Merawat Ingatan: Kekerasan Seksual dalam Tragedi Mei 1998 Itu Fakta!

Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak Tragedi Mei 1998 mengguncang Indonesia, namun luka yang ditinggalkannya belum benar-benar sembuh—terutama bagi para perempuan korban kekerasan seksual. Mengakui kekerasan seksual dalam konflik bukan semata-mata untuk membuka luka lama, tetapi untuk memastikan keadilan dan mencegah terjadinya kekerasan berulang di masa depan. 

Kerusuhan Mei 1998 menjadi jejak kelam dalam transisi dari rezim Orde Baru menuju era Reformasi. Saat itu, Indonesia tidak hanya menghadapi krisis politik dan ekonomi, tetapi juga kekerasan seksual yang menimpa perempuan, terutama perempuan berdarah Tionghoa-Indonesia. 

Rasisme terhadap orang Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri hingga masa kolonial Belanda. Dalam politik pecah belahnya, Belanda memisahkan masyarakat ke dalam tiga lapisan: Eropa di atas, “Orang Asing Timur” (termasuk Arab dan Tionghoa) berada di tengah, dan pribumi berada di paling bawah. 

Orang Tionghoa sering dijadikan kambing hitam Belanda hingga memicu kebencian antara pribumi terhadap orang-orang Tionghoa—yang dianggap sebagai penindas. Narasi ini diperkuat oleh Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Di era itu, orang Tionghoa-Indonesia dilarang mempraktikkan budaya mereka secara terbuka. Perayaan Tahun Baru Imlek dan penggunaan huruf Tionghoa di tempat umum dilarang. Selain itu, orang Tionghoa-Indonesia dipaksa mengganti nama menjadi nama Indonesia. 

Puncaknya terjadi pada Mei 1998, ketika kerusuhan melanda Jakarta dan kota-kota lain. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran properti milik orang Tionghoa terjadi secara meluas, namun yang paling kejam adalah terjadinya pemerkosaan massal terhadap ibu dan anak perempuan Tionghoa-Indonesia.

Pasca lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden B. J. Habibie. Desakan masyarakat sipil untuk mengusut tragedi Mei 1998 direspons pemerintah dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998. TGPF mengonfirmasi adanya kekerasan seksual sistematis yang menargetkan perempuan Tionghoa selama kerusuhan terjadi.

Hasil investigasi TGPF mencatat 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dan penyerangan, 10 korban penyerangan atau pelecehan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual, tersebar di Jakarta, Medan, dan Surabaya. 

Sementara itu, Tim Relawan Kemanusiaan mencatat lebih dari 150 kasus kekerasan seksual di wilayah Jakarta dan sekitarnya, termasuk korban yang kehilangan nyawa. Meskipun jumlah kasus yang dilaporkan bervariasi, inti persoalannya bukan hanya soal angka. 

Satu kasus kekerasan seksual saja sudah merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, terlebih jika terjadi secara sistematis dan massal. Ketimpangan data tersebut sebenarnya menggambarkan betapa rumitnya mengungkap kebenaran di tengah trauma, ketakutan, minimnya perlindungan bagi korban, dan teror yang mendera tim relawan.

TGPF menemukan bahwa pemerkosaan massal terjadi secara brutal dengan pola yang sistematis–korban diperkosa oleh beberapa orang secara bergiliran atau dilakukan tepat di depan orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Pelaku umumnya merupakan sekelompok orang yang merusak infrastruktur atau fasilitas publik, menjarah harta benda, dan kemudian melakukan kekerasan seksual terhadap korban perempuan.

Peristiwa kelam itu sebagian terekam dalam arsip berita Kompas. Pada 7 Juli 1998, Komnas HAM membenarkan telah terjadi pemerkosaan yang sistematis, meluas, kejam, dan sadis selama kerusuhan Mei 1998 di seluruh ibu kota Jakarta. 

Yayasan Kalyanamitra juga banyak menerima pengaduan tentang kasus pemerkosaan yang terjadi pada 13-18 Mei 1998. Sayangnya, upaya pengumpulan fakta sempat terhambat karena jaringan telepon kantor mereka terputus secara misterius. Padahal, jaringan telepon di rumah dan kantor lainnya berfungsi normal.

Dalam situasi tersebut, pernyataan Presiden B. J. Habibie menjadi sangat penting. Secara terbuka, Habibie mengakui adanya laporan resmi tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998. Dalam sebuah video pendek yang dibagikan oleh Historia.id, disebutkan bahwa Habibie tidak hanya sekali mengecam kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998. 

Pertama, ia mengakuinya dalam konferensi pers yang disiarkan langsung oleh televisi pada 15 Juli 1998. Kemudian, ia kembali menegaskan sikapnya saat menyampaikan pidato kenegaraan pertamanya di hadapan DPR/MPR RI saat menjabat sebagai presiden. 

Dalam pidato tersebut, Habibie tidak hanya mengecam berbagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998, tetapi juga meminta maaf kepada rakyat atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Sikap tersebut tidak hanya sebagai pengakuan negara atas kekerasan berbasis gender dalam konflik, tetapi juga sebagai bukti valid dalam upaya pemulihan hak-hak korban. Sayangnya, meskipun telah diakui secara resmi oleh negara, hingga hari ini para penyintas masih menghadapi banyak hambatan untuk memperoleh keadilan. 

Mereka harus berhadapan dengan adanya stigma sosial, trauma mendalam, ancaman keselamatan, hingga penyangkalan atas tragedi pemerkosaan massal yang dialami. Maka dari itu, berbagai temuan dan pernyataan sikap yang ada dan terdokumentasikan berbasis pengalaman perempuan menjadi dasar penting dalam memahami sejarah Indonesia dengan lebih adil dan berpihak pada korban. 

 

Sumber:

Historia.id. (2025). Pidato Presiden B.J. Habibie yang Mengakui Kekerasan Seksual Mei 1998. https://youtube.com/shorts/TF-EYSVMhaY?si=NsRnUGAbFjYvX7An

Winata, V. (2024, December 31). Essay: Beyond cultural awareness. Insideindonesia.org.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *