WPS Lecturing Goes to Campus Vol. I : FISIP UNEJ Mengkaji 24 Tahun Implementasi Resolusi DK PBB 1325

Jember – Dua puluh empat tahun lalu, PBB mengesahkan United Nation Security Councnil Resolution (UNSCR) 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace, and Security/WPS). Resolusi ini bertujuan untuk mendorong negara memberikan perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi perempuan terdampak konflik, khususnya konflik bersenjata. 

Implementasi resolusi ini tidak hanya milik pemerintah. Akademisi, sebagai garda terdepan dalam produksi pengetahuan masyarakat penting untuk mengambil peran. Maka, tahun 2024, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia merumuskan program WPS Lecturing Goes to Campus. Sebelumnya, dengan 18 tahun dalam implementasi agenda WPS, AMAN Indonesia telah memproduksi 4 video sebagai pengenalan sejarah, konsep, dan pilar WPS di channel Youtube She Builds Peace Indonesia. 

Inisiatif AMAN sejalan dengan komitmen FISIP UNEJ untuk mainstreaming agenda WPS di kampus, khususnya program studi Hubungan Internasional. Komitmen tersebut diturunkan dengan menggelar WPS Lecturing Goes to Campus Vol I di Ruang Sidang Fakultas FISIP UNEJ, Jumat (15 November 2024). Agenda  tersebut bekerjasama dengan Laboratorium Kajian Politik dan Kawasan (LKPK) FISIP UNEJ dengan mengusung tema “From Policy to Practice: The Implementation of UNSCR 1325.

Pembelajaran ini terbagi menjadi dua sesi, pagi dan siang. Kedua sesi dipandu oleh Honest Dody Molasy dan  Panca Oktawirani, Dosen Universitas Jember sebagai moderator. Pembicara yang dihadirkan merupakan para Expert yang berpengalaman dalam implementasi agenda WPS, seperti  Ruby Kholifah (Country Representative of AMAN Indonesia, Indonesia), Visaka Dharmadasa (The Founder of the Association of War-Affected Women (AWAW), Sri Lanka) dan May Sabe Phyu (Director of The Gender Equality Network, Myanmar) di sesi satu. Serta Hamsatu Allamin (National Executive Member and Coordinator of the Federation of Muslim Women’s Associations in Nigeria, Nigeria), Yuniyanti Chuzaifah (Komisioner Komnas Perempuan, 2010-2014, Indonesia), serta Linda Dwi Eriyanti (Ketua Pusat Studi Gender UNEJ) di sesi dua.

Tantangan dan Capaian Resolusi 1325

Sepanjang sesi, peserta mendapatkan gambaran utuh mengenai WPS. Mulai dari sejarah singkat, konsep, pilar, serta implementasi WPS oleh masyarakat sipil dan pemerintah. Ruby Kholifah membagikan praktik baik AMAN Indonesia dalam mendorong kepemimpinan perempuan dalam reintegrasi sosial eks-napiter, mulai dari tahapan persiapan, pembentukan tim tangguh, hingga pelaksanaan dialog dengan metode Reflective Structured Dialogue (RSD). Praktik ini berkontribusi untuk mendorong resiliensi komunitas, pelokalan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS), serta ekspansi implementasi WPS dalam pencegahan ekstrimisme kekerasan.

Dalam konteks tantangan implementasi RAN P3AKS Indonesia, Yuniyanti Chuzaifah menyoroti bahwa WPS masih dimaknai sebatas konflik sosial dan bukan konflik bersenjata, impunitas, maskulinitas dalam framework keamanan, dan sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Yuniyanti juga menekankan urgensi agenda WPS di Indonesia, karena kerentanan perempuan sebagai tearget kekerasan seksual masih tinggi, baik dalam konteks konflik ataupun non-konflik. Hal ini ditekankan kembali oleh Linda Dwi Eriyanti. Ia  mengapresiasi dan mendorong keberlanjutan praktik baik Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) oleh pemerintah dan Desa Damai oleh Wahid Foundation. 

