“Ah, katanya kesetaraan? Masak tanding sama cowok aja ogah,” kata seorang teman laki-laki, separuh bercanda tapi terdengar serius.
Setiap 17 Agustus, balap karung selalu menjadi lomba favorit. Sederhana, asik, dan bisa bikin satu lapangan heboh. Tahun ini, aku dan beberapa sejawat lainnya juga ikut merayakan lomba Agustusan, mulai dari memasukkan paku ke botol, bermain air, hingga lomba balap karung. Awalnya seru-seru saja sampai muncul momen kecil yang bikin aku mikir, lalu menulis artikel ini.
Seorang teman perempuanku enggan bertanding dengan lawan laki-laki. Katanya, “Nggak mau ah lawan laki-laki, aku milih tanding bareng sesama perempuan aja.” Aku paham. secara fisik, laki-laki biasanya lebih kuat dan lebih cepat, jadi wajar kalau ia merasa kurang nyaman, karena menurutnya ini tidak apple to apple. Tapi salah satu teman laki-laki langsung nyeletuk, “Katanya mau setara. Kalau mau kesetaraan, ya harus siap lawan laki-laki juga dong, kesetaraan kok milih-milih.” Dengan nada bercanda.
Komentar itu bikin suasana agak canggung. Di satu sisi, ia ada benarnya, kesetaraan sering dipahami sebagai laki-laki dan perempuan diperlakukan sama rata. Tapi di sisi lain, aku melihat bahwa temanku bukan menolak kesetaraan, aku memahami keresahannya. Dia hanya ingin kompetisi yang adil.
Terlepas dari arena lomba tersebut, pertanyaan serupa juga sering muncul di ruang publik. “Katanya kesetaraan, kok ada gerbong kereta khusus perempuan?” “Katanya kesetaraan, kok parkir harus dibedain?” “Katanya kesetaraan, kok angkat galon aja nggak bisa?” Kalimat-kalimat ini akrab kita dengar, dan jujur saja, kadang membuat aku merenung, apakah benar kesetaraan itu berarti semua hal harus dilakukan sama persis, tanpa mempertimbangkan konteks, kebutuhan, dan ketidakadilan?
Memaknai Ulang Kesetaraan
Pelan-pelan aku ingat bahwa kesetaraan, dalam arti paling dasar, adalah soal hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama, bukan pemaksaan seragam. Badan PBB sendiri menekankan bahwa kesetaraan gender adalah kesetaraan hak, tanggung jawab, dan peluang bagi perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki. Hal tersebut fokus pada akses dan hasil, bukan pada menyamaratakan semua prosedur tanpa melihat konteks.
Kesetaraan juga tentang memberi ruang sesuai kebutuhan. Kalau ada perempuan yang nyaman ikut lomba melawan laki-laki, silakan. Tapi kalau ada yang memilih untuk main dengan sesama perempuan supaya merasa lebih lepas, itu juga bagian dari kesetaraan, yaitu hak untuk memilih tanpa dihakimi.
Sayangnya, sering kali orang terburu-buru menghakimi. Seakan-akan kalau perempuan menolak bertanding dengan laki-laki, berarti dia mundur selangkah dari semangat kesetaraan. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Mari kita memahami makna kesetaraan dalam konteks yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Gerbong khusus perempuan, misalnya, bukanlah bentuk privilege, ia adalah bentuk dari langkah proteksi darurat di tengah tingginya kasus pelecehan di transportasi publik. Data Komnas Perempuan bahkan mencatat bahwa transportasi umum masih menjadi salah satu ruang paling rawan bagi perempuan.
Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) juga menunjukkan skala kerentanan, sekitar separuh perempuan responden mengaku pernah mengalami pelecehan di transportasi umum. Jika ditarik ke tren tahunan, CATAHU 2024 menunjukkan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik (termasuk transportasi) tetap signifikan. Angka ini mempertegas peran penting kebijakan inklusif seperti gerbong khusus perempuan sebagai kebutuhan perlindungan yang mendesak dan konkret.
Parkir khusus perempuan juga lahir bukan karena asumsi bahwa perempuan lemah ataupun dimanja, melainkan soal aksesibilitas dan rasa aman di ruang publik yang kerap kali berisiko. Banyak perempuan merasa cemas ketika harus berjalan sendirian di basement parkir yang gelap atau ketika mencari kendaraan di area yang sepi.
Di beberapa negara maju seperti Jerman, aturan mewajibkan 10–30% ruang parkir khusus perempuan, yang dibuat lebih terang, lebih dekat pintu keluar untuk mencegah tindak kejahatan di area parkir, yang secara statistik sangat rawan. Sebuah survei internasional menunjukkan bahwa sekitar 7% kejahatan kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam garasi parkir, menjadikan desain ruang ini bukan sekadar fasilitas istimewa, tetapi kebutuhan perlindungan.
Bagaimana dengan ngangkat galon? Kesetaraan bukan berarti menutup mata pada perbedaan biologis. Rata-rata kondisi fisik laki-laki dan perempuan memang berbeda. Sejumlah riset fisiologi olahraga menunjukkan bahwa laki-laki umumnya memiliki massa otot sekitar 30–40% lebih besar dibanding perempuan, dengan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi.
Sehingga, kekuatan otot dan daya angkat beban perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan ini bukan untuk menunjukkan superioritas atau inferioritas, melainkan realitas biologis yang membuat kemampuan fisik rata-rata laki-laki dan perempuan tidak sepenuhnya sama.
Meminta bantuan untuk hal-hal fisik yang berat tidak membuat perempuan kurang setara, sama halnya dengan laki-laki yang tak otomatis kehilangan martabat ketika mengakui kelemahan di ranah lain, atau ketika ia mengekspresikan emosinya dengan cara menangis. Menangis, bagi laki-laki, seringkali dijadikan simbol kelemahan. Padahal, pada akhirnya, kesetaraan hadir ketika setiap orang bisa merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus membuktikan siapa yang paling kuat, dan tanpa kehilangan rasa hormat dan martabatnya sebagai manusia.
Sebuah Refleksi dari Sebuah Lomba
Momen kecil di lomba balap karung itu membuatku sadar, kadang kita masih keliru dalam menafsirkan kesetaraan. Kita terlalu fokus pada bentuk luarnya, untuk menyamaratakan segala hal, semua aturan harus seragam, sampai lupa esensinya.
Kesetaraan itu tidak memaksakan setiap individu untuk melakukan hal yang sama. Selebihnya, setiap individu harus diberi ruang untuk berpartisipasi dengan cara yang aman, adil, dan sesuai porsi kebutuhan masing-masing.
Sejak kapan kesetaraan diukur dari perlawanan antara laki-laki dan perempuan, lalu bisa dianggap setara? Kesetaraan terwujud saat laki-laki dan perempuan bisa merdeka untuk memilih, tanpa perlu takut dengan stigma dan konstruksi sosial di masyarakat.