Sekitar 2 jam sebelum matahari terbenam, Sabtu, 31 Agustus 2024. Kala itu, saya mengikuti Workshop Desa Damai Berkelanjutan yang diadakan oleh AMAN Indonesia. Roswin Wuri bersama Hadija Andriani dan Niswawati Ma’ruf merupakan tim dari Desa Malei, Poso. Seperti tim lainnya, mereka membuat mahakarya berupa Peta Desa sebagai praktik dari Participatory Rural Appraisal (PRA). Saya dan Neny, salah satu kawan di AMAN belum sempat mendengarkan presentasi Wuri di saat sesi ‘coffee shop’ karena keterbatasan waktu. Dengan agak malu, kami memohon pada Wuri untuk berkenan mempresentasikannya khusus untuk kami. Wuri setuju. Kami tersenyum lega dan spontan bertepuk tangan.
Peta itu memenuhi selembar kertas plano. Di bagian utara, ada gambaran laut dan dua kapal. Ada pula pantai yang lengkap dengan pohon kelapanya. Sedangkan sebelah utara, nampak ada gambar dedaunan yang memenuhi dari sudut satu hingga lainnya. Di ujung sebelah kiri, terlihat ada keterangan dari legenda peta. Tak lupa, di bawahnya ada keterangan luas wilayah dan jumlah penduduk Malei. Wuri, Hadija, dan Niswa sangat teliti membuatnya. Setiap rumah diberikan legenda kotak berwarna oranye.
Wuri memulai presentasinya. Saya membuka mata dan telinga lebar-lebar. Wuri menunjukkan, daerah pesisir diisi oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan bagian Utara, berisi masyarakat yang beragama Kristen. Kedua area ini hampir terbagi rata. Ruang publik seperti sekolah dan rumah ibadah juga terbagi di area masing-masing.
Pemisahan seperti ini jamak terlihat di Poso, khususnya setelah kejadian konflik Poso tahun 2000. Pasca penandatanganan perjanjian damai/perjanjian Malino, banyak masyarakat yang berpindah tempat tinggal. Mereka tercerabut dari kampung halamannya, dan sampai kini tidak pernah kembali. Semakin banyak kampung yang homogen. Ruang interaksi yang tadinya hadir sehari-hari jauh berkurang drastis. Segregasi terjadi.
Wuri menunjukkan, di mana tempat Sekolah Perempuan Perdamaian Malei biasa berkumpul. Sekolah Perempuan Perdamaian, sebuah organisasi perempuan yang menjadi ruang afirmatif dan perjumpaan antar perempuan Muslim dan Kristen di Malei. Rumah tersebut dipilih karena dianggap strategis, di tengah-tengah area Malei.
Dekat Namun Berjarak: Malei Pasca Konflik
Wuri bersama ibu-ibu di Sekolah Perempuan Perdamaian resah dengan kondisi di Malei, Poso. Saat Sekolah Perempuan mengadakan agenda kelas reguler bergantian di rumah anggota, mereka merasa tidak nyaman. Makanan yang disajikan oleh tuan rumah yang beragama Kristen cenderung tidak dimakan oleh anggota Muslim yang hadir. Seakan perbedaan titah agama mengenai larangan memakan babi menjadi alasan besar sekaligus penghalang.
Hal ini juga terjadi saat ada undangan pernikahan. Osiana beberapa kali menghadiri undangan ke Malei juga mengamatinya langsung. Bagaimana hadirin yang beragama Islam hanya hadir dengan cepat dan segera pulang, tanpa menyentuh satupun makanan yang disediakan. Padahal, tuan rumah sudah mengantisipasi dengan alat masak yang terpisah dan dimasak oleh tukang masak beragama Islam.
