Menulis ulang sejarah bukan berarti memanipulasi masa lalu, melainkan membuka ruang bagi kebenaran yang selama ini disembunyikan. Selain itu, sejarah bukan kumpulan fakta mati, melainkan hasil pilihan. Siapa yang ditampilkan, siapa yang dihapus, siapa yang dibiarkan tak bersuara. Bukankah demikian?
Dari kesadaran tersebut, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) lahir. Dideklarasikan pada 19 Mei 2025 di Jakarta melalui pembacaan manifesto publik. Gerakan ini dipimpin oleh Marzuki Darusman dan melibatkan tokoh-tokoh seperti Asvi Warman Adam, Sulistyowati Irianto, Usman Hamid, serta puluhan sejarawan, penyintas, dan aktivis HAM.
AKSI hadir bukan untuk membalas narasi lama dengan narasi baru, tapi untuk memperluas ruang sejarah agar lebih setara, lebih adil, dan lebih menyeluruh.
Bagi banyak orang, sejarah terasa seperti pelajaran sekolah yang membosankan, menghafal sejumlah peristiwa, tanggal kejadian, nama tokoh, dan pertempuran. Namun, sejarah sejatinya adalah tubuh dari memori kolektif. Ia hidup, membentuk cara kita memandang masa kini, dan memengaruhi arah masa depan.
Sayangnya, sejarah Indonesia penuh dengan pengaburan. Peristiwa 1965, misalnya, hingga kini masih menjadi ruang gelap yang dipenuhi stigma, ketakutan, dan kebisuan. Banyak orang kehilangan anggota keluarganya tanpa tahu pasti alasan dan prosesnya. Para penyintas dipinggirkan, dan narasi resmi negara hanya memberi satu versi yang menguntungkan penguasa.
Padahal, seperti dikatakan oleh sejarawan Joan Wallach Scott, “Sejarah adalah tempat terjadinya kontestasi kekuasaan, termasuk kekuasaan atas makna dan identitas.” Di sinilah perlawanan AKSI menjadi penting karena ia berusaha mengembalikan sejarah yang berpihak kepada korban.
Sejak awal berdirinya, AKSI aktif melakukan kampanye publik tentang pentingnya keterbukaan sejarah, terutama menyangkut sejarah pelanggaran HAM masa lalu yang selama ini kerap diabaikan.
AKSI juga mendorong perubahan dalam kurikulum pendidikan sejarah agar lebih inklusif, dengan melibatkan pengalaman perempuan, para korban, dan kelompok rentan lainnya, sehingga narasi sejarah tidak bersifat bias atau eksklusif.
Selain itu, AKSI mengembangkan riset sejarah berbasis komunitas. Tujuannya adalah memastikan bahwa narasi sejarah tidak semata-mata datang dari pusat kekuasaan, tetapi juga tumbuh dari akar rumput kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian dari upaya menjaga memori kolektif bangsa, AKSI melakukan pengarsipan kesaksian para korban dan penyintas. Bagi mereka, ini bukan hanya dokumentasi, melainkan bentuk penghormatan terhadap kebenaran yang selama ini dibungkam.
Tak kalah penting, AKSI rutin menyelenggarakan diskusi dan lokakarya lintas generasi. Melalui ruang-ruang ini, anak-anak muda diajak tidak hanya untuk mengenang trauma, tetapi juga untuk mewarisi keberanian bersuara dan melanjutkan perjuangan keadilan sejarah.
Kemudian, satu hal yang kerap dilupakan dalam narasi besar sejarah Indonesia adalah peran perempuan. Padahal, dalam banyak konflik dan masa krisis, perempuan bukan hanya korban. Mereka juga penyintas, penjaga ingatan, dan juru damai di tengah kekacauan.
AKSI secara sadar memberi ruang pada narasi perempuan. Mereka bekerja sama dengan komunitas janda korban 65, anak-anak penyintas, dan perempuan pembela HAM untuk menyusun ulang sejarah dari sisi yang jarang dibicarakan.
Kisah tentang seorang ibu yang kehilangan suaminya karena stigmatisasi politik. Tentang perempuan muda yang dipenjara tanpa proses hukum karena keluarganya dianggap “bermasalah.” Tentang anak-anak yang tumbuh tanpa akta lahir karena keluarganya dicap pengkhianat negara.
Semua kisah ini menjadi bagian penting dari kerja AKSI, karena mereka percaya bahwa tanpa menghadirkan suara perempuan, sejarah kita akan terus timpang.
AKSI tidak berhenti di arsip dan narasi. Mereka juga terlibat aktif dalam advokasi kebijakan publik. Salah satunya dengan mendorong pengesahan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lebih inklusif dan tidak mengabaikan hak korban.
Lebih dari itu, AKSI bekerja membangun ekosistem literasi sejarah di berbagai daerah, dari forum guru sejarah yang kritis, hingga proyek seni dan dokumenter yang melibatkan anak-anak muda.
Mengapa ini semua penting?
Karena sejarah tidak pernah mati. Ia hidup di dalam cara kita mempercayai negara, melihat satu sama lain, bahkan mendidik anak-anak kita. Kalau sejarah kita terus dibungkam, maka kita akan terus mewarisi narasi tanpa daya pulih, yang memadamkan empati, mengikis kepercayaan, dan mengaburkan harapan bersama.
“Truth is the first step toward reconciliation. Without it, peace is an illusion,” kata Graca Machel, aktivis perempuan asal Mozambik yang dikenal luas karena perjuangannya membela hak perempuan dan anak.
Kutipan ini sangat relevan bagi kita. Tanpa keterbukaan sejarah, kita hanya membangun perdamaian di atas pasir.
Keep in mind! Menulis ulang sejarah bukan berarti menghapus luka lama, tapi menyempurnakan kisah agar lebih jujur, adil, dan manusiawi. AKSI mengajak kita semua, sebagai warga negara, sebagai pembaca, sebagai sesama manusia, untuk tidak diam ketika ada yang dibungkam
Karena sejatinya, kita semua adalah bagian dari sejarah dan sejarah yang benar adalah sejarah yang terbuka, menyembuhkan, dan memberi ruang bagi semua suara.
Oh iya, jika kamu merasa pernah belajar sejarah yang membingungkan, atau merasa ada yang ganjil dari narasi resmi yang kamu baca dulu, mungkin inilah saatnya bertanya ulang. AKSI hadir sebagai jawaban atas kegelisahan itu.