Nyadran dilakukan turun temurun oleh masyarakat di banyak tempat. Di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung, tradisi itu menjadi unik karena dikemas dalam “Nyadran Perdamaian”, yang diikuti semua unsur agama dan kepercayaan.
Pagi di Jumat Pon (11/2), ketika kabut tipis masih menyelimuti wilayah desa, orang-orang di Dusun Krecek dan Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung sudah sibuk menyiapkan berbagai makanan ringan dan masakan yang hendak dimasukkan dalam tenong. Hari itu, ada nyadran yang digelar di makan desa.
Sejumlah pemuda dan pemudi terlihat mondar-mandir. Beberapa di antaranya mengambilng barang dari mobil berplat nomor B dan D.
“Saya dari dari Palembang, tapi datang ke sini (Dusun Krecek) bersama rombongan dari Jakarta dan Bandung,” kata Maryani, asal Palembang.
Romongan pemuda, juga ada biksu, dari luar Dusun Krecek yang berdatangan. Mereka bukan hendak berwisata, meliput, atau menyaksikan kegiatan yang dilaksanakan warga.
Mereka merupakan peserta “Nyadran Perdamaian”. Selama empat hari mereka berbaur dengan masyarakat setempat.
Selain mengikut Nyadran, tamu-tamu itu juga diajari tentang seni pertunjukan, sesaji, karawitan, meditasi, diskusi tentang perempuan, bermain permaianan tradisional, dan sebagainya.
Semua ditujukan demi kebersamaan, kerukunan, dan persatuan.
Penggerak pemuda Dusun Krecek, Ngasiran mengatakan, nyadran sebenarnya mengandung banyak nilai kehidupan, seperti kerukunan.
Bila itu tidak diteruskan generasi muda, akan hilang. Karena itu, pemuda Krecek dibantu The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia mencoba membuat narasi baru tentang tradisi Nyadran.
Sejak 2019, mereka menggelar “Nyadran Perdamaian”.
“Tidak ada yang berubah dari tradisinya. Hanya, dalam acara ini kami menghadirkan anak-anak muda dari berbagai daerah untuk belajar dari tradisi nyadran. Ada apa saja di nyadran. Ada sesaji, kita adakan kelas sesaji. Ada juga kelas karawitan, kelas perempuan bertutur, ada juga kelas meditasi. Nyadran Perdamaian merupakan upaya kami menjaga tradisi lintas generasi,” kata Ngasiran.
Sebelum ada “Nyadran Perdamaian”, menurut dia, kegiatan itu hanya diiikuti laki-laki. Kemudian muncul banyak pertanyaan, apakah kaum perempuan juga bisa turut serta?
“Ternyata tidak ada larangan. Sekarang nyadran mulai diikuti perempuan. Proses transfer pengetahuan ini juga kami kemas dalama kelas perempuan bertutur,” kata Ngasiran.
Keterlibatan warga luar Dusun Krecek dalam proses nyadran dan kegiatan lainnya mendapat dukungan dari warga dan pemerintah desa.
Orang-orang yang ikut program live ini di dusun itu diajak berbaur dengan masyarakat. Peserta dari berbagai agama dan kepercayaan yang hadir diminta mempelajari apapun tentang nyadran, terutama yang terkait dengan nilai-nilai toleransi.
“Yang datang ke Krecek, kami ajak untuk nguri-nguri budaya. Kegiatan disini untuk persatuan, untuk keseimbangan antarmanusia dan juga alam,” kata Kadus Krecek Sukoyo.
Karena dalam “Nyadran Perdamaian” tidak sekadar mengikuti ritualnya, mereka yang datang dari kota-kota besar rata-rata merasa mendapatkan “kehidupan baru”. Hidup rukun, damai, tenang, saling bertoleransi, serta bersahabat dengan alam membuat mereka betah.
Di akun media sosial Dusun Krecek pun banyak, yang mengungkapkan kerinduan dan berharap bisa datang lagi ke tempat itu.
“Ini pengalaman pertama saya datang ke Krecek. Saya kagum. Mereka bisa bergabung tanpa melihat gama dan kepercayaan. Bisa menyatu. Mereka welcome, jadi saat saya di Krecek seperti pulang ke rumah sendiri. Disini belajar kebudayaan, kebersamaan. Ada gotong-royong, juga makan bersama yang itu jarang ada di perkotaan,” kata Meijing dari Jakarta.
Biksu Nirmana Sasana, asal Bandung yang datang bersama rombongan juga mengungkapkan pernyataan senada.
Dia melihat dan merasakan keharmonisan di Dusun Krecek luar biasa.
Dia mengaku banyak belajar di Krecek, dari kesenian hingga kehidupan.
“Nyadran Perdamaian dihadiri semua unsur, tidak ngomong soal agama, ras, suku, dan kepercayaan. Ini memberi inspirasi bahwa damai itu indah sekali. Ada kerukunan dan kedamaian. Dari kedamaian menciptakan keamanan. Kalau sudah seperti itu, hidup kita tidak ada rasa takut lagi. Mau kemana saja semua teman dan saudara, tidak ada saling curiga. Semua terbuka, “ kata dia.
Nila-nilai itu yang di kota besar tidak ada. Di Dusun Krecek, menurut dia, semua satu keluarga. Saling bertenggang rasa dan hormat.
Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang mau diributkan” kalau kita damai, saya yakin alam juga akan damai,” katanya.
Maskur Hasan, dari AMAN Indonesia mengatakan, peserta yang mengikuti “Nyadran Perdamaian” bisa belajar banyak hal.
Nyadran merupakan media perdamaian, sehingga pihaknya bersama warga terus mempromosikan ke tingkat nasional dan internasional.
“Dalam Nyadran Perdamaian ada kelas perempuan bertutur. Ada edukasi keterlibatan perempuan dalam kegiatan tradisi. Anak muda, terutama perempuan, banyak yang belum tahu. Padahal perempuan merupakan salah satu faktor penentu sebuah generasi. Akhirnya pada 2019 saat mulai Nyadran Perdamaian, kami libatkan juga perempuan. Semua kegiatan di Krecek kami framing pada nilai-nilai perdamaian dan kerukunan,” kata dia.
Menular
Pada Nyadran Perdamaian yang dibuka Rabu (9/2) lalu, peserta juga mengikuti kenduri desa.
Mereka makan bersama warga Dusun Krecek. Hari berikutnya, Kamis (10/2), rombongan diajak meditasi di curug, mengikuti kegiatan rutin warga seperti memasak dan sebagainya.
Setelah makans iang, mereka mengikuti kegiatan dolanan anak, keliling dusun, belajar karawitan, dan berdiskusi.
Pada Jumat pagi (11/2) peserta mengikuti nyadran di makan des ayang melibatkan warga Dusun Krecek dan Gletuk, dilanjutkan kegiatan berutur di pendapa dusun, serta menyaksikan pertunjukan kesenian.
Kegiatan itu juga didukung oleh Peace Leader Indonesia, Buddhazine.com, dan Sekolah Perempuan Catur Manunggal.
Lurah Getas Dwiyanto mengungkapkan, kegiatan warga dilakukan secara spontan. Tanpa diperintah, masyarakat hadir sesuai hitungan pasaran Jawa.
“Tidak ada pengumuman. Semua toleran, doa juga bergiliran. Ini yang kami tularkan kepada tamu-tamu.”
Pada Sabtu (12/2), peserta diminta memberi kesan dan pesan.
“Kalau promosi acara ini lebih gencar dan banyak orang tahu, saya yakin jadi agenda yang menarik, terutama anak muda. Kelak saya ingin balik lagi ke sini,” kata Maryani dari Palembang.
Camat Kaloran Muhammad Ja`far Khudhori menjelaskan, kegiatan tersebut punya keistimewaan dan perlu dilestarikan.
“Banyak hikmah kegiatan ini. Membangun guyub rukun, kebersamaan, kerjasama atau gotong royong. Tidak usah melihat agama dan kepercayaan. Yang penting toleransi dan kebersamaan, kerjasama yang yang baik. Saling mengharga dan menghormati.”
Menurut dia, Nyadran Perdamaian juga sebagai bentuk kasih sayang. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan alam sekitar.
“Bumi, langit, pohon, dan air yang ada ikut senang dan bahagia. Ketika ada teknologi dan pengetahuan, budaya yang ada jangan sampai punah, hancur, ataupun hilang. Rakyat harus terus bangkit dan bangun. Krecek dan Gletuk membangun Indonesia,” kata dia.
Perwakilan dari Kementerian Agama yang menangani agama Buddha, Suwardi berharap agar toleransi dari warga Desa Getas bisa menular ke daerah-daerah lain. Menurutnya, tradisi dan adat istiadat di setiap daerah bisa meleburkan perbedaan, bukan sebaliknya.
“Kita lihat semua bisa duduk bersama tanpa ada pembeda. Kalau di sini bisa, saya yakin di daerah lain juga bisa sehingga kerukunan ini bisa menyebar, terangkat dan berjalan dengan baik,” tuturnya.
Sumber tulisan: Nugroho DS, dalam koran Suara Merdeka, Senin, 14 Februari 2022