Kondisi ini disebut oleh Johan Galtung dengan Perdamaian Negatif. Yakni perdamaian yang dimaknai dengan ketiadaan konflik terbuka di masyarakat, namun interaksi yang ada amat terbatas. Kondisi perdamaian negatif sering didorong oleh pemisahan antar pihak yang berkonflik. Perdamaian negatif kerap bersifat pesimistis. Meskipun tidak ada konflik terbuka, masyarakat dibayangi ketakutan atas pecahnya konflik kembali.
Padahal, Poso punya kearifan lokal yang disebut Molimbu. Molimbu merupakan kegiatan makan bersama di mana seluruh warga makan bersama serta saling berbagi makanan. Tradisi ini dulunya dilakukan setelah panen, atau perayaan tertentu, sebagai ekspresi rasa syukur. Dalam tradisi di suku-suku Kabupaten Poso, makan bersama ini selalu dilakukan setiap tahunnya di semua desa terutama sebelum kon flik Poso terjadi. Pasca konflik, Molimbu tidak lagi masif dilakukan, hanya sebagian saja yang tetap menjalankan. Di Malei misalnya, meskipun warga berkumpul dalam agenda Molimbu, sebagian tetap enggan menyentuh hidangan. Molimbu tidak lagi mempererat rasa percaya antar masyarakat. Tahun ini, Molimbu diadakan pada tingkat kabupaten sebagai bagian dari Festival Danau Poso: Spirit of Molimbu. (https://fdp.posokab.go.id/kegiatan)
Beberapa keluarga juga tidak kembali ke Malei setelah mengungsi, yang belum diketahui sebab pastinya apa. Melihat fenomena ini, Wuri tidak hanya berpangku tangan. Mereka duduk bersama dan memikirkan alternatif terdekat yang bisa dilakukan. Wuri menggandeng serta Pendeta yang sama-sama tergabung dalam Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Osiana. Mereka bertekad untuk kembali membangun perdamaian di Poso pasca konflik sekitar 20 tahun lalu.
Keterangan: Osi tengah menyampaikan presentasi dalam agenda Refreshment of RSD Facillitator, 2023. Sumber: Dok. AMAN Indonesia
Konflik Poso dan Titik Balik Perjuangan
Kerusuhan Poso merupakan konflik yang terjadi pada rentang 1998-2001 di Poso. Pada mulanya, konflik ini dipicu dari motif ekonomi, kemudian dengan banyaknya simpang siur kabar, konflik membesar menjadi konflik antar agama. Ribuan orang menjadi korban jiwa. Tak heran, konflik ini memberikan trauma mendalam bagi warga Poso.
Wuri salah satunya. Setelah konflik, ia ketakutan setiap mendengar nama yang bernuansa Islam. Seperti Muhammad, Ghufron, Khalifah, dan lainnya. Wuri merasa gemetar dan sulit memulai percakapan dengan perempuan berhijab. Ia takut, bahwa mereka mungkin tidak bisa menerima Wuri sebagai orang yang berbeda. Bahkan, sejak konflik tersebut, tak lagi ia bertukar kabar dengan sahabat kecilnya.
Sampai pada suatu momen, dalam pelatihan yang diinisiasi AMAN Indonesia. Untuk pertama kalinya setelah konflik, ia duduk satu ruangan dengan perempuan muslim dalam agenda yang intim. Tadinya, mereka duduk terpisah. Sebelah kiri orang Kristen, sebelah kanan orang Muslim. Namun, Ghufron dari AMAN Indonesia mengubah posisi duduk itu. Ia mengacak, agar mereka duduk bercampuran antara Muslim dan Kristen. Begitupun dilakukan pada pembagian kamar tidur. Mereka tidur dengan teman yang berbeda agama.
Kedua mata Wuri berbinar bahagia kala menceritakannya. Dengan ramah, kawan-kawan Muslim menawarinya mampir ke rumah mereka. Pada momen itu, ia berkenalan dengan Novi, perempuan yang akhirnya menjadi pemimpin dalam berbagai gerakan perdamaian bersamanya. Saya hanya tersenyum dan menahan haru di balik mata. Wuri merasa, setelah bergabung di Sekolah Perempuan, ia kembali bisa melihat bahwa orang yang tidak seiman tidak kalah baik dari teman yang seiman. Ia kembali bisa menaruh percaya.
