Jakarta – AMAN Indonesia dan Jalastoria mengadakan Halaqoh Pra KUPI bertajuk “Peran Perempuan dalam Preventing Violent Extremism dalam Pespektif Islam, Senin, 12 September 2022. Halaqoh ini digelar untuk mengindentifikasi dalil-dalil agama sebagai bagian dari strategi kontra narasi dalam pencegahan terjadinya ekstremisme kekerasan. Pasalnya, ekstremisme kekerasan telah menjadi salah satu ancaman global terbesar di dunia saat ini.
”Sebagian besar gerakan ekstremisme di Indonesia dalam dekade terakhir ini adalah berasal dari gerakan organisasi Islam trans-nasional yang melibatkan berbagai negara dalam jejaring yang luas dan strategis,” kata Ruby Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia yang juga anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Ruby mengungkapkan, isu ekstremisme dinamis sekali dan setiap tahunnya ada dinamika baru dalam konteks ekstremisme. Ia menegaskan bahwa AMAN Indonesia sejak 2017 sudah bekerjasama dengan WGWC untuk memaknai dan meletakkan konstruksi gender beyond binary gender. Baik itu dalam kelompok kecil ekstremis itu sendiri maupun perempuan sebagai simpatisan.
Pada sisi lain, sebenarnya sudah ada banyak perempuan yang bekerja untuk upaya pencegahan. Tetapi keragaman peran ini akan menjadi hilang kalau kita tidak menggunakan konstruksi gender interseksional pendekatan yang lebih melihat beyond oposisi.
“Dalam agenda ini, saya ingin memformulasikan bagaimana islam membaca fenomena Ekstremismekekerasan ini, sehingga ke depan diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya pencegahannya,” ungkapnya.
Dalam halaqah ini, hadir pula Direkrtur Jalastoria Ninik Rahayu. Dalam kesempatan tersebut, dirinya menjelaskan aksi ekstremisme selama ini telah mengganggu terhadap konsolidasi kebangsaan, Kebhinnekaan dan cara beragama. Jalastoria, ungkapnya, telah melakukan riset pada pemilu 2014, lalu. terdapat benih-bening ekstremisme di beberapa kelompok masyarakat.
“Persoalan ekstremisme kekerasan menjadi persoalan serius. Apalagi menjelang tahun politik 2024. politisasi menggunakan cara-cara agama sebagai upaya legitimasi terjadi,” pungkasnya. [Nita Nurdiani]