Reflective Structured Dialogue (RSD) merupakan pendekatan dialog reflektif terstruktur yang diperkenalkan di Indonesia sejak 2018 oleh Mediators Beyond Borders International (MBBI). Metode ini telah dipraktikkan dalam kerja-kerja AMAN Indonesia dan jaringannya sebanyak 94 dialog yang melibatkan lebih dari 839 peserta lintas kelompok di berbagai daerah terdampak konflik, termasuk Poso dan Sigi, Sulawesi Tengah. Pendekatan ini guna menjembatani perbedaan, membuka ruang komunikasi, serta mengurai akar masalah yang kerap sulit disentuh melalui jalur formal.
Di Sulawesi Tengah, pendekatan RSD digunakan AMAN Indonesia berkolaborasi dengan LiBu Perempuan melalui program Indonesia Berdialog-Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) untuk memperkuat peran perempuan dan pemuda sebagai aktor rekonsiliasi dan resolusi konflik.
Di Poso, meski kekerasan berakhir pasca-Perjanjian Malino, masyarakat masih menghadapi luka dan trauma sosial, segregasi, serta hilangnya tradisi kebersamaan yang memperlebar jarak antar kelompok. AMAN Indonesia memfasilitasi dialog terpisah maupun campuran dengan 163 peserta untuk mendengarkan pengalaman dan pandangan mereka.
Hasilnya, mulai terlihat perubahan positif berupa komitmen menjaga perdamaian, meningkatnya interaksi antar keluarga, serta inisiatif di sekolah dalam mengajarkan moderasi beragama dan anti-perundungan. Di Sigi, RSD digunakan untuk menciptakan percakapan di antara korban, dan berbagai pihak untuk memulai membicarakan pemulihan korban berkelanjutan.
Praktik Baik dan Pembelajaran RSD ini kemudian dibagikan kepada OPD dan OMS di Sulawesi Tengah dalam Forum Praktik Baik dan Pembelajaran RSD untuk Penguatan Kohesi Sosial dan Advokasi Pemulihan Korban yang diselenggarakan di Palu, 29 Agustus 2025. Forum ini bertujuan untuk membagikan praktik baik dan pembelajaran dari penyelenggaraan RSD dalam upaya pemulihan korban terorisme berbasis komunitas sekaligus resolusi konflik.
Dihadiri 36 peserta perwakilan OPD, OMS, kelompok muda, dan lainnya, forum ini juga dibangun ruang dialog lintas pemangku kepentingan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) serta relevansinya dengan pemulihan korban. Selain itu, forum juga mendorong adopsi RSD sebagai salah satu pendekatan atau metode resolusi konflik, khususnya di Sulawesi Tengah, dan memperkuat jaringan kerja sama antara masyarakat sipil, pemerintah, dan komunitas lokal dalam mendorong kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemulihan yang adil, berkelanjutan, dan menghormati martabat korban.
“Jalan damai yang kita pilih haruslah bermartabat, berwibawa, dan terhormat. Sulawesi Tengah sudah mengalami luka panjang, khususnya di Poso, dengan daya rusak yang luar biasa. Karena itu, korban tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai korban, melainkan sebagai subjek yang berhak atas pemulihan yang komprehensif,” ucap Dr. Fahrudin Yambas, Sos., M.Si, Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
Dalam sambutannya, ia menilai pola RSD sangat relevan dengan kebutuhan pemerintah daerah. Ia mencontohkan bahwa metode ini dapat menjadi rujukan bagi Satgas Penyelesaian Konflik Agraria, Tim Penanganan Konflik Sosial di Kesbangpol, hingga Satgas Tambang di bawah ESDM. Ia juga menambahkan, forum ini penting untuk mencegah keberulangan konflik. Jika dulu tantangan utama berbentuk kekerasan fisik, kini masyarakat dihadapkan pada penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda intoleransi. “Kita harus memperkuat imunitas sosial agar masyarakat tidak mudah terprovokasi,” katanya.