Osiana, yang kala itu masih mahasiswa juga merasakan dampaknya. Ia melihat bahwa pasca konflik, orang Muslim takut untuk berkunjung ke Tentena, begitupun orang Kristen takut berkunjung ke Poso. Osiana bersama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) mengambil peran. GMKI membawa teman-teman Poso ke Tentena dan sebaliknya dalam berbagai agenda. Mereka mencoba menghapuskan sekat yang menganga pasca konflik Poso. “Saya belajar, benar saya harus taat pada agama saya, tapi saya juga punya teman untuk saling merangkul di segala keadaan, termasuk konflik,” Osi mengenang masa mudanya.
Ada satu momen hangat yang Osi rasakan saat pertama bertugas menjadi Pendeta. Kala itu, ia ditugaskan ke suatu desa yang umat Kristen-nya Minoritas. Guru dari SMA di desa itu meminta bantuan Osi untuk melatih vokal murid SMA dalam rangka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), salah satu event lomba khas Islam seputar Alquran, tampilan hadrah/musik religi, dan lainnya. Ini pengalaman pertama bagi Osi. Ia menyebut ini interaksi yang indah, di mana ia bisa membantu sesama di tengah perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada justru mendorong mereka saling membantu. Ia merasa diterima.
Namun, Osi sendiri tidak menyangka bahwa agenda MTQ dilaksanakan dengan mewah dan besar. Saat itu, ia canggung karena menjadi satu-satunya perempuan yang tidak berjilbab. Sejauh matanya memandang di arena lomba, semuanya mengenakan pakaian Muslim. Tentu ia tak berani duduk di depan bersama guru dan pelatih lain. “Tapi mereka menghargai,” begitu kata Osi. Ia yang seorang Pendeta, dipersilahkan untuk duduk di barisan depan, bersama dengan Pelatih dan Guru lain. Saya sungguh tercengang dan merasakan toleransi yang indah dari cerita Osi
Saat ini, ia bertugas di wilayah bernama Napu, tempat di mana 4 petani dibunuh oleh jaringan teroris saat bekerja di kebun. Hal ini menyisakan duka mendalam pada keluarga yang ditinggalkan. Beberapa keluarga itu saat ini menjadi jemaat dari Osi di gerejanya. Perasaan tidak aman selalu menyelimuti setiap mereka harus pergi ke ladang. Osi selalu menemani mereka, meyakinkan bahwa keadaan baik saja. Di beberapa waktu, ia juga berkunjung ke rumah mereka, memimpin doa, dan mengajak mereka kembali berani. Begitulah cara Osi untuk menjaga perdamaian bersama masyarakat.
Hingga kini, keduanya masih menjalani komitmennya membangun perdamaian di Poso. Kala itu, November 2023, Saya duduk bersama keduanya di lingkar meja yang sama. Sebagai staf magang, saya dititipi untuk berperan sebagai notulen. Saya mendengarkan dengan seksama, bagaimana Wuri dan Osi, kedua tokoh agama Kristen perempuan ini merancang pelaksanaan Reflective Structured Dialogue (RSD). Sebuah metode dialog yang menggunakan tahapan terstruktur mulai dari pembuatan portofolio peserta, pertanyaan reflektif yang mengutamakan suara hati sebagai individu tanpa membawa identitas, serta penghormatan waktu bicara yang sama pada semua suara peserta. Wuri dan Osi adalah Fasilitator lulusan pelatihan fasilitator RSD yang diadakan oleh AMAN Indonesia melalui program “Indonesia Berdialog”.
(Bersambung..)
Anda bisa membaca kisah Wuri & Osiana selanjutnya dalam buku “Perempuan-Perempuan Penggerak Perdamaian” yang diterbitkan oleh Fatayat NU Jawa Barat & JISRA Indonesia pada Desember 2024.