Seminar Nasional MIH UGM x WPS Lecturing Goes to Campus Vol.II: Membangun Damai dari Ruang Akademik

WPS Lecturing Goes to Campus kedua ini merupakan kerjasama antara AMAN Indonesia dengan Seminar Nasional Magister Ilmu Hukum UGM pada Hari Jumat, tanggal 22 November 2024. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid bertema: Women, Peace, and Security. Agenda luring dilaksanakan di Auditorium Fakultas Hukum UGM, melibatkan 63 peserta online (42 perempuan dan 21 laki-laki) dan 80 (54 perempuan dan 26 laki-laki) peserta hadir langsung di tempat. Secara total terdiri dari 143 orang, 96 perempuan dan 47 laki-laki. Peserta terdiri dari mahasiswa S1 dan S2 Ilmu Hukum, serta beberapa undangan dari praktisi hukum di sekitar Yogyakarta. Diskusi dimoderatori oleh Diantika RIndam Floranti, S.H., LL.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM), dan menghadirkan Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan 2010-2014) dan Dwi Rubiyanti Kholifah (Country Representative AMAN Indonesia). 

Ruang kolaborasi ini sekaligus menjadi penutup perkuliahan semester ganjil pada tahun 2024. Sri Wiyanti, Ketua Program Studi menyampaikan betapa pentingnya akademisi terlibat aktif dalam agenda WPS melalui penelitian dan pengabdian. “Prodi Magister Ilmu Hukum memiliki visi dan misi untuk mengembangkan pembelajaran hukum yang kritis, solutif, dan inovatif. Artinya, kita perlu membuka diri untuk berbagai isu yang penting dan marak terjadi, termasuk konflik yang berkaitan dengan agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Karena perempuan tidak hanya sebagai korban, tapi juga juru damai.”

Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014 menyampaikan sejarah Rekomendasi Dewan Keamanan PBB 1325, substansi kunci WPS, kaitan gender dan WPS, serta konsep implementasi WPS dalam membangun damai. Ia menjelaskan bagaimana norma internasional tidak muncul dengan proses yang mudah. Ada seorang pelapor PBB, Elizabeth Rehn yang mengupayakan informasi mengenai kekerasan seksual dalam konteks konflik menjadi perhatian PBB. Ada perempuan pemberani dari Aceh, Papua, dan Timor Leste menyampaikan kepada Radika Coomaraswamy (PBB) di Komnas Perempuan mengenai kondisi keamanan perempuan di wilayahnya.  Pada saat perumusannya, UNSR juga melibatkan perempuan tedampak konflik dan organisasi perempuan. Meski demikian, Resolusi DK PBB 1325 juga memiliki beberapa kekurangan, seperti kurang menekankan keadilan transisional sebagai syarat perdamaian dilakukan. 

Dirilisnya Resolusi DK PBB 1325 juga menjadi pertanda bahwa isu keamanan dan perdamaian tidak selalu harus didekati dengan cara maskulin. Isu keamanan bukanlah milik lembaga pertahanan saja. Yuni juga memberikan contoh yang terjadi di Poso. “Penyelesaian konflik yang diterapkan maskulin, represif, segregatif, transaksional, sehingga membangun harmoni yang artifisial. Tapi orang tidak diajak seperti apa sih membangun damai sejati yang saling paham dsb.”

Proses yang feminim salah satunya diterapkan melalui mediasi dengan kerangka WPS. Perempuan perlu ter-representasi dalam setiap proses perdamaian, khususnya perempuan marginal. Menurutnya, membuat setiap perempuan diakui sebagai agensi, dan tidak harus dilaksanakan diruang formal. Ruang mediasi berbasis komunitas yang inklusif dan berkelanjutan. Yuni mengelaborasi dengan praktik baiknya menjadi Juru Damai di konteks konflik Dayak-Madura dan konflik komunitas anak muda. Ia juga menekankan penting bahwa damai tidak hanya tentang komunal, namun juga personal. “Perdamaian itu harus juga damai dengan dirinya, mentransformasi kesadaran gender dalam dirinya, mengurangi maskulinitas yang kadang menjadi sumber agresi maupun konflik yang destruktif”

Selanjutnya, Dwi Rubiyanti Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia menjelaskan beberapa strategi AMAN Indonesia dalam membangun damai. Pendidikan kritis yang salah satunya melalui Sekolah Perempuan Perdamaian, konsolidasi suara progresif, advokasi, serta diseminasi tafsir progresif.

Ia juga memutarkan video animasi mengenai praktik baik Obertina, seorang Pendeta Perempuan Gereja Kristen Pasundan dalam membangun perdamaian. Obertina menginsiasi berbagai pendekatan non kekerasan untuk membuka penerimaan warga terhadap perbedaan, sehingga harapannya Jemaat GKP bisa beribadah dengan nyaman.

“Seperti Pendeta Obertina, hampir semua perempuan-perempuan perdamaian di akar rumput yang saya temui itu juga sangat kental dengan narasi kehidupan. Percaya bahwa kemanusiaan itu tidak bisa dikalahkan.”

Peserta diajak melihat proses inklusi di mana Pendeta Obertina berbicara dengan pembencinya. Dalam konteks pembangunan perdamaian, ini mampu mengembalikan narasi kemanusiaan di sisi pembenci. Ruby menyampaikan, setelah dilaksanakan sejumlah dialog bersama AMAN Indonesia sembari menggali pengalaman positif mereka dengan Gereja, sehingga membuka penerimaan terhadap GKP. 

Oleh karenanya, menurut Ruby, Resolusi DK PBB 1325 menjadi kebijakan yang sangat penting. “WPS ini adalah sebuah kerangka penting karena inilah pertama kali di dunia meletakkan agenda perempuan dalam kerangka yang di luar agenda pemberdayaan perempuan, tapi masuk ke security council”

Beberapa kesan baik didapatkan dari peserta. Mayang, Fakultas Hukum semester 1 salah satunya. “Ternyata kesetaraan gender banyak aspeknya dan langkah yang bisa ditempuh. Saya menemukan cara menyelesaikan konflik dengan pendekatan perempuan.”

Burmawi, salah satu mahasiswa Magister Ilmu Hukum berharap agenda ini bisadilaksanakan reguler satu bulan sekali. “Setelah mengikut acara yang sangat insightful. Ternyata perjuangan perempuan untuk bisa sampai di titik ini sangat berat. Saya juga mengetahui di masa lalu ada kekerasan seksual yang dialami, dan banyak keadilan belum dicapai oleh perempuan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.