Narasi sejarah tak pernah netral. Selalu ada seleksi, siapa yang layak dikenang atau siapa yang harus disisihkan. Sejarah yang kita pelajari seringkali bicara tentang kemenangan, kekuatan, dan persatuan demi memperkuat citra maju di mata khalayak.
Pengalaman yang dianggap mengganggu stabilitas dan termasuk isu yang sensitif seperti kekerasan seksual kerap diabaikan dan disembunyikan. Bahkan, pengalaman perempuan seringkali tidak dicatat atau hanya muncul sebagai catatan pinggiran dalam sejarah nasional. Akibatnya, ingatan kolektif bangsa terbentuk tanpa mengakui pengalaman diversitas perempuan.
Istilah “pemerkosaan massal” yang digunakan untuk menggambarkan kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa, justru disangkal kebenarannya, termasuk dalam agenda penulisan ulang sejarah Indonesia.
Penyangkalan ini memicu kemarahan publik. Penulisan ulang sejarah yang seharusnya menjadi agenda pemulihan bagi para penyintas perempuan, justru memperlihatkan adanya kepentingan tertentu dan rentan melanggengkan trauma dan kekerasan berulang. Melihat situasi ini, mengapa pengalaman perempuan seringkali tidak didengar?
Potensi Kekerasan Berulang pada Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Proyek penulisan ulang sejarah yang diusung menekankan pada perspektif Indonesia-sentris dan tone yang positif. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional melalui narasi yang seragam. Wacana ini mencerminkan maksud pemerintah untuk memperkuat identitas nasional melalui penyatuan narasi.
Kepentingan untuk menajamkan tone positif juga menunjukkan ada tujuan samar yang membatasi analisis kritis. Pada akhirnya, penulisan ulang sejarah hanya akan berujung pada versi narasi yang menguntungkan kelompok tertentu saja.
Selain itu, hal tersebut justru kontraproduktif terhadap penyembuhan kolektif. Jika dilihat dari konteksnya, tragedi 1998 tidak hanya berbicara soal “amuk massa” atas krisis ekonomi dan ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru.
Lebih ekstrim lagi, kekerasan sistematis tersusun, termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa. Sayangnya, narasi tersebut seolah kabur dalam memetakan siapa yang terlibat, siapa yang bertanggungjawab, dan bagaimana kekerasan dibiarkan terjadi. Konsekuensinya, absennya pengakuan dan penegakan hukum atas terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi justru abai terhadap pemenuhan hak-hak korban yang berpotensi terjadinya kekerasan berulang, bahkan memperkuat impunitas.
Pengabaian kekerasan terhadap perempuan bukan tanpa pola. Hal ini telah banyak dibahas dalam studi trauma. Seorang psikiater Amerika, Judith Herman dalam karyanya, “Trauma and Recovery” (1992), menekankan bahwa penderitaan korban tidak akan mendapat tempat di ruang publik karena kesaksian para korban bertentangan dengan kepentingan institusi yang berkuasa.
Dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik dan transisi kekuasaan, negara cenderung memilih menyusun narasi yang berfokus pada persatuan dan perdamaian, daripada membuka sejarah kelam. Maka, kepentingan ini rentan menyisihkan penyintas perempuan dari ingatan kolektif dan menghasilkan narasi sejarah yang tidak inklusif.
Pengalaman Perempuan Terpinggirkan
Narasi sejarah seringkali dibangun dengan menajamkan semangat heroik dan nasionalisme. Luka fisik yang dialami laki-laki dianggap sebagai simbol kepahlawanan. Namun, narasi utama yang diusung tidak menampung kenyataan pahit bahwa ada luka yang dialami perempuan. Glorifikasi citra heroik dan kemenangan dalam narasi sejarah belum tentu berbicara soal keadilan sosial.
Dalam konteks tragedi Mei 1998, fakta bahwa kekerasan seksual terjadi secara sistematis, ditargetkan pada etnis tertentu, dan berlangsung di tengah transisi politik, membuat pengalaman perempuan sulit diterima dalam narasi kemenangan Reformasi. Bahkan, sekalipun sudah ada pengakuan resmi dari pemerintahan masa tersebut, kini justru fakta dibiaskan.
Penelitian Winarnita (2011) menggarisbawahi bahwa luka perempuan dalam tragedi 1998 menjadi “event at the limit”, yaitu peristiwa yang terlalu ekstrem untuk diakomodasi dalam wacana nasional.
Hal ini karena peristiwa tersebut dapat menantang identitas nasional dan moral ketika berbicara tentang HAM, gender, tubuh, dan etnisitas. Akibatnya, peristiwa pemerkosaan massal dipinggirkan sebagai anomali, sisi gelap yang tidak nyaman sebagai topik perbincangan.
Dalam sistem patriarki, pengalaman dan suara perempuan seringkali terpinggirkan. Mereka dianggap lebih emosional dan cenderung menggunakan perasaan. Suara perempuan juga dianggap membawa potensi hukum dan politik yang serius karena menyimpan tudingan terhadap pelaku pelanggar HAM. Hal tersebut dapat mengguncang kestabilan yang hendak dicapai dalam narasi sejarah yang utuh.
Terlebih, persoalan kekerasan seksual juga seringkali dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak relevan untuk ruang publik. Padahal, kekerasan seksual itu sendiri juga menjadi alat kuasa untuk menundukkan dan mengontrol suara perempuan.
Penyangkalan realita “massal” pada polemik saat ini juga menimbulkan kecurigaan adanya pemutihan, upaya untuk membersihkan narasi sejarah dari kekerasan sistemik yang ekstrim dan menghindari tanggung jawab hukum dan politik terhadap korban. Lantas, apakah kita akan diam saja? Tentu tidak.