Tragedi Ninja 1998: Dihilangkan dalam Agenda Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Usia saya masih begitu kecil kala itu. Tetapi, ruang ingatan saya masih menyimpan erat bagaimana suatu malam, tangan saya yang masih mungil ditarik paksa oleh Ibu. Nafasnya agak tersengal. Sementara langkahnya terburu-buru mengikuti jejak Bapak yang berjalan tergesa di depan. Mau tak mau, saya berusaha mengimbangi langkah keduanya.

Bapak lantas menyuruh saya dan Ibu berkumpul dengan perempuan dan anak-anak lain di sebuah rumah dekat lapangan. Sementara Bapak sendiri berbaur dengan lelaki dewasa yang berada di pinggir jalan. Mereka menaruh drum-drum kosong bekas aspal di tengah jalan.

Ketika mobil, truk dan bus melintas, semuanya diberhentikan. Beberapa lelaki masuk lalu menggeledah isi kendaraan. Tak sedikit dari mereka yang membawa pentungan bahkan celurit. Setelah merasa aman, barulah kendaraan tersebut dipersilakan berjalan.

Saya yang menyaksikan adegan ini menahan napas dalam-dalam. Terlebih Ibu makin kuat mengapit lengan saya. Kedua bibirnya gemetar ketika berbincang dengan perempuan lainnya. Lamat-lamat, telinga saya menangkap pembicaraan yang mengerikan jika para lelaki ini tengah mencari sosok Ninja.

Sontak pikiran saya berlabuh ke kartun Ninja Hattori yang tiap Minggu saya tonton di tivi hitam putih. Terlebih, para perempuan ini menyebut kalau Ninja kerap membawa pedang panjang. Saya yakin, Ninja yang dimaksud mereka adalah Ninja Hattori lantaran kartun favorit saya ini selalu membawa samurai.

Tetapi, keyakinan saya seolah menguar ketika ibu-ibu ini menyebut kalau Ninja yang mengintai padukuhan sangat lihai menghabisi nyawa orang. Saya terkejut sebab Ninja Hattori tak suka membunuh.

Setidaknya, hanya ini yang saya ingat soal Ninja 1998. Saya tak punya ingatan lain lantaran seusai itu, saya kerap takut ketika tidur malam. Saya selalu menutupi seluruh lekuk tubuh memakai selimut sampai-sampai peluh mengucur. Saya begitu takut saat mendengar langkah orang berderap di samping rumah. Padahal kata Bapak, orang itu bukan Ninja melainkan yang biasa menangkap cicak di dinding untuk dijual sebagai jamu.

Saya ingin sekali bertanya siapa sosok Ninja ini kepada Bapak. Tetapi, kedua orangtua selalu meminta saya bungkam. Lain cerita saat saya bertanya soal moneter. Bapak menatap saya lekat-lekat.

“Semua harga barang naik, Nak. Naik.”

Saya yang tak puas beralih kepada Ibu. “Apa moneter itu, Bu?”

Tetapi, jawaban Ibu tak kalah sama.

“Semua harga mahal, Nak. Mahal.”

Tragedi Itu Bernama Ninja

Ingatan soal Ninja ini kembali muncul dalam benak ketika saya mendapati berita jika Kementerian Kebudayaan hendak menulis ulang sejarah Indonesia. Terlepas dari pro dan kontra di ranah publik, saya sedikit membayangkan. Seandainya saja pemerintah berkenan menuangkannya ke dalam buku itu, agaknya, trauma lama masyarakat Tapal Kuda sedikit terobati.

Saya akui, kasus Ninja 1998 memang tak muncul dalam narasi besar bangsa ini. Namun, peristiwa keji ini betul-betul meninggalkan trauma bagi para korban. Dilansir dari BBC, setidaknya 250 orang lebih dibantai secara sistematis di wilayah Banyuwangi, Situbondo, Jember, Probolinggo, dan sekitarnya. 

Pada awalnya, mereka yang dibunuh ini kerap kali dituduh sebagai dukun santet. Tetapi lambat laun, korbannya juga menyeret guru ngaji bahkan kiai di pesantren. Sampai detik ini, otak di balik serangan tak pernah terungkap. 

Saya ingat betul, saat itu, muncul narasi berupa musuh imajiner bernama “Ninja” di tengah kekacauan reformasi di Jakarta. Saya benar-benar tidak tahu, siapakah yang menciptakan narasi ini. Bahkan saya juga tidak tahu, apakah isu ini merupakan bagian dari strategi shock therapy untuk meredam gejolak politik demi mengalihkan perhatian rakyat dari krisis multidimensi yang terjadi kala itu?

Ah, entahlah. Yang saya tahu, saat ini, negara berencana menulis ulang sejarah Indonesia. Saya kira, inilah saat yang tepat untuk menagih kehadiran negara terhadap korban Tragedi Ninja 1998. Dengan begitu, cerita ini tidak lagi sekadar disebut dalam catatan kaki atau artikel riset yang tersembunyi di balik jurnal akademik. Melainkan ditulis dengan jujur, diteliti dengan serius, dan diajarkan dengan empati.

Bagi saya, penulisan sejarah yang baru tak boleh hanya mencatat kemenangan, melainkan juga luka. Maka, jika negara sungguh hendak menulis ulang sejarah, mari tuliskan pula kisah kami—yang pernah dibungkam, ditakut-takuti, lalu dilupakan.

Saya ingin, generasi berikutnya mengetahui bagaimana Tragedi Ninja 1998 mengajarkan bahwa ketakutan bisa diproduksi. Gerakan massa bisa digerakkan tanpa komando formal, dan kekerasan bisa berlangsung dalam sekejap hanya dengan dihubungkan melalui hal-hal mistis layaknya tuduhan dukun santet.

Sayangnya, saya tak begitu yakin, apakah negara akan menuliskan luka kami sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa lalu. Ah, entahlah. Padahal selama masih ada korban yang tak disebutkan namanya, dalang tragedi yang tak pernah dimintai pertanggungjawaban, dan peristiwa yang tak dimasukkan ke dalam buku pelajaran, bukankah buku sejarah Indonesia itu belum pernah tuntas dituliskan secara jujur dan berkeadilan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *