Kisah Resiliensi Para Petani Kopi Perempuan Melawan Bias Gender dan Krisis Iklim

Sudah minum kopi hari ini? Di mana belinya, gerai biasa yang baristanya mirip Ben-Filosofi Kopi atau yang penting ada promo? Apa benar perempuan penyuka kopi hitam tanpa gula level cantiknya naik?

Perihal kopi, dari pertanyaan di atas saja, perempuan lebih banyak masuk kategori penikmat, dibanding posisi barista, pebisnis, produsen hingga petani, yang seolah identik dengan lelaki. Bahkan, keterlibatan petani kopi perempuan dalam beberapa komunitas di perkebunan tak seketika membuat industri ini menjadi lebih setara. Sebab mayoritas penentu keputusan, dari menentukan harga kopi, pengemasan sampai pemasaran, masih umum dikontrol laki-laki.

Hampir semua provinsi di Indonesia memiliki lahan perkebunan kopi yang menyebabkan Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia, dengan produksi sekitar 789.000 ton per tahun, menurut Kementerian Pertanian untuk 2022-2025. 

Beberapa tahun terakhir pun, tren konsumsi kopi dalam negeri menunjukkan lonjakan, tidak lagi sekadar urusan ekspor, tapi kini seolah bagian gaya hidup. Mulai dari meja sarapan sampai obrolan di kedai kopi. Menariknya, tren itu seolah punya gender. Lelaki dengan Americano, Espresso atau Doppio, Perempuan dengan Latte dan Frappe. Yang tentu sangat berbeda dengan istilah kopi lanang dalam benak para petani. 

Bila penikmatnya seolah terbagi-bagi, bagaimana dengan petaninya, ketika kopi masih berbentuk perkebunan? Hanya lelakikah yang mampu mengelola perkebunan kopi, ketika krisis iklim menghadang di muka? 

 

Tentang  Petani Kopi Perempuan 

Berdasarkan data Organisasi Kopi Internasional menunjukkan kontribusi perempuan terhadap industri kopi global cukup signifikan yakni 20-30% penanaman kopi dikelola oleh perempuan. Bahkan 70% tenaga kerja perempuan, dan semestinya hal ini bukan cuma sekadar angka statistik saja.

Magdalene pernah meliput tentang kopi, terutama petani kopi perempuan. Dalam sebuah diskusi daring, peneliti dan spesialis gender World Agroforestry (ICRAF), Elok Mulyoutami menuturkan, kesetaraan gender dapat dihasilkan dalam sistem agroforestri kopi, dengan melibatkan perempuan lebih banyak serta menciptakan sistem yang adil untuk mereka. 

Dalam liputan itu, Elok menjelaskan alasan sistem agroforestri perlu diimplementasikan pada kopi. Para petani kopi umumnya hanya menikmati hasil panen satu kali dalam setahun. Dengan menanam pohon atau tanaman pelindung lain seperti rempah-rempah, buah, dan sayur atau tanaman pelindung lain dengan jarak tanam yang diatur, hal itu diasumsikan bisa mendongkrak produksi kopi. Sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.

Selain itu, Elok juga membahas usulan pembagian relasi yang adil antara lelaki dan perempuan dalam keluarga petani kopi. Dengan pembagian tugas yang lebih setara baik dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga maupun dalam manajemen dan pengolahan kopi.

Dalam artikel ini, penulis membagikan 3 komunitas petani kopi perempuan. Ketiganya menjadikan kopi bukan sekedar penggerak ekonomi atau yang urusannya tentang bisnis, melainkan alat untuk mengurangi dampak krisis iklim dan meruntuhkan bias gender yang masih mengakar kuat di masyarakat.

Kelompok Tani Kopi Wanoja – Kabupaten Bandung

Didirikan setelah masa pensiun Ety Sumiati pada tahun 2010, Kelompok Tani Kopi Wanoja  binaannya berhasil menjadi pelopor gerakan tani perempuan, sekaligus tumbuh menjadi korporasi penyedia kopi yang melayani pengiriman ke negara Timur Tengah, Amerika hingga Eropa; serta konsisten menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau.

