Mengurai Kisah Maya Safira: Perjuangan, Keberagaman, dan Harapan Di Sulawesi Tengah

Senyumnya merekah saat saya menyapa melalui layar komputer. Kali ini, Kami bertemu melalui zoom. Untung saja, teknologi semakin berkembang dan mendekatkan jarak yang jauh. Seperti biasa, kerudungnya tidak terlalu rapat menutup pada bagian depan rambut. Khas seperti ibu-ibu lainnya. Menggunakan kerudung paris motif bunga yang tidak terlalu lebar dan ditambah atasan blues berwarna kuning tidak terlalu cerah. Senyumnya merekah dan renyah saat kami bertatap satu dengan lainnya. Kami sudah sering bertemu, selalu ada tawa dan lelucon yang hadir ketika kami bertemu. Maya Safira, begitu nama lengkapnya. 

Rambut hitamnya makin sedikit terlihat dibandingkan rambut putihnya. Kerut di wajahnya sudah mulai terlihat di bagian bawah mata, kening dan sedikit di pipi tapi senyumnya sangat lebar. Usianya sudah menua tapi tidak membuat semangat hidupnya untuk pemberdayaan perempuan padam. Saya menambahkan sapaan ‘Kak’ pada bagian depan namanya, kak Maya. Begitu, sapaan yang biasa saya dan teman-teman buat. Saya sudah mengenal Kak Maya sejak 2020. Kak Maya menjadi bagian penting di Libu Perempuan, partner sekaligus mitra AMAN Indonesia. 

Tahun lalu, saya bertemu secara langsung dengannya dalam agenda Kongres Sekolah Perempuan Perdamaian di Poso. Kak Maya hadir dan menemani Kongres Sekolah Perempuan selama empat hari. Kak Maya juga memberikan pandangan yang lebih luas terkait kepemimpinan perempuan bagi Sekolah Perempuan Perdamaian. Sedikit cerita tentang Sekolah Perempuan Perdamaian. AMAN Indonesia meletakan Sekolah Perempuan sebagai inkubator kepemimpinan perempuan telah mendorong pada rantai  perubahan baik di level individu, relasi, struktural dan kultural.

Tumbuh dengan Keluarga yang Beragam 

”Kau sehat, Dek?” tanyanya dengan logat orang-orang sulawesi sebelum memulai wawancara. 

Pertanyaan yang biasa, tapi rasanya sedikit terharu. Aku menjawab, “Sehat, Kak”. Kami tiba-tiba tertawa bersama. Saya mengingat saat-saat kami berada di Palu, tahun lalu. Kami bercerita berbagi hal satu sama lain. Sedikit banyaknya, saya sudah mengetahui Kak Maya sejak kebersamaan di Palu. Sejak kecil, dirinya tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi keberagaman. Kakek dari ibu merupakan Opsir (pendeta) di Gereja Bala Keselamatan. Garis keturunan ayahnya masih memiliki kekerabatan dengan Habib Idrus  Bin Salim Al-Jufri atau biasa disebut Guru Tua Pendiri Alkhairaat di Palu. Pengasuhnya saat kecil beragama kristen. 

Hidup dengan berbagai latar belakang agama tampaknya sudah menjadi hal biasa bagi Kak Maya. Setiap natal dan tahun baru, Kak maya selalu berkunjung pada sanak-saudaranya dan merayakan natal bersama. Berbagi makanan satu antara muslim dan kristen, menjadi hal yang biasa juga baginya. 

”Dulu, saya tidak tahu jika itu tentang keberagaman. Baru dewasa saya mengetahui hal itu. Oh… itu tentang keberagaman,” ucapnya sambil tertawa.

Semasa kecil, Kak Maya hanya teringat betapa orangtuanya sangat ‘galak’ dengan waktu solat. Solat subuh, orangtuanya selalu membangunkannya dengan berbagai cara. Terkadang, orangtuanya sangat marah jika dia sulit bangun. Sesekali juga dipukul. Orangtuanya selalu berpesan, jangan meninggalkan ibadah. Itu pun yang dia ajarkan kepada anak semata wayangnya. 

Kak Maya menceritakan tentang aktivitas semasa kuliah di Universitas Alkhairaat, Palu. Semasa kuliah, dirinya menjadi aktivis kampus. Selesai kuliah, dia mempertebal sisi kemanusiaannya dengan masuk Solidaritas Perempuan di Palu. Dunianya mendekatkan dengan partai dan politisi. Hingga akhirnya, Kak Maya menjadi anggota Partai Golkar.  

(Maya Safira sebelah kanan menggunakan kerudung orange tua sedang menjadi peserta refreshment RSD yang diselenggarakan oleh AMAN Indonesia 2023, lalu) 

Lambat laun, dia merasa partai beringin tersebut merasa banyak berubah. Hingga akhirnya, Partai Nasdem mulai ekspansi di Palu. sejumlah aktivis perempuan mulai membangun Partai Nasdem, termasuk dirinya. Pada 2019, Kak maya juga menjadi ketua Bapilu Partai Nasdem di Palu. Bahkan, sempat menjadi sekretaris perempuan partai nasdem. Hingga akhirnya, sebelum pemilu legislatif 2019, Kak Maya memantapkan diri mencalonkan diri sebagai calon legislatif perempuan. Nomor urutnya pun mentereng di Partai Nasdem, Nomor 2. Sudah pasti, nomor yang diprioritasnya.

Namun, petaka tidak bisa dihindari pada 17 April 2019. Kak Maya kalah suara, hilang sebanyak 900 suara. Harusnya dia memiliki suara sebanyak 1.100 suara. Nyatanya, dia hanya memiliki 200 suara. Dirinya kalah dari orang berpengaruh di Palu. Ada rasa dikhianati dan kecewa di saat itu. Caleg perempuan seringkali memiliki tantangan tersendiri. Bukan dalam kapasitas. 

”Dari survei Poltreking, suara saya sebanyak 1.100 suara. Jelas saya akan menang, nyatanya saya ditanyakan kalah saat itu,” ucapannya. 

Saya mengumpulkan pertanyaan sambil berharap Kak Maya bisa menjawab, ”Kakak mau mencalonkan diri (mendaftar legislatif) lagi?” 

Suasana hening dalam wawancara sejenak. Dia menjawab, ”Kalau disebut trauma rasanya tidak. Tapi, saya saya butuh waktu untuk menyembuhkan semua itu.” 

Ada perasaan yang ditransfer darinya kepada saya. Rasa sedihnya masih terasa, walau sudah 5 tahun berlalu. Kecewa memang bisa sembuh, tapi butuh waktu. Saya berusaha memahami kondisi tersebut. Pada 2019 menjadi tahun petaka bagi Kak Maya. Tahun petaka sekaligus kehidupan kedua. Itu yang tepat digambarkan untuk Kak Maya pada 2019. 

April 2019, dinyatakan kalah legislatif. Desember 2019, dirinya bercerai dengan suaminya. Kenyataan lainnya yang harus Kak Maya hadapi. ”Rasanya hanya Tuhan yang saya miliki saat itu. Saya pasrah di tahun itu,” tegasnya.  

Penyintas Bencana, Libu Perempuan dan Memperkuat Kelompok Perempuan

Ada kenyataan yang tidak terelakan di Palu pada 2018. Terdapat gempa, tsunami dan likuifaksi yang meluluh-lantahkan Palu. Semua orang kebingungan dan takut saat itu. Palu tidak pernah terkena bencana. Kali itu, adalah bencana besar yang harus diterima oleh warga Palu. Selain bencana, ada banyak kenyataan lainnya yang harus diterima. 

Ada 33 kasus perkawinan anak di camp pengungsian. Di saat yang bersamaan, angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak terus meningkat. Di sisi lain, rumah aman pemerintah pun tidak dapat digunakan. Ada banyak kegamangan di tengah bencana. Libu menyadari harus ada yang dilakukan untuk perlindungan korban yang dijadikan rujukan sementara. LIBU juga memiliki enam titik tenda ramah perempuan dan anak di Palu, Sigi dan Donggala. 

Rumah Kak Maya terdampak bencana likuifaksi di Palu. Saat bencana, kebutuhan khusus untuk perempuan dan anak tidak pernah dipikirkan. Hingga akhirnya, Kak Maya harus berhutang ke toko sebesar kurang lebih Rp 1 juta untuk mencukupi kebutuhan anak dan perempuan di pengungsian. Mulai dari susu anak, pembalut, popok dan lainnya. Seminggu berlalu, Kak Maya bertemu dengan Kak Dewi Rana dan langsung bergabung dengan Libu Perempuan. 

Kak Maya mulai membantu para perempuan dan anak di pengungsian. Di waktu yang sama, sebagai korban bencana, Kak Maya menjadikan Libu Perempuan sebagai tempat pemulihan traumanya. Dirinya bertemu dengan banyak orang dan mampu mengubah dirinya. Satu hal yang menjadi kunci proses pemulihannya adalah berpikir positif. Sejak saat itu, Kak Maya terus membantu para perempuan-perempuan lainnya yang membutuhkan bantuan dan mulai melakukan pemberdayaan.

Lagi-lagi, ada hal yang tidak bisa terprediksi saat bencana. Penyebaran paham ekstremisme berkembang di camp pengungsian. Banyak kelompok ekstremis agama memanfaatkan kondisi tersebut untuk menyebarkan paham mereka melalui bantuan sosial kepada pengungsi. Paham ekstremisme menyebar luas kepada anak muda. Saat ini, paham tersebut menyebar luas di perguruan tinggi di Palu. 

Namun, bagaimanapun Sulawesi Tengah adalah wilayah dengan kohesi sosial yang kuat. Sebesar apapun diterjang ajaran ekstremisme, masyarakat sekitar tetap membantu satu dengan lainnya, walau berbeda keyakinan. Ada cerita menarik dan nampaknya tidak pernah terdengar ceritanya di media-media mainstream. 

(Bersambung..)

Anda bisa membaca kisah Maya Safira selanjutnya dalam buku “Perempuan-Perempuan Penggerak Perdamaian” yang diterbitkan oleh Fatayat NU Jawa Barat bersama JISRA pada Desember 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published.