Sejalan dengan visi AMAN Indonesia dan jaringannya dalam menjalankan agenda Women, Peace, and Security (WPS), Manajer Innovation, Design, and Monitoring (IDEA) AMAN Indonesia, Ghufron menekankan bahwa sinergi multipihak, mulai dari OPD, masyarakat sipil, pelaku usaha, media, hingga sektor swasta, merupakan kunci dalam memperkuat implementasi agenda tersebut melalui Rencana Aksi Nasional/Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konteks Sosial (RAN/D P3AKS) yang kini memasuki periode kedua.
Pengalaman Poso dan Sigi menjadi bahan refleksi penting dalam forum ini. Di Poso, meskipun kekerasan fisik telah mereda setelah Perjanjian Malino, segregasi sosial masih terasa kuat. Hilangnya tradisi kebersamaan membuat jarak antar komunitas kian melebar. Di Sigi, serangan teroris Mujahidin Indonesia Timur pada 2020 meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Bantuan rumah dan kebutuhan hidup sementara memang diberikan, tetapi pemulihan psikososial dan kompensasi yang dijanjikan tidak sepenuhnya terpenuhi.
Dewi Rana, Direktur LiBu Perempuan, membagikan pengalamannya dalam mendorong pemulihan sosial di Dusun Levonu, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Bersama AMAN Indonesia, LiBu melakukan riset dan didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul “Ekstremisme, Daur Kekerasan dan Kompleksitas Penanganannya: Temuan di Balik Tragedi Lembantongoa Sigi”
Dalam pemaparannya, Dewi Rana menjabarkan tentang peristiwa serangan terorisme di Lembantongoa Sigi, terjadi pada tanggal 27 November 2020, serta dampak yang dialami masyarakat setempat. “Di balik kerentanan korban, daya juang perempuan korban juga menjadi kekuatan penting, bukan hanya sebagai penyintas tetapi juga sebagai penggerak perubahan,” ujarnya.
Kekuatan perempuan muncul sebagai sumber resistensi terhadap terorisme, memperlihatkan bagaimana nilai-nilai lokal dapat menjadi benteng menghadapi ekstremisme. Selain itu, peran tokoh lintas agama dan budaya berfungsi vital dalam membangun jembatan kepercayaan dan membuka ruang rekonsiliasi, sementara OPD dan OMS memegang kunci dalam mengawal proses pemulihan berbasis komunitas agar inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Selaras juga yang disampaikan oleh penanggap, Andi Musdalifah, Kepala Bidang Kewaspadaan Daerah, Kesbangpol Sulawesi Tengah, bahwa nilai-nilai budaya lokal seperti tradisi musyawarah, mediasi adat, hingga simbol makan bersama seperti tradisi “Komune” di Kaili, “Mepali” di Pamona, hingga “Mopapadeko” di Tolitoli, yang dapat mendorong suksesnya proses dialog. Meskipun begitu, RSD bukanlah satu-satunya pendekatan atau metode dalam resolusi konflik.
Seperti halnya yang disampaikan penanggap lainnya, Dr. Nisbah dari Universitas Tadulako bahwa RSD adalah satu dari sekian banyak pendekatan dan metode resolusi konflik dan pemulihan korban. Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan AMAN Indonesia dan LiBu Perempuan, RSD terbukti efektif dalam menjembatani kelompok berbeda dan mendorong pemulihan korban yang inklusif, komprehensif, dan berkelanjutan.
Forum ini kemudian menghasilkan komitmen bersama untuk mendorong adopsi RSD sebagai salah satu pendekatan yang efektif dipakai dalam resolusi konflik di Sulawesi Tengah, disertai penyusunan rekomendasi strategis untuk memperkuat jejaring multipihak. Lebih jauh lagi, forum ini diharapkan menjadi langkah konkret memperkuat kohesi sosial, agar masyarakat Sulawesi Tengah memiliki ketahanan menghadapi tantangan zaman sekaligus menjaga perdamaian dan mencegah terjadinya keberulangan konflik di masa mendatang.