Katanya, di awal dia mengajak ibu-ibu bukan sekadar cari uang untuk tambah penghasilan keluarga, melainkan untuk menjaga lingkungan. “Akar kopi itu kuat, bisa cegah erosi, bisa cegah banjir,” tutur Ety. Ia juga membagikan bagaimana lahan seluas 118 hektar ditanami sekitar 200.000 pohon kopi oleh 108 petani yang sebagian besar adalah perempuan.

Keunikan dari Kelompok Tani Kopi Wanoja bukan hanya terletak pada mayoritas anggotanya perempuan sesuai dengan arti dari Wanoja, tetapi juga pada cara mereka berkomitmen membangun komunitas, dan bisa saling berdialog jika menghadapi persoalan. 

KTH Griya Bukit Jaya, Cisurupan, Jawa Barat

Masih dari Jawa Barat, ada Hendah, perempuan muda pembina 300-an petani kopi laki-laki dan perempuan di Cisurupan. Awalnya mereka bermaksud menghidupkan kembali lahan gundul milik Perhutani.  

Sebelum ia mengajak petani lain untuk budidaya kopi yang benar,  Hendah sendiri yang memulai menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan. Misalnya, memakai  pupuk dari kompos kulit kopi dan melakukan panen kopi yang benar, yaitu hanya memanen kopi yang sudah merah. 

Dari uji cobanya, kopi yang sudah merah lebih siap jatuh, sehingga tidak terlalu ‘sakit’ bila dipetik. Bila kopi yang dipetik masih muda, masih hijau, masih kuat melekat di batang, justru akan ‘melukai’. Menurut temuannya, apabila pohon kopi merasa ‘terluka’, akan berimbas panen berikutnya tidak akan banyak. Usaha memetik kopi tersebut memang jadi lebih memakan waktu lama, sebab harus memilih buah yang sudah merah. 

Ketika mendapatkan SK Perhutanan Sosial tahun 2017 bersama dengan 100-an petani lain dari Jawa Barat. Hendah dan petani lain mengaku lebih kuat. Mereka bisa mengolah lahan dengan tenang tanpa harus memikirkan pungutan-pungutan liar yang menuntut bagi hasil. Kini fokus Hendah lebih kepada meningkatkan kualitas kopi, dengan metode dan sistem pertanian yang benar dan ramah lingkungan. 

 

Lady Farmer Coffee, Karangkobar, Banjarnegara

Lain Jawa Barat, lain Jawa Tengah. Kelompok Lady Farmer Coffee hadir di tahun 2015. Mulanya, sebagian perempuan petani kopi di Karangkobar hanya menjual hasil panen berupa buah ceri kopi atau barang mentah. Sekarang, mereka juga memproduksi barang jadi seperti green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan. 

Menurut koordinator Lady Farmer Coffee di Karangkobar, Banjanegara, Farida Dwi Ermawati atau dipanggil Wiwik, perubahan tersebut terjadi karena dia senantiasa mendorong para perempuan petani kopi lebih berdaya. Di tengah realita adanya diskriminasi pasar dan krisis iklim, mereka berdiskusi dan mencari solusi menjawab tantangan terkini. 

Di samping itu, Wiwik juga menjelaskan bahwa mulai dari panen sampai mengolah biji kopi hingga siap untuk dipasarkan, semua memerlukan  sinar matahari. Karenanya kelompok tani tersebut  menginisiasi pemasangan panel surya dalam menunjang proses produksi. Setidaknya, untuk pengeringan, petani bisa terbantu dengan listrik energi terbarukan. 

Dari ketiga kisah tersebut, memperlihatkan bahwa peran perempuan dalam industri perkopian tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi aspek lainnya seperti krisis iklim dan upaya pemberdayaan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *