Jakarta – Hampir sepuluh tahun setelah adopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, Indonesia telah berhasil melakukan mainstreaming pencegahan konflik di berbagai kementerian dan lembaga. Beberapa program yang telah diimplementasikan untuk memainstreamingkan upaya tersebut meliputi Kota Layak Anak, Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Desa Siaga, Desa Tangguh, serta Rumah Moderasi Beragama. Program-program ini dijalankan pemerintah untuk memperkuat infrastruktur perdamaian di level paling bawah.
Melanjutkan komitmen ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) RI berkolaborasi dengan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menggelar Workshop Penguatan Agenda P3AKS di Hotel Lumire, Senin – Rabu (23-25 September 2024). Agenda ini bertujuan memperkuat perlindungan perempuan dan anak dalam konflik sosial. Workshop berhasil mengidentifikasi prioritas isu terkini, membangun strategi perlindungan jangka panjang untuk memperkuat dan memperbarui upaya-upaya yang telah ada sebelumnya.
Direktur AMAN Indonesia Ruby Kholifah menyoroti bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pemenuhan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan. ”Sinergi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dianggap vital untuk memperkuat efektivitas agenda Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Seksual (P3AKS), dengan mengedepankan sensitivitas gender sesuai Instruksi Presiden No. 09 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG),” terangnya.
Pengalaman Indonesia, terutama di Aceh, membuktikan pentingnya peran perempuan dalam resolusi konflik. Fokus pada pemulihan korban kekerasan berbasis gender dan penguatan proses peradilan sangat penting untuk mencegah konflik berulang. Dengan memanfaatkan data dari program P3AKS, Ruby menegaskan jika Indonesia dapat mempertahankan momentum positif ini dalam rencana aksi nasional mendatang, memperkuat perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam situasi konflik.
Selanjutnya, Deputi Perlindungan Hak Perempuan (PHP) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPA) yang dibacakan oleh Perencana Madya Kedeputian, Rina Nursanti mengungkapkan jika Indonesia merupakan negara yang kaya akan pluralitas, yang disatu sisi menjadi sumber kekuatan, namun di sisi lain juga menciptakan kerentanan terhadap konflik sosial.
”Konflik sering kali berdampak buruk pada perempuan dan anak-anak, namun peran perempuan dalam resolusi konflik masih kurang diakui, meskipun mereka sering membawa perspektif penyembuhan,” terangnya.
Diungkap olehnya, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya melalui Undang-Undang No. 07 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Seksual (P3AKS), sejalan dengan peran aktif Indonesia di PBB. Hingga kini, 12 provinsi telah mengesahkan Rencana Aksi Daerah (RAD) P3AKS, dan 14 provinsi lainnya sedang dalam proses. FGD yang diadakan pada 13 Agustus bertujuan memperkuat sinergi dan efektivitas program tersebut.
Pada hari pertama, diskusi dilakukan dengan para penulis naskah akademik RAN P3AKS, yakni Irine Gayatri dari BRIN, Laga Sugiarto dari Universitas Negeri Semarang, dan Khairani dari UNSYIAH Aceh, yang menyusun naskah akademik berdasarkan hasil FGD pada 13 Agustus 2024, yang memetakan pembelajaran, tantangan, dan hambatan pelaksanaan P3AKS. Hari kedua dan ketiga berfokus pada diskusi terkait tiga pilar, yaitu pilar pencegahan, penanganan, serta pemberdayaan dan partisipasi, dengan fasilitasi dari tim AMAN Indonesia.