Tahun 1998 menjadi titik balik sekaligus awal reformasi bagi Indonesia setelah melewati masa kegelapan yang membawa trauma besar. Sudah dua dekade lebih sejak Mei 1998, sebuah tragedi memilukan, salah satunya yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa.
Mereka mengalami kekerasan seksual secara brutal hingga penghilangan nyawa secara paksa. Keduanya merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang menyebabkan trauma mendalam. Namun, apakah keadilan sudah korban dapatkan? Justru, sampai saat ini kesaksian dan pernyataan korban masih dipertanyakan kebenarannya.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 52 kasus korban pemerkosaan. Lebih rinci mencatat 14 korban pemerkosaan dan penganiayaan, 10 korban penyerangan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Data ini sangat mungkin lebih banyak lagi, melihat banyaknya korban yang memilih bungkam dan tidak melapor. TGPF yang beroperasi di tahun 1998 menemukan beberapa temuan, salah satunya adalah upaya pengaburan fakta dan data yang bertujuan untuk menghapuskan bukti dan menumbuhkan keraguan di khalayak luas.
Data korban didapatkan berdasarkan laporan para pendamping seperti, dokter, psikolog, keluarga, bahkan kesaksian korban sendiri. Kekerasan seksual massal terjadi sebelum dan sesudah tragedi Mei 1998, termasuk kasus Ita Martadinata. Terdapat kerusuhan, penjarahan, kekerasan seksual, dan pembantaian yang sistematis. Adanya pengaburan fakta yang disengaja. Serta, pembungkaman korban dengan cara teror ancaman dan pembunuhan.
Seringkali perempuan dilibatkan dalam konflik, bukan sebagai agen perdamaian, tetapi sebagai alat propaganda konflik dan kepentingan politik, hal ini menandakan jika perempuan masih menjadi objek maskulinitas untuk menunjukkan dominasi kekuasaan. Selain itu, mereka menargetkan perempuan etnis minoritas untuk mengalihkan atensi massa pada pokok permasalahan utama.
Pola kekerasan yang seragam, dengan lokasi yang relatif memiliki ciri yang signifikan, menandakan jika kekerasan seksual massal yang terjadi bukan atas dasar ketidaksengajaan, melainkan rencana yang sudah terorganisir sistematis dijalankan untuk memenuhi kepentingan politik tertentu.
Tubuh perempuan dalam peristiwa ini dijadikan sebagai alat untuk melemahkan, mengintimidasi, dan menghancurkan kelompok atau etnis demi mendapatkan kekuasaan.
Sayangnya, narasi tersebut seringkali tenggelam. Misalnya dalam konteks tragedi pemerkosaan massal Mei 1998. Hal itu disebabkan karena adanya keraguan terhadap bukti dan data yang telah terkumpul. Tidak hanya itu, proses hukum tidak berjalan untuk menindak para pelaku yang terlibat, sehingga kasus ini dibiarkan tenggelam oleh waktu, bahkan terkesan sengaja dihapus dari sejarah. Berusaha menghapus ingatan kolektif masyarakat, membangkitkan kembali luka lama.
Pada kasus kekerasan seksual massal Mei 1998, korban tidak mendapatkan perlindungan dan pemulihan dari pemerintah sampai tuntas bahkan tidak ada pengadilan untuk para pelaku pelanggaran HAM berat. Puluhan tahun korban berjuang melawan rasa ketidakadilan, trauma, dan rasa tidak diakui lukanya oleh pihak yang seharusnya dapat memberikan ruang aman untuk para korban.
Terbentuknya Komnas Perempuan tidak semata-mata dapat mengusut, mengadili, dan memulihkan korban secara menyeluruh, negara hanya terkesan membuat lembaga sebagai bentuk formalitas, sehingga lebih mencerminkan sebagai bentuk dari resiliensi simbolik tanpa adanya jaminan negara untuk menindaklanjuti kasus ini.
Dalam upaya penghapusan sejarah oleh pihak-pihak tertentu, negara seharusnya dapat hadir untuk menyatakan pengakuan terhadap adanya kekerasan seksual massal yang terjadi pada 1998, negara bertanggung jawab penuh untuk mengungkap kebenaran, memberi ruang penyembuhan yang inklusif, dan negara harus menjamin jika kejadian kelam seperti ini tidak akan terulang di masa mendatang.
Pengungkapan Kebenaran Tragedi Mei 1998
Pemerintah tidak dapat membiarkan sejarah kelam tenggelam dalam ketidakadilan, mengungkap sejarah bukan berarti membawa kembali luka lama ke permukaan, akan tetapi, sebagai bentuk pengakuan terhadap para korban,dan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya keberulangan.
Berdasarkan rekomendasi TGPF, ada 8 hal yang penting menjadi konsen pemerintah yaitu:
- Melakukan penyidikan lanjutan bukan hanya sekadar penyelidikan pada kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998.
- Menindaklanjuti kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998.
- Memberikan jaminan keamanan dengan membentuk undang-undang perlindungan bagi korban dan saksi.
- Memberikan jaminan pemulihan dan kompensasi bagi seluruh korban.
- Menghapus segala bentuk premanisme di segala lingkungan dan di setiap profesi.
- Menyusun undang-undang tentang intelijen negara yang menegaskan tanggung jawab pokok, fungsi dan batas ruang lingkup operasi intelijen pada badan pemerintah atau negara yang berwenang.
- Membentuk mekanisme pendataan lanjutan yang dapat menampung proses pemutakhiran data-data tentang semua aspek yang menyangkut kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.
Tragedi Mei 1998 menjadi titik balik untuk meningkatkan kesadaran bahwa perempuan adalah manusia yang juga memiliki hak untuk hidup aman di negara tempat tinggalnya sendiri. Negara penting hadir menjamin keamanan dan kedamaian hidup perempuan sebagai bagian dari perlindungan Hak Asasi Manusia.