Kasus pelanggaran hak perempuan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia, terutama dalam hal kekerasan seksual. Dan Aceh menjadi salah satu wilayah yang perlu diperhatian. Sebab, Aceh menjadi wilayah yang pernah terjadi konflik. Konflik yang pernah terjadi di Aceh menjadi konflik panjang yang pernah terjadi di Indonesia yakni terjadi pada 1976 hingga 2005. Konflik tersebut, hingga saat ini masih menyisakan luka. Terutama bagi perempuan.
Dari data dan informasi yang dihimpun, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) menyerahkan temuan 9 kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Aceh di masa konflik. Dalam laporan Perkembangan Kerja KKR Aceh 2016-2021 menyebutkan bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual membutuhkan keahlian, teknik dan pendekatan tertentu.
Lebih lagi, Hasil Kajian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh menyebutkan bahwa salah satu tantangan yang dirasakan adalah proses pembuktian bahwa kejahatan seksual benar-benar terjadi ketika konflik. Banyak korban merasa bahwa pengalaman mereka tidak divalidasi. Di sisi lain, fakta bahwa korban kekerasan seksual dalam kondisi konflik tidak termasuk kriteria korban yang mendapatkan kompensasi juga menyebabkan semakin beratnya proses pemulihan para korban di berbagai sisi, mulai dari medis, psikologis, sosial budaya hingga ekonomi.
Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzaman mengungkapkan masalah yang terjadi di Aceh disebabkan oleh ketidaktepatan nomenklatur dan kurangnya tanggung jawab dari lembaga yang seharusnya bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan pemenuhan hak korban tidak terpenuhi dan suara mereka tidak didengar.
”Terutama bagi perempuan yang menjadi korban konflik, mereka tidak memiliki ruang untuk bersuara dan melaporkan pelanggaran yang mereka alami,” ungkapnya pada saat forum yang diselenggakan oleh AMAN Indonesia, belum lama ini.
Meskipun begitu, saat ini pemerintah nasional sudah membuat sejumlah aturan kekerasan seksual. Bahkan, dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) beserta peraturan turunannya menjadi angin segar penanganan kekerasan seksual di wilayah konflik. Harapannya penanganan kasus dalam situasi khusus tersebut dapat dieksplisitkan, setidaknya karena dua hal. Pertama, mengingat bahwa kekerasan seksual di wilayah konflik masih menjadi pekerja rumah yang perlu diselesaikan semua pihak. Kedua, saat ini minimnya aturan yang kuat di tingkat nasional yang membahas mengenai penanganan kekerasan seksual di wilayah konflik.
Adanya UU TPKS dapat bersinergi dengan kebijakan adalah Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS). Aceh menjadi wilayah yang tepat dalam menurunkan RAN P3AKS menjadi Rancangan Aksi Daerah (RAD) P3AKS. Dalam salah satu forum yang pernah diselenggarakan oleh AMAN Indonesia, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Amrina Habibie menjelaskan jika RAD P3AKS Aceh menjadi aksi yang komprehensif dengan membangun koordinasi untuk mencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.
Dalam kesempatan yang sama, Amrina juga menegaskan jika RAD memiliki peran yang strategis untuk menjawab permasalahan yang belum selesai yaitu hak keadilan, hak korban dan hak beneran. Pada tahun 2022, Aceh mengesahkan RAD P3AKS dan dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Dengan dikeluarkan Pergub tersebut, menurut Suraiya Kamaruzaman, Kesbangpol juga mengakui pentingnya gerakan sipil karena awalnya gerakan ini yang membuat perubahan pergantian dinas. Kemudian, gerakan perempuan di Aceh melakukan konsolidasi besar yang kemudian semua aksi yang dilakukan oleh masyarakat sipil dijadikan sebagai dokumen masukan kepada pemerintah.
Akan tetapi, Kelembagaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan KKR masih lemah, dan meskipun KKR sudah ada di Aceh, akan tetapi undang-undang KKR nasional dibatalkan. Hal tersebut membuat dokumen nasional menjadi terbatas. Masalah kedua di internal KKR adalah kelembagaannya masih perlu diperkuat karena hanya berlangsung selama 5 tahun untuk komisionernya. Di sisi lain, jaminan sosial dan keamanan perempuan pekerja HAM dan perdamaian muncul ketika konsolidasi teman-teman pendamping korban kekerasan mengalami intimidasi dari pelaku.
Dalam hal program pemulihan korban konflik, penting bagi pemerintah untuk memperkuat strategi dan perencanaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan sekali atau dua kali. Melainkan, memberikan dukungan jangka panjang yang mampu memenuhi kebutuhan dasar korban. ”Terutama perempuan. Dengan demikian, harapannya korban konflik, terutama perempuan, dapat memulihkan diri secara menyeluruh dan membangun kehidupan yang lebih baik di masa depan,” pungkasnya.