Siaran Pers Aman Indonesia Merespon Penyangkalan Peristiwa Kekerasan Seksual Mei 1998

“Absennya Perspektif Korban dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Ancaman Terjadinya Kekerasan Berulang”

 

Jakarta, 12 Juni 2025 — The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyampaikan keprihatinan dan mengkritik pernyataan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998. Statement tersebut disampaikan ketika menjelaskan agenda pemerintah dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. 

Ditargetkan akan diluncurkan pada 17 Agustus 2025, penulisan ulang sejarah Indonesia dalam proses penyusunannya menyingkirkan beberapa fakta penting sejarah Indonesia yang berpotensi melemahkan upaya pemajuan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan di Indonesia. Kongres Perempuan Indonesia 1928, Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pembantaian Massal 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus), Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi, Tragedi Mei 1998, termasuk kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan etnis tionghoa. 

Laporan Komnas Perempuan bersama Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan, yang mayoritas dialami oleh perempuan etnis Tionghoa. Banyak di antaranya adalah korban pemerkosaan massal (gang rape) yang dilakukan secara brutal di depan umum, dan hingga kini, tidak pernah mendapatkan keadilan.

Namun, dua dekade lebih sejak reformasi, tidak satu pun rekomendasi TGPF dijalankan sepenuhnya oleh negara. Upaya menulis ulang sejarah hari ini berisiko mengabaikan suara dan pengalaman perempuan korban, yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses rekonsiliasi dan pemulihan yang adil. Alih-alih membangun kejujuran sejarah, dalih ‘rekonsiliasi’ atau ‘stabilitas nasional’ justru menutup ruang keadilan dan mengubur ingatan kolektif yang mestinya menjadi fondasi perubahan.

Kami menolak keras segala bentuk penulisan sejarah yang melupakan kekerasan seksual sebagai bagian integral dari tragedi bangsa.

Sejarah bukan milik penguasa. Sejarah adalah milik korban, dan tugas kita adalah memastikan suara mereka tidak dibungkam untuk kedua kalinya.

Oleh karena itu, AMAN Indonesia mendesak pemerintah untuk:

  • Menghentikan penulisan ulang sejarah Indonesia yang mengarah pada penyeragaman sejarah menjadi tunggal yang dibangun oleh kekuasaan, sehingga tak ada lagi suara kebenaran yang utuh, justru mengaburkan kebenaran dan menghilangkan jejak kekerasan, termasuk kekerasan seksual.  Rekonsiliasi sejati tidak lahir dari penghapusan jejak kekerasan, melainkan dari keberanian mengakui dan memulihkan.
  • Memastikan suara-suara rakyat didengar, bahwa pengalaman-pengalaman semua orang termasuk perempuan dihormati, dan bahwa kebenaran tentang masa lalu diungkapkan.
  • Mengakui dan Memasukan  Fakta Pelanggaran HAM ke dalam Sejarah Nasional
  • Sejarah tidak boleh dibersihkan dari luka. Negara wajib mencatat kekerasan seksual, penghilangan paksa, dan pembantaian sebagai bagian dari narasi resmi bangsa.
  • Melibatkan Korban dan Masyarakat Sipil dalam Penulisan Sejarah, untuk menghindari monopoli oleh negara atau elite politik semata.
  • Mendorong negara memfasilitasi pemulihan penuh, komprehensif dan jangka panjang seluruh korban pelanggaran HAM, termasuk kekerasan seksual 

Ingat: yang tidak tercatat, akan dihapus. Yang dihapus, akan dilupakan. Dan yang dilupakan, akan terulang.

Narahubung: Dwi Rubiyanti Kholifah, Direktur AMAN Indonesia (dwiruby@amanindonesia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *