Februari 2022 secara daring. Diskusi berdurasi 2,5 jam ini membahas temuan dan rekomendasi laporan APPAP dan APCR2P pada Oktober 2021 tentang bagaimana cara mencegah kejahatan berat berbasis gender di seluruh wilayah Asia Pasifik yang berfokus pada 13 negara termasuk Indonesia. Peserta yang hadir memberikan tanggapan terdiri dari 16 perwakilan perempuan masyarakat sipil lokal dan nasional, ahli perdamaian dan keamanan, otoritas pemerintah terkait dan peneliti dan akademisi.

Acara dibuka dengan sambutan dari Ruby Kholifah (Sekjen AMAN Internasional) dan Nikki Marczak (APCR2P University of Queensland). Dilanjutkan dengan pemaparan ringkasan laporan oleh Louise Allen, konsutan gender APCR2P. Dalam paparannya, Louise menyampaikan kondisi terkini Indonesia dan menggarisbawahi beberapa hal baik diantaranya; perkembangan Indonesia yang telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional (RAN) kedua tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial 2020-2025; melakukan review CEDAW pada Oktober 2021; dan peran penting Indonesia dalam mempromosikan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan (women, peace and security) di level Internasional. Louise juga menyoroti beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi Indonesia, yaitu adanya lebih dari 400 kebijakan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak; kurangnya akuntabilitas pada angkatan bersenjata di Indonesia;  pelecehan pada individu LGBTQ+ oleh polisi; kekerasan domestik berlapis sejak awal pandemi; hingga meningkatnya retorika Islam kanan di media sosial.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari dua organisasi masyarakat sipil yang memberikan tanggapan atas temuan penelitian. Narasumber pertama menggaris bawahi tentang pentingnya Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma; pentingnya sosialisasi tentang instrumen HAM terutama untuk aparat keamanan; serta harmonisasi & singkronisasi regulasi, dan sosialisasi instrumen hukum yang sesuai dengan prinsip HAM  yang ada, seperti RAN P3AKS hingga level kabupaten/kota. Sementara narasumber kedua lebih banyak mengingatkan kembali tentang agensi perempuan dan isu-isu HAM yang masih kurang menjadi perhatian, seperti isu LGBT dan kelompok minoritas, hingga menguatnya politik identitas yang bisa mendorong terbentuknya kebijakan diskriminatif.

Di sisi lain, perwakilan pemerintah yang hadir mengapresiasi pertemuan ini. Mereka menggarisbawahi pentingnya sosialiasi, koordinasi dan singkronisasi untuk implementasi kebijakan berprinsip HAM yang sudah ada agar maksimal. Hal ini menjadi penting mengingat adanya temuan tentang lebih dari 400 kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak. Sesi diskusi selanjutnya lebih banyak mengeksplorasi kondisi terkini dan rekomendasi dari para ahli yang hadir tentang bagaimana memperkuat partisipasi perempuan dan kapasitas masyarakat sipil serta mengatasi dan mencegah kekerasan berbasis gender yang dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Pentingnya menggunakan pendekatan nir-kekerasan (soft approach), misalnya melalui budaya atau kearifan lokal yang ada maupun intervensi kurikulum dengan meningkatkan pengetahuan dasar tentang HAM pada masyarakat pada umumnya dan terutama kepada aparat keamanan, penegak hukum, hingga pemerintahan.
  2. Pentingnya monitoring kebijakan, termasuk meninjau kembali dan mengganti peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhdap gender tertentu.
  3. Membangun infrastruktur dan layanan untuk korban kekerasan seksual berbasis gender, terutama di wilayah terpencil. Mengingat ketika korban sulit mendapatkan layanan, maka berpotensi pada impunitas pelaku dan terjadinya kekerasan yang berulang.
  4. Mengembangkan indikator sistem peringatan dini (early warning system) dalam pencegahan kekerasan berbasis gender.
  5. Membangun kepemimpinan (leadership) di tataran pemerintahan dalam mengatasi dan mencegah kekerasan berbasis gender, termasuk memastikan pelaksanaan PUG sebagai prinsip, tidak lagi sebatas program.
  6. Perlunya negara memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan pembela HAM (Women Right Deffender)

 

Agenda ditutup dengan penyampaian rangkuman dan pemberian informasi tentang Konferensi tingkat Regional tentang Pencegahan Kejahatan Kekejaman berbasis Gender yang akan diselenggarakan di pertengahan akhir 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published.