Banda Aceh – Indonesia memiliki praktik baik dalam isu religious inclusion. Di mana terdapat dua organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan yang telah berkontribusi positif dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif. Ormas keagamaan tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hal tersebut disampaikan pada Pada sesi planery pertama Konferensi Internasional AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi, Rabu (15 Oktober 2023).
Pada planery pertama menghadirkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdallah, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A. Ph.D dan Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Islam Indonesia Internasional, Prof. Nina Nurmila, MA, Ph.D. Dalam kesempatan tersebut Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A. Ph.D menekankan perlunya menghormati dan mengakui keberadaan berbagai agama tanpa diskriminasi. Serta pentingnya kerjasama antara orang-orang dari berbagai agama untuk melakukan perbuatan baik dan taqwa (ketakwaan).
”Penting juga menjelajahi dan merujuk kepada Piagam Madinah, yang mengakui hak-hak orang dari berbagai latar belakang agama. Toleransi budaya tidak mengharuskan mengubah orang lain, tetapi lebih mendorong mereka untuk mengikuti agama mereka dengan tulus,” terangnya.
Selain itu, dirinya menyebutkan dokumen terkait Islam progresif yang mempromosikan perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan lima prinsip kunci: Tawhid (keesaan), mengikuti Al-Quran dan Sunnah, menghidupkan ijtihad (penalaran independen), mengembangkan Wasatiya (moderasi), dan menciptakan berkah bagi semua umat manusia.
Melalui zoom meeting, Ketua Lakpesdam PBNU, Ulil Absar Abdallah menegaskan suatu keharusan dalam teologi Islam dengan fokus pada mempromosikan perdamaian dan membangun kerukunan antara orang dari berbagai latar belakang. Pada pengalaman Natadul Ulama dalam menerima Pancasila sebagai dasar ideologi untuk organisasi negara Indonesia meskipun beberapa organisasi Islam menolaknya.
”Penerimaan Pancasila oleh Nadatul Ulama, yang mewakili bagian terbesar masyarakat Muslim di Indonesia. Mereka menerima Pancasila selama itu tidak bertentangan dengan teologi Islam. Menerima Pancasila menunjukkan penerimaan mereka untuk hidup secara damai dengan orang dari berbagai latar belakang dan menerima Indonesia sebagai negara modern,” terangnya.
Dirinya juga menjelaskan jika terdapat tiga jenis persaudaraan: Islamia (berdasarkan iman), Wataniya (berdasarkan kebangsaan), dan Bashariya (berdasarkan kemanusiaan). Ini menekankan pentingnya mencari titik temu dan memupuk kerukunan. Selain itu, dirinya juga menerangkan jika Mantan Ketua Umum PBNU, Gus Dur pengenalakan literatur baru yang memainkan peran penting dalam mempromosikan moderasi Islam dalam Nadatul Ulama.
”Adanya literatur baru tersebut membuat beragam bacaan dapat membantu beralih dari eksklusivitas ke inklusivitas,” tambahnya.
Terakhir, Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Islam Indonesia Internasional, Prof. Nina Nurmila, MA, Ph.D menerangkan jika Indonesia dibangun oleh prinsip bhineka Tunggal ika and Pancasila. Seorang muslim perlu mengadopsi Pancasila. Bagi dirinya, Pancasila tidak ada yang berkontradiksi dengan nilai Islam.
Dirinya pernah melakukan penelitian dan menerbitkan karya akademik tentang topik harmoni keagamaan dan hubungan antar beragama. Terlibat dalam diplomasi akademik untuk mempromosikan pemahaman tentang Islam dan memperkuat hubungan antaragama. Mendorong lembaga pendidikan tinggi untuk berperan dalam mempromosikan perdamaian dan keadilan.
”Dengan Mempromosikan nilai-nilai rasa hormat, toleransi, dan pemahaman di antara komunitas beragama yang berbeda. Memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan kepada mereka yang terkena dampak konflik dan bencana akan bisa terus membangun inklusi keagamaan di Indonesia,” pungkasnya.
Sebanyak 337 orang (178 perempuan dan 159 laki-laki) hadir secara offline yang berasal dari 17 negara yaitu Australia, Bangladesh, Germany, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, the Philippines, Singapore, Sri Lanka, Sweden, Thailand, the United States. Latar belakang peserta yang hadir sangat beragam yaitu kalangan praktisi, akademisi, ulama perempuan, pemerintah, mitra pembangunan, pekerja sosial, aktivis dan media.
Agenda Konferensi Internasional dan AMAN Assembly bertema ”Religious Inclusion and Peacebuilding in the World: the Perspectives of Muslims” di Auditorium Ali Hasyimi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 14-17 Oktober 2023. Agenda yang digelar empat hari tersebut, membahas Inklusi keagamaan menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua masyarakat dunia.
Mulai dari pencapaian umat Islam dalam mempromosikan kebebasan beragama, toleransi, dan perdamaian, termasuk mendukung kepemimpinan perempuan dan anak muda dalam pembangunan perdamaian serta mendiskusikan berbagai persoalan humanitarian, crisis, pengungsian dan Aceh menjadi salah tujuan pengungsian Rohinya dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir, dibahas juga perlawanan masyarakat dengan pendekatan negosiasi, serta kekerasan ekstremisme dari konteks anak muda dan perempuan.