Di tengah hiruk pikuk akhir tahun, 31 Desember 2024, AMAN Indonesia bersama FSH UIN Ar-Raniry berkolaborasi mengadakan WPS Lecturing Goes to Campus dengan tema “Peran Perempuan Perdamaian Aceh mendorong Advokasi WPS” melalui ruang online zoom. Sebanyak 27 partisipan menghadiri diskusi berasal dari mahasiswa dan dosen, baik dari UIN Ar Raniry maupun kampus lain di luar Aceh. Sebelum pembukaan, seluruh peserta menyaksikan video WPS Lecturing yang dipublikasikan oleh AMAN Indonesia melalui akun Youtube She Builds Peace Indonesia. Di dalam video tersebut, Ruby Kholifah (Contry Representative AMAN Indonesia) menjelaskan sejarah serta beberapa konsep kunci Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325.
WPS Lecturing Vol. 5 ini dilaksanakan bersama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry pada tanggal 31 Desember 2024 melalui zoom meeting. Pembicara pada agenda ini adalah Suraiya Kamaruzzaman (Co-Founder Flower Aceh) dan Mumtazinur (Dosen FSH UIN Ar-Raniry). Sedangkan Melly Masni (Dosen FISIP UIN Ar-Raniry) berperan sebagai moderator. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad selaku Dekan FSH UIN Ar-Raniry menyampaikan welcoming remarks. Agenda ini dihadiri oleh 27 peserta yang terdiri dari 10 laki-laki dan 17 perempuan. Peserta beragam mulai dari mahasiswa dan dosen UIN Ar-Raniry serta civitas akademika kampus lain.
Agenda dibuka oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad selaku Dekan FSH UIN Ar-Raniry. Kamaruzzaman mengapresiasi Civitas Akademik yang terlibat bersedia meluangkan energi dan waktu di tengah kesibukan akademik dan libur akhir tahun. Aceh sudah memperingati 20 tahun Tsunami dan 19 tahun MoU Helsinki di tahun 2024. Maka, menurut Kamaruzzaman, perbincangan mengenai tema WPS sangat relevan dan penting. Apalagi bersama para praktisi dan pelaku sejarahnya langsung, Suraiya Kamaruzzaman (Co-Founder Flower Aceh).
Dalam forum diskusi sekitar 2 jam, ada beberapa poin yang disampaikan oleh Suraiya Kamaruzzaman dan Mumtazinur (Dosen FSH UIN Ar-Raniry) sebagai narasumber. Pertama, Suraiya berbagi bahwa sebelum Resolusi DK PBB 1325 disahkan, ratusan perempuan Aceh sudah berkumpul dan menyerukan perdamaian dengan cara-cara yang nir-kekerasan. Tak hanya menyerukan, mereka telah melakukan berbagai dialog untuk mengakhiri perang di level akar rumput.
“Nah sebenarnya yang menarik kalau bicara resolusi PPB 1325, ini bukan sekedar untuk mendorong supaya perempuan diakui perannya pas ke 2000. Tapi munculnya resolusi PPB 2325 ini justru juga pengakuan terhadap kerja-kerja perempuan sebelumnya. ”
Pelaksanaan kongres tersebut menghadapi banyak tantangan dan ancaman dari sesama warga Aceh yang ingin referendum. Namun, perempuan Aceh memilih menyuarakan damai. Di saat banyak laki-laki masih sibuk dengan wacana dan praktik kekerasan melalui perang, perempuan sudah sibuk dengan wacana Aceh yang damai, dengan suasana yang lebih aman dan nyaman untuk anak-anak menempuh pendidikan.
Kedua, Suraiya menekankan pengakuan PBB terkait perkosaan yang digunakan sebagai senjata perang, bukan hanya dampak perang. Maka, pencegahan, pelaporan, investigasi, hingga proses peradilan dan perlindungan perlu melibatkan perempuan serta memperhatikan kode etik terkait pendampingan korban. Suraiya menceritakan kisah seorang korban perkosaan pada masa konflik yang pernah dibawa ke Pengadilan dengan cara-cara yang tidak sensitif pada kebutuhan korban bahkan menghasilkan putusan tiga bulan penjara bagi pelaku dari TNI. Restitusi yang dibebankan pada pelaku juga minim yakni Rp 50.000/bulan (yang hanya ditunaikan sejumlah Rp 250.000).
Ketiga, agensi perempuan Aceh memecah kebisuan masyarakat. Di saat berita terkait konflik tidak menjadi wacana publik, dua perempuan yang kehilangan suaminya, menyampaikan hal tersebut secara terbuka dalam konferensi nasional. Kedua perempuan tersebut serta Farida, salah satu pendamping juga menghadapi represi atas keberaniannya bersuara. Selain itu, Suraiya bersama Khairani berorasi di Sidang Perempuan PBB, meminta dukungan negara-negara dunia untuk penghentian perang di Aceh. Meski perempuan berkontribusi besar, namun, dalam MoU Helsinki belum ada komitmen untuk pelibatan perempuan dalam resolusi konflik.
Keempat, perempuan memiliki potensi naluriah untuk menjadi juru damai. Mumtazinur mengutip beberapa riset, bahwa perempuan dekat sekali dengan sifat-sifat feminin seperti nurturing dan empati, karena memiliki rahim sebagai sumber kehidupan. Sehingga, melibatkan perempuan sebagai bagian penting dari peace process menjadi penting. Namun, Mumtazinur menekankan bahwa tidak selalu perempuan inheren dengan peaceful.
Kelima, perdamaian tidak hanya ketidaan perang, namun terjaminnya kehidupan masyarakat dengan aman. Mumtazinur memaparkan perbedaan perdamaian positif dan negatif menurut Johan Galtung. Perdamaian positif tidak hanya mengandalkan ketiadaan perang, namun kondisi ketika masyarakat telah bisa mengakses kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan, partisipasi perempuan, serta berbagai kebutuhan lain.
Keenam, Mumtazinur menawarkan Velvet Triangle sebagai model advokasi WPS. Di dalam gambaran Power point yang ia presentasikan, terdapat 3 unsur penting: Pemerintah, Masyarakat Sipil (termasuk Akademisi), serta sektor swasta. Sebagai akademisi, ia menekankan penting melakukan riset dan publikasi terkait tema WPS, serta mainstreaming pembahasan WPS di pembelajaran, baik sesuai dengan kurikulum maupun di luar.
“Mungkin masiswa ingin menulis belum menemukan topik -topik untuk penelitian skripsi dan lain sebagainya itu bisa mungkin bisa memulai dari mengambil topik -topik atau isu -isu seputar woman peace and security baik dalam konteks Aceh sebagai topik -topik dalam penelitian nanti. Jadi tidak lagi mengambil pada isu -isu yang sudah cukup umum atau kebijakan misalnyang mengambil soal partai politik misalnya dan lain sebagainya.”
Selain itu, Mumtazinur menekankan penguatan komunitas dan jaringan dari kampus. Sehingga, civitas akademik selalu ter-update dengan isu sosial terkini. Ia mengapresiasi UIN Ar-Raniry yang memiliki komunitas ini seperti Duta Gender, yang bisa dijadikan ruang untuk mempromosikan isu WPS.
WPS Lecturing ini menjadi gerbang baru pengantar kolaborasi jangka panjang antara AMAN Indonesia dan UIN Ar-Raniry dalam mendukung agenda WPS khususnya di tingkat lokal Aceh. Karena mendukung kepemimpinan perempuan, partisipasi, perlindungan, dan keadilan merupakan bagian penting dari upaya membangun perdamaian.