Purwakarta – Sebanyak 229 orang hadir dalam agenda Konferensi dan Konvensi The Working Group on Women and Preventing or Countering Violent Extremism (WGWC) di Purwakarta, 5-8 Mei 2024. Agenda yang dihadiri oleh unsur masyarakat sipil, pemerintah, peneliti, praktisi, akademisi, dan media mengambil tema ” Perempuan, Agensi, dan Pemberdayaan dalam Melawan Ekstremisme Kekerasan”. Agenda dibuka juga video Komjen Pol. Prof. Dr. H. Mohammed Rycko Amelza Dahniel, M.Si, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI.
Dalam agenda tersebut, hadir juga dr. Siska Gerfianti,Sp.DLP.,M.HKes, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan , Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat. Andhika Chrisnayudhanto, SIP, SH, MA, Deputi Bidang Kerjasama Internasional BNPT. Dicky Darmawan, SH. M.Hum, staf ahli bupati bidang pemerintahan, Hukum dan Kesejahteraan Rakyat
Alasan dipilih Purwakarta
Purwakarta memiliki pengalaman baik isu mencegah ekstremisme kekerasan. Terdapat tiga hal yang menjadi alasan dipilihnya Kabupaten Purwakarta sebagai lokasi Konferensi dan Konvensi WGWC 2024. Pertama, Kabupaten Purwakarta memiliki praktek baik penanganan deportan ISIS. Kedua, Kabupaten Purwakarta Memiliki Pengalamaan Leadership Perempuan yang Kuat. Ketiga, Kabupaten Purwakarta telah mengadopsi RAN PE dalam bentuk Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 114 Tahun 2023 Tentang RAD Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Mengarah Terorisme 2023 -2024.
Di sisi lain, WGWC hadir sejak 2017 dan telah memberikan kontribusi optimal dengan membantu pemerintah nasional dalam implementasi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) dalam memperkuat prinsip mainstreaming gender di sejumlah daerah. Seperti, Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat.
Steering Committee WGWC Ruby Kholifah mengungkapkan, dalam kebijakan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme perlu memperhatikan aspek gender. Saat ini, Pemerintah Purwakarta memiliki peraturan Bupati terkait pencegahan ekstremisme, menjadi strategi untuk merespons tantangan ekstremisme secara lebih lokal dan inklusif.
”Melalui partisipasi masyarakat sipil, WGWC berupaya menciptakan kultur perlawanan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memastikan perlindungan sesuai konstitusi serta mengadopsi pendekatan inklusif dalam mengatasi ekstremisme,” terangnya.
Isu yang dibahas dalam Konferensi WGWC
Dalam penanggulangan ekstremisme kekerasan perlu dicari akar permasalahan ekstremisme, menghindari kekerasan ekstrajudisial, dan menghindari segala bentuk segregasi sosial. Isu ekstremisme kekerasa juga meluas kepada ke tantangan dalam menilai keberhasilan proses deradikalisasi. Selain itu, diperlukan penekanan indikator yang berperspektif perempuan dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap beragam pola transmisi, baik di ruang digital maupun dalam lingkungan keluarga.
Menurut Komnas Perempuan Periode 2010-2014, Yuni Chuzaifah, pemahaman yang komprehensif atas interseksi antropologis, psikologis, teologi, dan sosial diperlukan untuk merumuskan preskripsi yang efektif dalam penanganan dan penanggulangan ekstremisme. Transmisi ekstremisme memiliki beragam pola yang mencakup ruang digital dan lingkungan keluarga, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti peran gender, diskriminasi, dan janji-janji surgawi.
”Dalam upaya penanggulangan ekstremisme, pendekatan yang holistik dan sensitif terhadap perempuan menjadi kunci untuk merumuskan strategi yang efektif dan inklusif,” terangnya dalam agenda Briefing Media Kongkow Bareng Masyarakat Sipil, belum lama ini.
Dari isu-isu tersebut akan dibahas dalam Konferensi Nasional WGWC, Senin (6 Mei 2024). Menurut Steering Committee WGWC, Debby Affianty, isu-isu tersebut dibahas oleh mitra WGWC dan akan menampilkan praktik terbaik dalam berbagai aspek. ”Mulai dari pendampingan terhadap narapidana teroris, proses reintegrasi sosial, hingga upaya pencegahan ekstremisme di bidang pendidikan dan pemberdayaan perempuan,” ucap yang juga menjabat sebagai peneliti senior LIGS UMJ Jakarta.
Sejumlah sesi paralel akan dipandu oleh mitra dari berbagai daerah, yang akan berbagi pengalaman sukses mereka dalam menghadapi tantangan tersebut. Saat ini, WGWC telah berhasil melakukan kontribusi yang signifikan, seperti membantu pemerintah nasional dalam menyusun rencana aksi daerah di berbagai provinsi. Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kebijakan pencegahan ekstremisme dapat lebih sensitif terhadap isu gender.
Menghasilkan Rekomendasi Peran Agenda Perempuan dan Pemberdayaan Melawan Ekstremisme Kekerasan
Dalam agenda Konferensi Nasional yang dilaksanakan pada 6 Mei 2024, diharapkan bisa mengeluarkan rekomendasi peran agensi perempuan dan pemberdayaan dalam melawan ekstremisme kekerasan. Dalam upaya ini, ada dorongan untuk menemukan inspirasi dari praktik-praktik baik di tingkat daerah, mencari konsep, strategi, dan pendekatan baru yang bisa digunakan dalam memerangi ekstremisme kekerasan.
Menurut Steering Committee WGWC, Ruby Kholifah, rekomendasi tersebut penting karena engangkat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai strategi nasional bukanlah tanpa alasan. Sudah terbukti bahwa hal ini tidak hanya membangun pemikiran kritis, tetapi juga memperkuat kohesi sosial,” terang perempuan yang juga sebagai Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.
Dengan memperkuat pemikiran kritis dan memberdayakan perempuan, Ruby berharapkan, dapat secara alami menolak ekstremisme kekerasan. Oleh karena itu, semua pihak, baik masyarakat sipil maupun pemerintah, perlu terus berkontribusi dalam membangun pemikiran kritis dan pemberdayaan perempuan.
Di sisi lain, konvensi ini juga menjadi momen untuk merefleksikan perjalanan delapan tahun Working Group on Women and Counterterrorism (WGWC). Penting untuk melihat hal-hal baru terkait ekstremisme kekerasan, termasuk tren baru dalam pelibatan perempuan dalam konteks tersebut. Dengan memahami tren ini, diharapkan bisa merumuskan strategi perlawanan yang lebih cerdas.
Pembentukan steering komite baru dan penyusunan roadmap jangka panjang akan memungkinkan upaya perlawanan dilakukan secara kolektif oleh masyarakat sipil, lembaga pemerintah, dan institusi hak asasi manusia. Tantangan ke depannya adalah mengukur keberhasilan upaya ini dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah langkah-langkah yang diambil sudah cukup berhasil dalam memajukan tujuan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan memerangi ekstremisme kekerasan.
”Dengan fokus pada peran perempuan dalam konteks ini, diharapkan dapat melahirkan pahlawan tanpa senjata yang membawa perubahan positif dalam masyarakat,” pungkasnya.