ASEAN di Persimpangan Jalan: Antara Retorika dan Realita Integrasi Regional

Hari ASEAN yang diperingati setiap 8 Agustus bukan sekadar seremoni tahunan yang diisi dengan perayaan simbolis dan slogan manis. Ia adalah momen refleksi bersama, bagi negara anggota, pemimpin kawasan, dan warganya, untuk bertanya ulang, sejauh mana ASEAN telah mewujudkan janjinya sebagai komunitas yang solid, adil, dan berdaya saing? 

Sejak berdiri pada tahun 1967, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) memang berhasil menciptakan stabilitas kawasan yang relatif damai. Namun di balik kesan harmoni, terdapat persoalan mendalam terkait relevansi, efektivitas, dan arah masa depan organisasi ini.

 

Mimpi Integrasi, Realita Fragmentasi

Deklarasi Bangkok yang menjadi fondasi ASEAN mengedepankan kerjasama demi perdamaian, stabilitas, dan kemajuan ekonomi di tengah bayang-bayang Perang Dingin. Namun dalam praktiknya, prinsip non-intervensi dan musyawarah mufakat (konsensus), dua karakter khas yang disebut sebagai “ASEAN Way” justru sering menjadi penghambat. 

Alih-alih menjadi alat pemersatu, nilai-nilai ini kerap membuat ASEAN tampak ragu, lamban, dan tidak tegas dalam menghadapi persoalan besar yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, kudeta, atau represi politik, seperti yang terlihat jelas dalam kasus Myanmar pasca kudeta militer tahun 2021 (Caballero-Anthony, 2022).

Dalam situasi genting, pendekatan konsensus membuat ASEAN terlalu berhati-hati dan akhirnya kehilangan momentum. Negara-negara anggota, dengan latar belakang politik dan kepentingan yang sangat beragam, seringkali memilih diam demi menjaga hubungan baik, meskipun itu berarti membiarkan rakyat di negara tertentu menderita tanpa perlindungan.

 

Ekonomi Terintegrasi, Tapi Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu pencapaian ASEAN yang paling dibanggakan adalah pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang dimaksudkan untuk memperkuat integrasi ekonomi regional. MEA telah membuka ruang bagi pergerakan bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil. Di atas kertas, ini adalah langkah besar menuju integrasi ala Uni Eropa. Namun dalam kenyataannya, hasilnya tidak selalu seindah retorikanya.

MEA lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar dan investor, sementara pelaku ekonomi kecil seperti petani, nelayan, dan UMKM justru sulit bersaing dalam pasar terbuka. Bahkan buruh migran, yang menjadi tulang punggung pembangunan di beberapa negara ASEAN, kerap bekerja dalam kondisi yang rawan eksploitasi dan tidak terlindungi. 

Hal ini menunjukkan bahwa integrasi ekonomi yang tidak disertai perlindungan sosial hanya akan memperlebar ketimpangan, baik antar kelas sosial maupun antarnegara anggota.

Ketimpangan pembangunan juga menjadi tantangan nyata. Negara seperti Singapura dan Brunei jauh lebih maju dibandingkan Laos, Kamboja, atau Myanmar. Tanpa adanya mekanisme redistribusi dan dukungan struktural dari negara-negara yang lebih kuat, ASEAN berisiko menjadi pasar yang timpang, di mana yang kuat terus mendominasi dan yang lemah terus tertinggal.

 

Krisis Demokrasi dan Kelembaman Politik

ASEAN selama ini enggan terlibat dalam urusan politik domestik anggotanya, namun dalam konteks pelanggaran HAM atau krisis demokrasi, sikap ini justru menjadi beban moral. Krisis Myanmar menjadi contoh konkret. 

Walau ASEAN telah mengeluarkan Five-Point Consensus, dokumen tersebut tidak memiliki mekanisme pemaksaan dan tidak berhasil menghentikan kekerasan atau memulihkan demokrasi. Bahkan junta militer, dalam konteks Myanmar, tetap duduk dalam forum-forum ASEAN, seolah mendapatkan legitimasi de facto.

Caballero-Anthony (2022), seorang professor dan ekspert di bidang International Relations, menegaskan bahwa “ASEAN Way” saat ini tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan kawasan yang kompleks. Pendekatan berbasis kompromi tanpa akuntabilitas tidak bisa terus dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat. Dalam dunia yang makin terhubung dan diawasi, sikap diam bisa dimaknai sebagai pembiaran.

 

Membangun ASEAN yang Lebih Inklusif dan Responsif

Untuk tetap relevan, ASEAN harus berani bertransformasi dari organisasi diplomatik yang pasif menjadi aktor regional yang responsif. Prinsip non-intervensi perlu dievaluasi ulang, setidaknya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terbukti sistematis.

Lebih dari itu, keterlibatan masyarakat sipil, pemuda, perempuan, akademisi, dan pelaku usaha kecil harus diperluas. ASEAN tidak bisa hanya menjadi ruang diskusi elit birokratik. Ia harus membuka kanal partisipasi yang lebih luas dan nyata. Dalam jangka panjang, inisiatif pertukaran pelajar, platform budaya bersama, hingga media alternatif antarnegara ASEAN akan memperkuat kesadaran kolektif sebagai satu komunitas, bukan hanya kumpulan negara.

ASEAN belum gagal, namun juga belum sepenuhnya berhasil. Ia berdiri di persimpangan jalan, apakah akan terus menjadi klub diplomatik yang nyaman bagi elit penguasa, atau berani menjadi organisasi regional yang progresif dan berorientasi pada rakyat? Hari ASEAN semestinya dimaknai bukan sebagai seremonial belaka, tetapi sebagai panggilan untuk refleksi dan evaluasi.

Masyarakat Asia Tenggara tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin hidup damai, adil, dan bermartabat. Untuk itu, ASEAN harus menghidupkan kembali visinya, bukan sekadar dalam pernyataan pers atau konferensi puncak, tetapi dalam kebijakan nyata yang berpihak pada rakyatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *