Belum lama ini, WGWC Talk menggelar Talkshow dengan tema “Can We Find a Missing Peace in Youth Camp ‘Muda Toleran’ Program?”. Dalam agenda tersebut, hadir lima orang anak muda yang ikut dalam Youth Camp Muda Toleran yang diselenggarakan oleh INFID dan Gusdurian. Mereka adalah M. Kinzie Almeer Oey yang merupakan Founder Muara Indonesia; Qanita Qamarunnisa yang menjadi Staff Media Jemaat Ahmadiyah Indonesia; Wilsen Yungnata berasal Persekutuan Pemuda Pemudi Methodist Indonesia (P3MI); Ryan Richard Rihi yang berasal dari Youth Coalition for Girls; Nurul Annisa Ladjadji berasal Puan Menulis.
Dalam agenda ini, Youth Camp hadir sebagai oasis yang memberikan rasa aman dan menjadi ruang refleksi bagi pemuda untuk mempertimbangkan dan menemukan ”the missing peace” yang telah lama terabaikan. Menurut Steeting Commite (SC) Working Group on Women and CVE (WGWC) Debbie Affianty keterlibatan pemuda dalam ranah perdamaian dan keamanan yang masih sangat understudied. Selama ini korelasi orang muda dalam isu ini hanya sebatas sebagai pelaku atau korban, namun jarang yang memotret peran orang muda sebagai pelopor perdamaian.
Dari lima narasumber yang hadir, kelimanya memiliki latarbelakang yang berbeda. Salah satunya, Nurul Annisa Ladjaji yang berasal dari Poso. Dirinya kerap mendapatkan diskriminasi tentang Poso. Bahkan, dampak konflik Poso masih terasa hingga saat ini. Sebagai warga Poso, dirinya kerap memperoleh stigma sebagai teroris. ”Bahkan, ketika saya hadir dalam sebuah forum, Poso masih dianggap tidak aman karena pernah menjadi wilayah konflik. Itu yang sering rasakan hingga saat ini,” ucapnya.
Berikutnya, Qanita Qamarunisa yang merupakan seorang Ahmadiyah. Dia mendapatkan stigmatisasi karena perbedaan aliran agama yang dianut keluarganya. Ketiadaan ruang aman bagi kelompok penganut minoritas ini membuatnya memilih untuk menutup diri ketika bersosialisasi. Dalam diskusi terdapat, terdapat pertanyaan tentang faktor pendukung terwujudnya resiliensi atas ancaman intoleransi. Faktor keluarga dan lingkungan sekitar menjadi wadah awal dalam memupuk nilai-nilai toleransi dan pluralisme. Menariknya, para narasumber memiliki titik mula yang berbeda dalam berproses menjadi agen perdamaian.
Misalkan, Nurul Annisa Ladjaji yang dahulu merupakan individu intoleran dan diskriminatif, pada akhirnya belajar bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin dan menyadari perbuatannya salah. Lalu, Ryan Richard Rihi berasal dari keluarga besar dengan latar belakang agama berbeda, sehingga keragaman menjadi normalitas dalam lingkungannya.
Ryan menceritakan jika keluarganya yang beragama kristen namun sering mengajak teman-teman muslim yang menyewa kosannya untuk makan bersama. Bahkan mengizinkan mereka untuk mendoakan ayam yang akan disembelih. Kinzie Almeer Oey, seorang mualaf transman dari etnis Tionghoa juga mengalami diskriminasi akibat predikat triple minority yang ditanggungnya. Namun, ketangguhan ia peroleh karena adanya penerimaan dan rangkulan dari keluarga.
Terakhir, Qanita Qamarunisa seorang Ahmadiyah dan Wilsen Yungnata sebagai penganut Kristen di Aceh berangkat sebagai pihak yang mengalami diskriminasi dan intoleransi, menyadari pentingnya untuk mempromosikan perdamaian dimulai dari keresahan pribadi dan kelompoknya. Dalam diskusi ini, para narasumber menunjukkan, bahwa masing-masing individu memiliki multi-layer identitas ketika berada di masyarakat.
Terakhir, pembahasan tentang proses menjadi agen perdamaian, kelimanya bersepakat untuk turut merangkul masing-masing identitasnya dan memastikan toleransi tidak hanya diberlakukan ke identitas agama saja. Akan tetapi, juga suku, gender, disabilitas, dan mentalitas seseorang. Hal ini yang belum banyak dibahas dan dipromosikan ke pihak luas. Pembelajaran ini didapatkan dari proses pelaksanaan Youth Camp Muda Toleran yang memastikan ruang aman hadir untuk multi-layer identitas ini.
Sebagai penutup diskusi, Rani Dwi Putri peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gajah Mada (UGM) menilai pemuda sangat rentan menjadi aktor intoleransi hingga terlibat dalam aksi-aksi ekstremisme karena berada dalam proses pencarian status dan identitas (experiencing identity crisis). ”Sehingga, untuk meningkatkan resiliensi orang muda dibutuhkan wadah yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan intrapersonal dan interpersonal yang baik selama proses pencarian diri,” pungkasnya.