Jakarta – AMAN Indonesia bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BRIN, Universitas Indonesia, Yayasan Sejiwa memberikan masukan terhadap draft buku Pedoman Pencegahan Radikalisme dan Terorisme terhadap Perempuan, Pemuda dan Anak yang disusun oleh Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Manajer Riset, Desain dan Inovasi, Ghufron, mewakili Direktur AMAN menyampaikan tujuh masukan masukan pencegahan ekstremisme di Indonesia.
”Pertama, dalam pengantar, penting memaparkan transformasi pendektan negara dan BNPT dalam pencegahan radikalisme, dari Counter Terrorism (full power pendekatan keamanan), menuju Counter Violent Extremism (CVE), dan Preventing Violent Extremism (PVE) yang teradopsi dalam RAN PE,” terangnya dalam agenda tersebut, Selasa (9 Juli 2024).
Diungkap olehnya, kerangka ini penting agar stakeholder yang belum memahami isu ekstremisme kekerasan lebih mendapat kejelasan ‘posisi’ dan pendekatan yang hendak dijalankan BNPT, terutama program prioritas kedepan. Perlindungan perempuan dan anak.
Kedua, lanjutnya, meminjam buku Membumikan Gender dalam PVE (WGWC 2024); buku panduan penting menyoroti aspek inter-generasi, memikirkan regenerasi, melibatkan pemahaman tentang bagaimana pengalaman, pengetahuan, dan perjuangan perempuan berhubungan dan bertautan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Khawatir jika tiga kelompok rentan yaitu perempuan, anak muda dan anak, terpisah atau terisolasi dan tidak terkoneksi dalam ekstremisme kekerasan maka akan terjebak pada programtik, tanpa melihat keluasan isu dan keterhubungannya (comprehensive approaches).
Masukan ketiga, diungkap olehnya, dalam buku ini pengalaman keterlibatan perempuan dalam VE hanya terbatas sebagai eksekutor saja family based terrorism. Maka penting agar buku ini bisa melengkapi sejarah radikalisme dan ekstreisme dengan menyoroti juga peranan mereka dari waktu ke waktu, meminjam laporan IPAC 2017 “From Mothers to Bombers”.
”Hal ini penting untuk memberi bacaan bahwa keterlibatan keluarga dalam teror tidak tiba-tiba muncul, namun ada historisitas, dinamika national dan perkembangan global,” terangnya.
Masukan keempat, menurutnya meletakkan Gender Based Violence (GBV) dalam modul. Ditegaskan olehnya, hal tersebut perlu sebagai konsen, sehingga strategi pencegahan yang mucul dalam modul ‘hanya’ pencegahan radikalisme saja, mengesampingkan GBV pada perempuann yang identitasnya tidak tunggal dalam konteks ini.
Masukan kelima adalah penting melihat instrument global-nasional dan lokal untuk mensinergikan dengan langkah operasional modul. Dirinya menyoroti hal yang kurang dalam buku yaitu, Plan of action PBB (2015); RAN P3AKS; dan local action plans PE dan P3AKS. Masukan keenam, meletakkan agensi perempuan dalam konteks ini menjadi penting, agar modul merekognisi agensi perempuan dalam PVE dana pencegahan konflik di akar rumput menjadi referensi utama. Kekuatan kemandirian, negosiasi dan resistensi perlu mendapat ruang di buku bisa dalam bentuk studi kasus.
”Terakahir, empowering youth belum banyak terlihat bedanya dengan empowering women. Dan, yang serimg tenggelam kalau bicara pemuda adalah ‘girls’ yang lebih rentan terpapar, namun juga punya agensi yang perlu ditumbuhkan,” pungkasnya.