“Korban yang langsung saya tangani sendiri ada 15 orang dan yang paling kecil berumur 11 tahun bernama Fransiska. Ia diperkosa di Tangerang bersamaan dengan Ibu dan kakaknya (dibunuh). Saat itu, saya datang dan mendampingi ke klinik tempat Fransiska dirawat sampai meninggal. Kemudian saya juga membantu perawat membersihkan alat kelaminnya yang rusak karena diperkosa dengan botol. Lalu saya bawa dia ke Cilincing untuk dikremasi dan abunya saya larung. Selain itu, saya juga menangani 2 mahasiswa Trisakti yang dianiaya dan dipotong payudara dan alat kelaminnya di jembatan depan kampus Trisakti. Keduanya adalah gadis Tionghoa. Kemudian dari Pondok Bambu ada kakak beradik. Saya juga menangani seorang Ibu Rumah Tangga yang diperkosa dan alat kelaminnya di rusak di taman Mall Cengkareng. Ada pula anak umur 13 tahun di daerah Kemayoran diperkosa saat pulang sekolah,” Wawancara Ita Fatia Nadia (Eks Anggota TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) yang tayang melalui akun YouTube Tempodotco pada 21/6/2025.
Kesaksian Ita hanyalah sebagian saja dari ratusan pemerkosaan yang terjadi selama kerusuhan di Jakarta pada bulan Mei 1998. Bagi para korban, pemerkosaan telah menghancurkan kehidupan mereka. Sementara bagi para saksi mata, pemerkosaan telah menjadi kenangan yang tak tertahankan, batas antara ‘melihat’ dan ‘mengalami’ menjadi kabur.
Melalui akun YouTube Tempodotco pada 21 Juni 2025, Sri Palupi—mantan anggota Tim Asistensi TGPF Mei 1998—mengungkapkan bahwa beberapa kelompok telah merancang kerusuhan ini jauh sebelumnya:
Jika dilihat dari polanya, antara kasus pemerkosaan Mei 1998 dan kerusuhannya itu sama. Jauh sebelum kerusuhan, ada pengkondisian massa yang dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah seorang pria tegap, berambut cepak, dan bersepatu boot datang ke komunitas-komunitas. Awalnya ia hanya berkenalan dengan para pemuda dan berbincang-bincang dengan mereka. Kemudian, pria tak dikenal itu mentraktir mereka makan, minum, dan rokok, sehingga mereka menjadi teman baik. Pria itu kemudian mengatakan: “Sebentar lagi kamu akan bisa menyentuh perempuan-perempuan yang selama ini tidak bisa kamu sentuh.”
Pria-pria tak dikenal itu juga mengkondisikan sopir-sopir taksi dan angkot bahwa ketika penumpang-penumpangnya itu dari etnis Tionghoa tidak usah bayar. “Nggak usah bayar, toh sebentar lagi kalian akan punah.”
Lebih aneh lagi, selama pasca kerusuhan, yang mendapatkan teror dan intimidasi hanya korban-korban pemerkosaan. Tujuannya supaya mereka tidak berbicara atau mengadu. Teror-teror itu juga menyasar kepada para pendamping, relawan, dan pelaku investigasi. Misalnya di kantor TGPF yang hampir setiap malam didatangi oleh orang bersenjata dan berseragam militer.
Mereka dengan terus terang meminta agar investigasi dihentikan dan selalu menggertak “Mana orang-orang para pembela Cina?!” Selain itu, teror juga dilakukan melalui foto-foto perempuan yang dibunuh dengan kejam dan ada pengaburan fakta pelaku kerusuhan adalah mahasiswa dan masyarakat. Padahal pelakunya bukan masyarakat. Bukan pula mahasiswa. Lantas, siapakah dalangnya? Tentu, kelompok yang paling diuntungkan pada masa itu.
Kerusuhan Mei 1998 itu dirancang dan sistematis, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu bukan lagi kerusuhan, tetapi pembantaian massal. Hamami Nata, Kapolda Metro Jaya saat itu mengatakan bahwa para pelaku pembakaran dan provokasi selama rusuh ini bukan orang-orang biasa, mereka adalah orang-orang terlatih. Saya melihat foto-fotonya, terlihat cara mereka melempar dan membakar.
Penyangkalan = Absennya Negara dalam Pengungkapan Kebenaran
Tragedi memilukan tersebut kini menjadi kontroversi karena kebenarannya disangkal dan fakta-faktanya diperdebatkan. Baru-baru ini, pernyataan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, kembali memicu perdebatan publik.
Dalam wawancara YouTube berjudul “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah,” yang disiarkan oleh IDN Times pada 10 Juni 2025, ia menyebutkan bahwa kekerasan seksual pada tragedi Mei 1998 hanya “rumor” yang membutuhkan bukti konkret. Ia mempertanyakan, “Apakah ada pemerkosaan massal? Benarkah ada? Siapa yang mengatakan itu? Tidak pernah ada buktinya. Itu hanya cerita. Kalau ada, tunjukkan. Apakah ada dalam buku sejarah? Tidak pernah ada.”
Pernyataan semacam ini sangat melukai korban karena merupakan bentuk manipulasi sejarah secara terang-terangan, penyangkalan terhadap pengalaman perempuan, dan ancaman serius terhadap upaya panjang pemenuhan hak-hak korban.
Pernyataan ini juga menunjukkan adanya agenda yang lebih luas untuk menulis ulang sejarah dengan membungkam laporan pelanggaran HAM berat, khususnya terhadap perempuan keturunan Tionghoa.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada masa Presiden B.J. Habibie menegaskan bahwa kerusuhan Mei 1998 terkait erat dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi.
Kerusuhan tersebut dipicu oleh serangkaian peristiwa penting, seperti Pemilu 1997, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR 1998, demonstrasi mahasiswa, krisis moneter, konflik internal di tubuh militer, dan penculikan mahasiswa Trisakti hingga puncaknya pada 13 hingga 15 Mei 1998.
Situasi tersebut memicu kejahatan ekonomi dan kemanusiaan, seperti penjarahan, PHK, penculikan aktivis, pembakaran fasilitas umum dan properti pribadi, serta kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa. Semua ini bukan sekadar cerita, melainkan fakta yang telah dicatat dan divalidasi dalam laporan TGPF.
Tidak mengherankan jika pernyataan tersebut memicu kemarahan publik karena dianggap tidak berempati kepada korban, memperkuat budaya impunitas pelanggaran HAM berat, terutama di tengah proses penulisan ulang sejarah Indonesia.
Lebih jauh, pernyataan tersebut dapat menjadi bagian dari re-victimization—yakni tindakan yang membuat korban kembali mengalami trauma psikologis dan sosial akibat pengabaian atau penyangkalan pengalaman sensitif yang pernah dialaminya. Sehingga terjadi kekerasan berulang yang akan memperlebar luka sejarah serta menghambat proses pemulihan dan keadilan bagi korban.
Sumber:
Purwanti, A., & Intan, N. (2025, June 17). Traces of Sexual Violence in the May 1998 Riots. Kompas.Com. https://www.kompas.id/artikel/en-jejak-kekerasan-seksual-dalam-kerusuhan-mei-1998-2
Sexual Violence in May 1998 in Indonesia is Not a Rumour: Reject the State’s Distortion and Erasure of New Order Crimes. (2025). AJAR. https://asia-ajar.org/press-release/sexual-violence-in-may-1998-in-indonesia-is-not-a-rumour-reject-the-states-distortion-and-erasure-of-new-order-crimes/
Wawancara di Youtube Tempodotco. (2025). Fakta-fakta Tragedi Pemerkosaan Massal Mei 1998 yang Disangkal Fadli Zon. https://www.youtube.com/watch?v=P8eDn7U_KfI&t=3323s
Ya Allah !!!