Menguatkan Peran Perempuan dalam Perdamaian di Tengah Demokrasi Rapuh: Praktik Baik dan Tantangan dari Asia Pasifik

AMAN Indonesia, bekerja sama dengan Universitas Thammasat, Thailand, dan Thuma Ko Kapagingud, Filipina, menyelenggarakan acara sampingan di Forum Masyarakat Sipil Asia Pasifik Beijing +30 yang bertajuk Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan dalam Demokrasi yang Rapuh: Praktik Baik dan Reaksi Keras. Forum ini bertujuan untuk merayakan kemajuan positif dalam pengarusutamaan keterlibatan perempuan dalam agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS) sekaligus mengatasi tantangan dan reaksi keras yang dihadapi oleh gerakan perempuan.

Prof. Polly Vauquline, dari Departemen Studi Perempuan di Universitas Gauhati, India, menyoroti gerakan akar rumput seperti Naga Mothers’ Association (NMA) di Nagaland dan Mizoram Church Leaders Committee (MCLC), yang menciptakan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam perundingan damai. Seorang aktivis dari Myanmar, T, berbagi wawasan tentang peran perempuan dalam Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) dan menyerukan tanggapan ASEAN yang lebih kuat terhadap krisis di Myanmar. Gispa Ferdinanda dari Papua menunjukkan bagaimana teknologi dapat memberdayakan pemuda dalam gerakan perdamaian, sementara Khuzaimah Samporna, dari Thuma Ko Kapagingud, Filipina, memberikan contoh bagaimana perempuan berkontribusi dalam mencegah ekstremisme kekerasan dan mendukung reintegrasi.

Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah merasa gembiramendengar bahwa setelah ASEAN mengadopsi Rencana Aksi Regional tentang WPS, negara-negara seperti Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah mulai mengembangkan kerangka kerja WPS nasional. ”Sebagai pendukung WPS, dirinya mengamati empat pelajaran penting dari adopsi kebijakan WPS nasional,” terangnya.

Pertama, berkaitan dengan lokalisasi. Hal ini menerjemahkan agenda WPS global ke dalam konteks nasional dan lokal untuk berbagi pengetahuan di antara semua pemangku kepentingan. Kedua, tentang konektivitas, yang mana bertujuan untuk membangun jaringan antara aktor nasional dan global, termasuk sektor keamanan.

Ketiga, berkaitan tentang adaptabilitas, yaitu menyesuaikan agenda WPS dengan konteks lokal, menangani kebutuhan spesifik setiap negara, dan memperluas dimensi keamanan. Terakhir, berkaitan tentang keberlanjutan yang mana mempromosikan kemauan politik, memastikan dukungan finansial untuk agenda tersebut, dan membina kemitraan dengan gerakan perempuan sambil menghubungkan WPS dengan agenda penting lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.