Sebagai negara yang juga memiliki WPS National Action Plan, Sri Lanka mengalami tantangan yang berbeda. Pada saat tahun 2004, Visaka menyampaikan pengalamannya mengkoordinir perempuan perwakilan dari 25 area di negaranya untuk mendorong implementasi UNSCR 1325 di akar rumput melalui jaringan bernama “Team 1325”. Mereka bahkan bisa membawa suara 

“We want to define security that makes our enemy secure. We know, all living react for fear. If we can take that fear out of the individual. That’s the day that world peace will prevail.”  (“Kita ingin mendefinisikan keamanan di mana bisa memberikan musuh kita rasa aman. Kita tahu, semua makhluk hidup bereaksi karena rasa takut. Jika kita bisa menghilangkan rasa takut itu dari diri individu. Pada hari itulah perdamaian dunia akan terwujud.red”) Begitu tutur Visaka menutup presentasinya. 

Pada konteks lokalisasi WPS, pelibatan komunitas dihighlight oleh hampir semua pembicara. Hamsatu Alamin menyampaikan praktik baiknya di Nigeria, di mana ia melakukan pendidikaan deradikalisasi perempuan dan anak muda. Dengan konsisten, Hamsatu menebarkan kontra narasi dari Boko Haram, kelompok yang kerap menjadi pelaku ekstrimisme kekerasan. Hal serupa juga disampaikan oleh May Shabe dari Myanmar. Gender Equality Network berkolaborasi dengan aktor lokal dan mendukung peningkatan kapasitas untuk mereka. Menurut May Shabe, aktor lokal adalah tempat terbaik untuk mempelajari ragam kebutuhan dan mengakomodir keunikan dari komunitas.

Akademisi Perlu Mengambil Peran

Satu hari workshop memberi kesan tersendiri bagi mahasiswa Hubungan Internasional. Mereka bukan pertama kali mengenal resolusi ini. Namun, hadirnya ekspert dan praktisi memberikan gambaran yang berbeda mengenai WPS di global dan Indonesia. Fiorentin Susanto, misalnya. Sebelumnya ia sudah mengenal sedikit konsep WPS di kelas, namun ia tak menyangka bahwa perempuan bisa mengambil peran signifikan dalam pembangunan internasional. 

“Setelah mengikuti WPS tadi, saya sadar bahwa banyak perempuan hebat yang menjadi pemimpin-pemimpin pergerakan di dunia. Saya jadi termotivasi untuk mengejar mimpi saya sebagai Duta Besar,” ucap salah satu peserta

Praktik baik para pembicara menghantarkan Junior Sembiring pada satu refleksi. Bahwa dalam mewujudkan perubahan di masyarakat, tidak hanya melalui pertemuan dengan pemangku kebijakan, namun penting untuk turun di komunitas. Ia juga belajar, dalam mendorong kepemimpinan perempuan, komunitas perlu dilibatkan sebagai bagian dari edukasi publik.

WPS Lecturing juga membantu mahasiswa yang sudah memiliki ketertarikan untuk melakukan riset dengan tema feminisme. Salsabila berkata, ia senang bisa mengikuti agenda ini karena ia melihat banyak perempuan yang mendobrak norma dan mewujudkan perubahan. Ia pun semakin mantap menjadikan WPS menjadi framework tugas akhirnya. Sedangkan Diana Laili merasa, agenda ini membawanya mengenai praktik baik pembangunan perdamaian oleh perempuan dalam berbagai konteks. Ia pun mempertimbangkan untuk menggunakan WPS sebagai framework penelitian.

Ruang pembelajaran WPS ini dirasa bermanfaat dan perlu dilanjutkan pelaksanaannya. “Sebaiknya dilaksanakan secara rutin. supaya mahasiswa dan bahkan masyarakat luas bisa tahu apa itu WPS. Karena WPS menjelaskan sampai detail kiprah perempuan dalam dunia internasional. Dan, seminar ini sangat bermanfaat untuk membangun kebijakan baik di tingkat universitas dan nasional. ” tutur Ketua LKPK Adhiningasih Prabhawati, 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.