Peraturan Presiden no 7 tahun 2021 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme tahun 2020-2024 atau disingkat dengan RAN PE ini beberapa hari lalu disahkan oleh presiden. Ini menjadi babak baru perjuangan para relawan kemanusiaan yang selama ini melakukan berbagai gerakan dan upaya dalam menanggulangi ekstremisme. Apalagi sejauh ini, keberadaan perempuan dalam kasus ekstremisme tidak bisa dinegasikan secara percuma.
Banyak sekali para perempuan yang turut andil terlibat dalam kedua kasus tersebut. Hal ini menjadi penting untuk dibicarakan bersama dalam rangka membangun kolaborasi elemen masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam RAN PE yang sudah disahkan beberapa waktu silam.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh AMAN (Asian Muslim Action Network) Indonesia dan WGWC (Working Group on Women and P/CVE) dalam merayakan pengesahan Perpres RANPE untuk memberikan aspresiasi atas kiner-kinerja masyarakat sipil, utamanya mendialogkan pentingnya peran perempuan dalam keterlibatan RAN PE tersebut.
Kenduri perdamaian, dipilih sebagai nama untuk sebuah kegiatan atas apresiasi kinerja masyarakat sipil atas disahkan RANPE. Acara tersebut dilaksanakan pada 29 Januari 2020 secara virtual dengan keterlibatan banyak elemen. Acara yang dikemas dengan talkshow menghadirkan narasumber dari berbagai elemen, serta kerjasama dengan 27 komunitas, seperti: Peace Generation, YIPC, Wahid Foundation, Convei, Rahima, dll ini membuka ruang kesadaran bagi masyarakat, khususnya perempuan untuk turut andil terlibat dalam RAN PE.
Dalam acara tersebut, terdapat beberapa panelis yang menyampaikan tentang RAN PE, diantaranya: Bapak Andika perwakilan dari BNPT, Alamsyah Ja’far dari Wahid Foundation, Ruby Kholifah dari Aman Indonesia. Pada kesempatan itu, Ruby Kholifah, selaku direktur Aman Indonesia serta menjadi salah satu panelis menyampaikan sebuah optimisme yang luar biasa atas disahkannya RAN PE. Dalam penyampaiannya, keterlibatan perempuan, kacamata analisis gender menjadi sangat penting untuk dibedah.
“Teman-teman, tidak ada identitas tunggal dalam keterlibatan perempuan dalam konteks ekstremisme. Jika mengaca dari berbagai kasus yang selama terjadi, tentu disana kita akan melihat ada identitas perempuan, kemudian beriringan dengan kasus sosial, konflik sosial, kerentanan wilayah, kemungkinan menjadi buruh migran. Meletakkan kasus ini dalam kacamata analisis gender menurut saya sangat penting adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penting melihat bahwa keterlibatan pencegahan ekstremisme dan terorisme adalah unik,” jelasnya.
Dalam konteks perempuan, diungkap olehnya, pengalaman ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender yang dialami perempuan menjadi salah satu hal penting untuk dibedah ketika mulai melakukan analisis. Termasuk melihat gender pathway ya. Bagaimana perempuan direkrut awalnya, melalui pintu apa, lalu kemudian masuk fase apa, itu akan memberikan kekayaan kita termasuk jawaban terkait rumusan faktor engagement akan muncul dari kacamata ini.
Dari apa yang disampaikannya, terlihat bahwa salah satu perempuan penyintas ekstremisme kekerasan, Nanda Olivia Daniel. Perempuan yang pernah menjadi bagian dari Bom Kedutaan Australia, 9 September 2004, Mengalami berbagai cidera, trauma atas kejadian tersebut, membuatnya tidak mudah untuk bangkit melalui keadaan yang terpuruk tersebut. Meski demikian, kisah Daniel menjadi salah satu dari sekian banyak kisah perempuan yang belum banyak terekam kepada publik.
Tidak hanya itu, optimistik yang dibangun oleh Ruby Khalifah tidak hanya berdasar pada kasus-kasus perempuan semata. Melainkan peran masyarakat sipil, berbagai elemen yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia memiliki peran tersendiri di dalamnya. Kolaborasi dan kerjasama harus mengakar kuat secara bersama-sama untuk diterapkan.
“Kekuatan masyarakat sipil adalah people, teman-teman harus ingat dalam hal ini masyarakat sipil harus solid, penting untuk bergerak bersama dengan membagi peran sehingga bisa dimaksimalkan,” ucapnya.
Kita berharap bahwa RAN PE ini benar-benar diimplementasikan oleh masyarakat, di berbagai daerah serta menjadi kekuatan baru dalam melakukan aksi bersama menanggulangi esktremisme dan terorisme. Dijelaskan olehnya, RAN PE juga merekognisi peran perempuan dalam upaya pencegahan ekstremisme kekerasan, yang sama sekali tidak disebutkan dalam UU No. 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.
”Sehingga, ditandatanganinya RAN PE menjadi hal yang sangat penting dan menjadi langkah awal sebagai gerak bersama antara masyarakat sipil dan pemerintah,” pungkasnya. []
Sumber: https://mubadalah.id/pentingnya-kacamata-analisis-gender-dalam-ekstrimisme/