Jakarta – The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menggelar launching buku ”She Builds Peace Seri 1: Kisah-kisah Perempuan Penyelamat Nusantara”, Kamis (22 Februari 2024). Launching Buku sebagai puncak dari gerakan global perayaan ”World Interfaith Harmony Week” yang berlangsung selama 1-7 Februari 2024. AMAN Indonesia melakukan kampanye bersama di sosial media simpul. Dalam agenda puncak tersebut, dihadiri oleh sebanyak 35 orang yang dilakukan melalui zoom meeting selama dua jam.
Dalam agenda tersebut, Direktur AMAN Indonesia mengungkapkan pada usia 17 tahun AMAN Indonesia fokus pada produksi pengetahuan tentang keamanan perempuan. ”Pentingnya hal ini terletak pada upaya merubah cara pandang dan membangun keyakinan akan kontribusi perempuan dalam menciptakan kedamaian,” ungkapnya.
Diungkap olehnya, buku yang diluncurkan hari ini merupakan bukti nyata akan kontribusi besar perempuan Nusantara dalam pembangunan fisik, ekonomi, dan sosial. Cerita-cerita ini seringkali hanya menjadi wacana di masyarakat, namun dengan berbagi, diharapkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dapat menginspirasi orang lain.
Bahkan dalam hal penyelesaian konflik, seperti yang dilakukan oleh Binda Ta’uf dalam pendekatan non-kekerasan. Cerita tentang Nyai Nume juga memberikan pemahaman mendalam tentang agama dan moralitas, sementara penghargaan disampaikan untuk kerja keras Kak Nadina dalam mendokumentasikan kisah-kisah ini.
”Semua ini diharapkan menjadi contoh bagi kita semua untuk lebih menghargai dan memperluas pemahaman akan kontribusi perempuan, serta didukung dengan pembelian buku sebagai donasi untuk mendukung upaya-upaya perempuan,” ucapnya.
Hadirkan Tiga Perempuan Penyelamat Nusantara
Hadir pula perwakilan dalam buku tersebut yaitu Haniah, Pendeta Obertina dan Nyai Luluk Farida. Buku ini merupakan sebuah dokumentasi praktik baik perempuan akar rumput dalam membangun perdamaian, ketahanan masyarakat serta pengarusutamaan gender di masyarakat. Haniah menceritakan pengalamannya dalam upaya perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Pangkep, khususnya terkait dengan perkawinan anak.
Melalui pendekatan kemanusiaan, dirinya memutuskan untuk bergerak ke pulau-pulau terdekat untuk memberikan penyadaran dan dukungan, berdiskusi dengan perempuan-perempuan di sana. ”Cita-cita saya kedepannya adalah mendirikan sekolah perempuan di pulau-pulau terluar, karena saya yakin pendidikan perempuan sangat krusial untuk masa depan mereka. Saya berharap ada dukungan untuk misi ini, karena bagi saya, ini adalah persoalan kemanusiaan yang sangat mendesak,” terangnya.
Cerita lainnya dari Pendeta Obertina. Saat ini, Obertina telah aktif dalam gerakan kebersamaan di Bandung, yang dipicu oleh dua pengalaman pribadi dirinya. Pertama, sebagai korban dan penyintas kekerasan berbasis agama saat masih kecil. Di mana keluarga yang merupakan orang Kristen menjadi satu-satunya di desa dengan stigma dan perlakuan negatif.
Pengalaman kedua, saat ditugaskan menjadi pendeta di GKP Dayakolot di Bandung, gereja yang diserang dan dirusak oleh kelompok radikal pada tahun 2005 karena izin mendirikan bangunan ditolak pemerintah daerah. ”Pengalaman-pengalaman ini mendorong saya untuk aktif dalam gerakan kebersamaan agama sebagai upaya untuk menanggapi dan mengatasi ketidaksetujuan dan kekerasan berbasis agama yang masih terjadi,” tegasnya.
Nyai Luluk, menceritakan bagaimana awalnya hanya ingin mencari tempat istirahat yang tenang di Bandung. Namun, ajakan dari tetangga untuk saling mengenal membuka mata tentang pentingnya kebersamaan di lingkungan yang heterogen. Dari sini, Nyai Luluk mencoba menginisiasi pertemuan dengan tetangga-tetangga, terutama yang beragam latar belakang dan keyakinan agama. Dari pertemuan ini, terbentuklah kelompok pengajian Khemat Islam yang awalnya hanya beranggotakan empat orang.
”Melalui pengajian rutin ini, dengan memulai dari diskusi tentang iman, Islam, dan perilaku. Saya ingin menyatukan pemahaman dan menghadapi isu-isu sosial serta politik yang sensitif. Dengan pendekatan logis dan rasional, lanjutnya, ditambah dengan narasi-narasi yang mengedepankan kebersamaan, pengajian menjadi sarana untuk membangun hubungan yang harmonis dan memperkuat nilai-nilai keimanan bagi jamaahnya,” terangnya.
Masterpiece Cerita WPS di Indonesia
Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai penanggap Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Eni Widiyanti. Dirinya, Kami sepakat bahwa perbedaan seharusnya tidak dipertentangkan, melainkan dihargai sebagai keindahan yang memperkaya.
”Pandangan yang berbeda, adalah hal yang patut dihargai. Indonesia patut berbangga menjadi salah satu dari 51 negara anggota yang mengadopsi resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1325 atau yang biasa disebut Women, Peace and Security (WPS). Dan buku yang dibedah menjadi sebuah karya masterpiece dari cerita WPS di Indonesia,”
Benang merah yang muncul dari setiap kisah dalam buku ini adalah budaya patriarki. Eni menegaskan jika budaya patriarki harus bersama-sama gugurkan. Dalam kesempatan tersebut dirinya menceritakan strategi yang dilakukan oleh KPPPA dalam mencapai kesetaraan gender. Yakni dengan cara Pengarusutamaan Gender (PUG) dan program perlindungan. Diakui olehnya, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi.
”Survei terbaru menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, dengan mayoritas terjadi di rumah tangga dan pelakunya adalah suami atau orang terdekat,” terangnya.
Dengan data yang ada, kita diingatkan akan pentingnya peran perempuan dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan, terutama dalam situasi konflik sosial. Semoga buku ini menjadi awal dari seri yang menginspirasi lebih banyak lagi, dan semakin banyak agensi perempuan yang terlibat untuk mengubah budaya patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat.
Dibutuhkan Dukungan dan Kekuatan Kolektif
Terakhir, Staf Media AMAN Indonesia Yuyun Khairun Nisa mengungkapkan, proses endokumentasian cerita-cerita perempuan ini adalah sebuah perjalanan yang panjang. Dimulai dengan menghubungi para penerima manfaat program AMAN Indonesia, meminta persetujuan dari narasumber, melakukan wawancara, membuat transkrip dengan teliti hingga menjadi sebuah karya.
Dalam cerita ini, mengikis budaya patriarki menjadi tantangan bersama. Budaya patriarki telah mengakar kuat dalam masyarakat selama berpuluh-puluh, beratus, bahkan beribu tahun merupakan tantangan besar. ”Untuk itu, dibutuhkan dukungan dan kekuatan kolektif dari berbagai pihak mendorong partisipasi aktif dan bermakna perempuan dalam upaya membangun perdamaian,” pungkasnya.