Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan tokoh. Ia adalah ruang ingatan kolektif, tempat bangsa mengenali luka dan memetik pelajaran. Karena itu, setiap upaya penulisan ulang sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan mendasar; narasi siapa yang sedang dibentuk, dan suara siapa yang masih dibungkam?
Beberapa waktu terakhir, agenda pemerintah terkait penulisan ulang sejarah nasional memicu pro dan kontra. Wacana ini, di satu sisi, membuka peluang untuk merevisi penulisan sejarah yang selama ini dominan dari sudut pandang tertentu. Namun di sisi lain, juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penghapusan memori kolektif atas peristiwa-peristiwa sensitif, seperti kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi kerusuhan Mei 1998.
Kerusuhan tersebut bukan hanya tentang pergolakan politik. Ia juga menyimpan kisah pilu dari perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan rasisme. Sebagaimana diungkap oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan.
Namun, hingga kini keberadaan mereka kerap diragukan. Bahkan tak jarang dicap sebagai rumor oleh pejabat negara. Seperti ucapan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, yang merujuk peristiwa tersebut sebagai ‘rumor’, berpotensi menambah luka bagi para korban yang hingga kini masih memperjuangkan pengakuan dan keadilan (Tempo, 2025).
Dalam teori sosial budaya, sejarah selalu lahir dari relasi kuasa—siapa yang punya otoritas untuk menentukan cerita yang layak dikenang, dan siapa yang dipinggirkan. Di sinilah kita melihat bagaimana perempuan, khususnya korban kekerasan, selama ini belum dianggap sebagai subjek dalam sejarah.
Padahal, sejarah yang adil adalah sejarah yang memulihkan. Bukan hanya mencatat kemenangan, tetapi juga mengakui masa kelamnya. Bukan hanya menampilkan para pemenang, tetapi juga memberi ruang bagi mereka yang tertindas. Dalam konteks inilah, kita perlu mengingat prinsip dari kerangka kerja Women, Peace, and Security (WPS) bahwa perdamaian sejati tidak dapat terwujud tanpa adanya penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak korban.
Narasi sejarah bukan sekadar kumpulan arsip. Ia membentuk identitas dan cara pandang suatu bangsa terhadap dirinya sendiri. Sejalan dengan itu, sejarawan Asvi Warman Adam menilai bahwa sejarah tidak boleh dikuasai sepihak oleh kekuasaan. Oleh karena itu, penyusunan sejarah perlu melibatkan berbagai perspektif dan pengalaman masyarakat agar tidak hanya berfungsi sebagai legitimasi politik, melainkan juga sebagai cerminan kejujuran dan keberagaman bangsa.
Kekhawatiran terhadap sejarah yang ditulis dengan tafsir tunggal juga diutarakan oleh berbagai pihak. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung dan Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyampaikan bahwa negara tidak berhak mengambil alih kuasa untuk menentukan akhir dari sebuah sejarah secara sepihak.
Menurutnya, hanya rezim dengan sistem totaliter yang melakukan rekayasa sejarah secara manipulatif (Rachmadita, 2025). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh sejarawan Bonnie Triyana yang mendorong keterbukaan proses agar publik bisa mengawasi dan ikut berdialog secara sehat.
Pernyataan Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, memberikan pengingat penting tentang urgensi kehati-hatian dalam menulis ulang sejarah. Ia menekankan bahwa proses ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan harus disertai dengan upaya serius mengungkap kebenaran atas pelanggaran HAM di masa lalu. Refleksi ini menunjukkan bahwa tanpa penuntasan dan pengakuan terhadap kebenaran, sejarah dapat dimanfaatkan sebagai alat propaganda yang justru menutupi kesalahan masa lalu. Lebih jauh lagi, hal ini berisiko membuka peluang bagi tragedi serupa untuk terulang. Maka dari itu, pendekatan kritis dan jujur dalam merekonstruksi sejarah menjadi sangat krusial agar generasi mendatang tidak dibesarkan dalam narasi yang menyesatkan.
Dalam konteks Mei 1998, kita tidak hanya bicara tentang trauma masa lalu, tetapi juga soal keberanian untuk mengakui bahwa negara pernah gagal melindungi warganya. Sejarah yang menyingkirkan perempuan adalah sejarah yang cacat. Karena itu, penulisan ulang sejarah seharusnya menjadi momentum untuk memperluas perspektif dari yang sentralistik ke yang inklusif, dari yang maskulin ke yang mengakomodir pengalaman perempuan.
Realitanya, dalam banyak konflik di dunia, peran perempuan baik sebagai penyintas maupun agen perdamaian kerap diabaikan. Hal serupa terjadi di Indonesia. Di tengah wacana penulisan ulang sejarah, suara perempuan harus terus diperjuangkan agar tidak tenggelam.
Seperti dikatakan oleh banyak aktivis dan sejarawan bahwa sejarah yang adil bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa depan, tentang jenis bangsa seperti apa yang ingin kita bentuk. Tentu harapannya sebagai bangsa bisa memaafkan tanpa melupakan, merawat ingatan sebagai bagian dari pemulihan dan mencegah terjadinya kekerasan berulang.
Sebagaimana diungkap dalam artikel Slate, “history is written by the victors” dan karena itu penting bagi kita untuk memastikan narasi sejarah tidak hanya dikuasai oleh para pemenang, tetapi juga mencakup suara mereka yang selama ini tertindas dan terlupakan (Phelan, 2019).
Maka, ketika kita bicara tentang penulisan ulang sejarah, bukan hanya pertanyaan “sejarah versi siapa yang akan ditulis,” tetapi juga “apakah kita cukup berani untuk menuliskan sejarah yang memberi tempat bagi semua suara, terutama mereka yang selama ini dibungkam?”