Sepekan ini rasanya di kepalaku hanya ada dua hal yang berkelindan terus menerus. Yang pertama adalah tentang “Bagaimana bisa Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) menjadi sebuah taktik perang?”Kedua, “Tidak mungkin tanpa sebab, tiba-tiba muncul Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB. Apakah ada benang merah yang menghubungkan dua hal ini?”
Berangkat dari dua pertanyaan yang terus menerus muncul di kepalaku, akhirnya aku menemukan sebuah artikel yang diterbitkan oleh Uti Possidetis: Journal of International Law. Artikel dalam jurnal yang ditulis oleh Indah Ardhita Udit, Novianti, dan Rahayu Repindowaty Harahap dari Fakultas Hukum Universitas Jambi itu berjudul “Kekerasan Seksual sebagai Taktik Perang Kongo: Antara Impunitas Hukum Nasional dan Pemberlakuan Statuta Roma” benar-benar menjadi jawaban atas dua pertanyaan yang bercokol di kepalaku sepekan ini.
KBGS sebagai Taktik Perang: Studi Kasus Kongo
Diana Milillo, seorang Profesor Psikologi di Nassau Community College pernah mengatakan bahwa selama berabad-abad, pemerkosaan terhadap perempuan telah digunakan sebagai taktik perang untuk memajukan politik, ekonomi, sosial, atau agama satu kelompok atas kelompok lainnya. Hal ini karena pemerkosaan massal yang sistematis menghancurkan perempuan secara individu dan menghancurkan tatanan keluarga dan komunitas.
Republik Kongo merdeka pada 1960, dengan pemimpin pertamanya Patrice Lumumba. Pemerintahan Lumumba dihadapkan pada tantangan besar, termasuk ketidakpuasan regional, konflik etnis, serta adanya bentuk campur tangan asing. Pembunuhan Lumumba dan pengangkatan Mobutu Sese Seko sebagai presiden mengarah pada rezim otoriter yang berlangsung selama tiga dekade.
Di bawah kepemimpinan Mobutu, korupsi merajalela, dan negara semakin terpuruk, menambah ketidakpuasan rakyat. Dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Garuda Dalam Resolusi Konflik di Republik Demokratik Kongo” yang ditulis oleh Yogi Priastanto, Agus Subagyo, dan Yohanes Sulaiman, dijelaskan pada 1990-an terjadi konflik antara etnis Tutsi dan Hutu yang memperebutkan kekuasaan dan sumber daya.
Saat konflik itu terjadi, kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Laurent Desire Kabila berupaya menggulingkan pemerintahan presiden Mobutu Sese Seko. Singkat cerita, kelompok pemberontak berhasil dan mengantarkan Kabila menjadi Presiden Kongo selanjutnya.
Forces Armées Zaïroses (FAZ) atau Tentara Nasional Zaire (Sebelum berganti nama menjadi Republik Demokratik Kongo) akhirnya memimpin dengan pendekatan kekerasan. KBGS menyebar secara sistematis untuk menciptakan teror dan mempengaruhi keadaan psikologis masyarakat, utamanya pihak lawan.
Para tentara berupaya saling mengungguli lawan dengan melakukan KBGS sebagai taktik perang. Mereka memasukkan benda-benda ke genital korban yang notabenenya adalah perempuan, seperti tongkat, botol, pisang, tongkat kayu yang dilumuri cabai atau lada, hingga laras senjata api. Bukan hanya itu saja, bahkan komandan mereka seringkali menjadikan pemerkosaan terhadap perempuan sebagai tawaran hadiah bagi pasukannya.
Sungguh biadab! Bagaimana mungkin ada manusia sekeji itu dalam memperlakukan perempuan?! Melihat situasi tersebut, dunia lantas ambil sikap.
Bagaimana Hukum Merespon Konflik Kongo?
International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional, tepatnya pada Pasal 8 Ayat (2) Huruf (b) menjelaskan bahwa KBGS sebagai taktik perang di Kongo merupakan pelanggaran HAM berat.
Hal ini dikarenakan mereka telah melakukan kejahatan berupa pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, dan lainnya yang dilakukan oleh pihak yang sedang berkonflik.
Konvensi Jenewa yang merupakan bagian dari Hukum Internasional dan dikenal dengan Hukum Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata juga menyoroti bahwa KBGS sebagai taktik perang di Kongo adalah pelanggaran hukum internasional.
Sayangnya, KBGS di Kongo tidak dapat diproses oleh ICC karena baru dapat memproses kasus yang terjadi setelah 1 Juli 2002. Sedangkan perang Kongo 1 dan 2 terjadi sebelum adanya ICC. Sehingga, KBGS di Kongo hanya dapat dihukumi dengan hukum nasional negaranya saja. Berawal dari sinilah, praktik impunitas di Kongo mulai meningkat.
Sistem Pencegahan Konflik yang Kurang Efektif hingga Adopsi Resolusi 1325 DK PBB
Pasca kejadian di Kongo, masyarakat internasional mulai menyadari pentingnya mencegah KBGS dalam konteks konflik terbuka ataupun tidak. Masyarakat internasional juga bersepakat bahwa KBGS tidak lagi dianggap sebagai collateral damage (kerusakan tambahan seperti kematian, cedera, atau kerusakan lain yang tidak sengaja terjadi) pasca perang.
Instrumen hukum lama, seperti Lieber Code 1863, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II 1977 yang lebih dulu mengatur larangan praktik KBGS dalam perang hingga dua pengadilan internasional seperti Nuremberg Tribunal 1945 dan Tokyo Tribunal 1946 yang sayangnya tidak independen dan netral.
Ditambah dengan Statuta ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) yang dikeluarkan oleh DK PBB (Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa) untuk merespons kejahatan KBGS akibat perang di Yugoslavia dan Rwanda dengan menyatakan bahwa pemerkosaan adalah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, semua sistem pencegahan konflik ini, dianggap kurang efektif. Karena dinyatakan masih belum cukup untuk menangani KBGS pada masa perang, DK PBB mengeluarkan Resolusi 1325 pada 31 Oktober 2000.
Sebuah Resolusi yang diadopsi dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 untuk mewujudkan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Women’s Right is Human Right.