Dari Korban Hingga Agen Perubahan: Perempuan dalam Dinamika Sejarah Indonesia

Batalnya peluncuran buku sejarah nasional yang direncanakan pada momentum Hari Ulang Tahun ke-80 Indonesia menjadi perbincangan kembali. Buku yang direncanakan berjumlah sepuluh jilid ini merupakan proyek penulisan ulang sejarah. Sebuah proyek yang diprakarsai oleh pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan. Kelak buku tersebut sebagai ”buku babon” sejarah resmi yang menjadi rujukan di sekolah-sekolah. 

Tentu ada alasan mengapa pemerintah menunda peluncuran proyek penulisan ulang sejarah tersebut. Sebagai warga negara, upaya penulisan ulang sejarah ini seharusnya mendapatkan perhatian dan antusiasme. Akan tetapi, pro kontra publik rupanya membayangi proyek ini. 

Selama ini, kita menganggap bahwa sejarah merupakan narasi besar, berkutat pada siapa yang menang dan siapa yang berkuasa. Ada kesan sejarah Indonesia yang biasa kita dengar dan baca saat ini kurang mencerminkan keberagaman bangsa. Sejarah yang kita baca selama ini berpusat pada sosok para raja, jenderal, politikus hingga pahlawan. Dan kesemuanya berkisah laki-laki nan gagah perkasa di medan perang atau perebutan kekuasaan. Narasi-narasi yang dibangun cenderung maskulin dan elitis. 

Dimana suara perempuan—yang sering kali menjadi korban hadir? Atau jika bukan sebagai korban, bagaimana kiprah tokoh perempuan dalam kancah perjanalnan bangsa Indonesia. Apakah proyek penulisan ulang sejarah ini telah mengakomodir cerminan keberagaman bangsa tadi? Oleh karena sifatnya yang top -down, dari atas yakni para elit dan penguasa, proyek ini jelas akan memunculkan keraguan dan penolakan sebagian masyarakat. 

 

Tragedi Mei 1998 Dihilangkan 

Salah satu peristiwa kelam sejarah kita adalah kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998. Kekerasan seksual terhadap perempuan biasa dijadikan sebagai taktik konflik atau perang. Seperti halnya saat tragedi Mei 1998, perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan massal. Belakangan ini, menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara dengan Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, menyangkal terjadinya pemerkosaan massal tersebut. Fadli Zon menyebut perisitiwa itu sekadar rumor belaka lantaran tanpa disertai bukti dan data valid. 

Padahal, Presiden BJ Habibie pernah menyatakan bahwa peristiwa itu benar terjadi. Bahkan atas desakan masyarakat untuk penyelidikan, Presiden Habibie merespons dengan membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta). Laporan itu jelas menyebutkan korban dan dampak serta rekomendasi atas tragedi. Tim tersebut juga memberikan sejumlah rekomendasi, seperti perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum. Namun demikian, hingga kini, negara belum menindaklanjuti rekomendasi tim. Hal ini menjadi bukti bahwa negara masih abai terhadap korban kekerasan, terutama perempuan.

Bercermin dari peristiwa tersebut, suara perempuan atau korban yang hilang menjadi bukti bahwa pengalaman mereka tak penting. Hal itu tak lain hasil dari budaya patriarki yang senantiasa membayangi. Penghapusan sejarah kekerasan terhadap perempuan, misalnya, sama dengan menjadikan mereka korban untuk kedua kalinya. Penulisan sejarah ulang ini semestinya menjadi momen menghadirkan suara mereka sebagai bentuk keadilan. Selain itu sebagai upaya agar bangsa ini tak mengulangi kekerasan yang sama.

 

Bukan Sekadar History, tetapi Meneguhkan Her Story

Jika kita menilik sejarah perjalanan bangsa kita, selama ini sejarah perempuan dan pergerakannya kerap terpinggirkan. Sebut saja nama-nama Rohana Kudus, Suwarsih Djojopuspito, Maria Ulfah, atau Francisca Fanggidaej. Para tokoh perempuan ini begitu asing hingga serasa tak terdengar. Narasi peristiwa penting seperti Kongres Perempuan 1928 hingga Konferensi Perempuan Asia Afrika 1950-an juga sama sunyi. 

Padahal, perempuan juga merupakan subjek sejarah, bukan hanya objek. Narasi yang dihadirkan pun tak hanya soal ketokohan perempuan, namun juga bagaimana semangat mereka berjuang. Momen penulisan ulang sejarah ini sepatutnya bukan semata menghadirkan history namun juga her story. Dengan demikian, proyek penulisan ulang sejarah bukan sekedar pemutakhiran data-data semata, serta proses merawat ingatan bersama. 

Sejauh ini, sudah ada upaya ”perlawanan” atas proyek tersebut. Adalah Ita Fatia Nadia, sejarawan feminis dan Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) mengajak agar media, generasi muda hingga komunitas bisa melawan lewat kontra-narasi. Adapun kontra narasi dapat berwujud tulisan, konten media sosial, diskusi komunitas, penulisan sejarah alternatif atau publikasi kolektif. Bahkan Ita bersama kawan-kawan tengah giat mendokumentasikan buku kecil tentang sejarah gerakan perempuan. Kelak, harapan Ita, buku itu bisa menjadi pegangan gerakan perempuan yang membangun pemikiran baru. 

Contoh lainnya, saya rasa inisiatif seperti She Builds Peace Indonesia dan WGWC Group oleh AMAN Indonesia juga turut andil. Aktivitas dan pengalaman perempuan dalam situasi konflik kekerasan hingga keamanan dan perdamaian didokumentasikan dan didigitalisasi. Upaya-upaya membangun kontra narasi—narasi alternatif ini sebagai upaya menjaga suara dan kiprah para perempuan agar terdengar dan menegaskan kepemimpinan perempuan. 

Sebagai seorang perempuan sekaligus ibu, tentu berharap anak-anak kita bisa belajar sejarah yang adil dan jujur. Melalui peristiwa sejarah, buku yang mereka baca di sekolah bukan sekedar soal kekuasaan dan kemenangan. Sejarah tak hanya memberikan ilmu pengetahuan bagi mereka, namun juga menggugah kepedulian dan empati mereka. Kisah perempuan baik sebagai korban maupun tokoh perubahan layak mendapatkan tempat dalam memori bangsa. Sejarah serta peristiwanya bukan sekedar masa lalu—kelam yang menjadi isi buku. Namun narasi itu menjadi pelajaran berharga agar peristiwa serupa tidak terulang. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *